Selasa, 31 Mei 2011

“Pembangunan di Indonesia”, bukan “Pembangunan oleh Bangsa Indonesia”.

Sekarang tentang pertumbuhan ekonomi. Kita menggunakan istilah Produk Domestik Bruto atau Gross Domestic Product (GDP), bukan istilah Produk Nasional Bruto atau Gross National Product (GNP). Apa beda antara dua istilah ini? GDP adalah produksi yang berlangsung di wilayah Republik Indonesia, termasuk produksi yang dilakukan oleh investor asing. Sebagai contoh, kalau ada investor asing besar yang melakukan investasi sangat besar dalam bidang pertambangan, hasil tambang yang dikeduk dari perut bumi Indonesia adalah miliknya investor asing. Indonesia kebagian pajak dan royalty. Tetapi produk mineral yang dikeduk dan dibawa keluar Indonesia dicatat sebagai GDP yang rata-rata 7% itu. Bagaimana pembagian manfaat yang persis dari hasil pembangunan selama Orde Baru antara bangsa Indonesia dan bangsa asing tidak pernah dihitung.

Sebagai contoh, minyak yang begitu penting dan strategis artinya sebesar 85% dieksploitasi oleh perusahaan-perusahaan asing. Pertamina hanya 15%. Lantas kontrak bagi hasil yang formulanya 85% untuk Indonesia dan 15% untuk kontraktor asing nyatanya sampai sekarang pembagiannya 60% untuk bangsa Indonesia dan 40% untuk para perusahaan-perusahaan minyak asing itu. Alasannya karena cost recovery. Kok tidak habis-habis sampai sekarang?

Kalau ada investor asing besar mengeduk mineral yang mahal, mineral ini masuk ke dalam GDP yang 7% rata-rata itu. Tetapi barangnya milik asing, dan kalau diekspor, dicatat sebagai ekspor Indonesia yang meningkat. Oleh karena itu Prof. Sri-Edi Swasono menyebutnya "Pembangunan di Indonesia", bukan "Pembangunan oleh Bangsa Indonesia".

Pasca Wafatnya Pak Harto

Wafatnya Pak Harto menimbulkan berbagai refleksi tentang jasa-jasa maupun dosa-dosanya.

Salah satu bidang yang direfleksikan adalah bidang ekonomi. Banyak yang menilai bahwa Pak Harto sangat berhasil dalam membangun ekonomi bangsa Indonesia. Indikator terpenting dari keberhasilan yang ditonjolkan adalah sebagai berikut :

Menurunkan inflasi 600% sampai menjadi inflasi yang "normal".

Produk Domestik Bruto (PDB) tumbuh dengan rata-rata 7% per tahun.

Ekonomi dibangun sebagai dua unsur dari Trilogi, yaitu pertumbuhan dan pemerataan. Satu unsur lainnya Stabilitas yang sangat dibutuhkan untuk mengatur ekonomi dengan terencana dan mantap.

Saya akan membatasi diri pada memberikan ulasan tentang ekonomi sebagai berikut.

Inflasi dan Tingkat Suku Bunga

Pertama tentang penurunan tingkat inflasi yang mencapai 600%. Inflasi atau bahkan kerusakan yang luar biasa hebatnya dan setelah ditangani membaik drastis, sebenarnya juga terjadi di mana-mana. Contoh yang paling hebat adalah Jerman setelah kalah Perang Dunia kedua. Setiap kali terjadi kekalutan sosial politik, inflasi melambung. Tentu ada faktor salah urus ekonomi. Tapi inflasi yang sampai 600% tidak mungkin karena kelangkaan barang semata. Faktor psikologis memegang peran sangat penting. Semakin ekstrem kerusakannya, semakin mudah menjadikannya "normal" kembali. Mengapa? Karena kerusakan yang sama sekali tidak masuk akal itu penyebab yang paling utama adalah faktor psikologi. Dengan berubahnya pimpinan baru dalam kondisi yang sangat kalut, kepercayaan rakyat langsung saja kembali. Lantas faktor teknis ialah "digerojoknya" uang oleh sebuah klub yang khusus dibentuk untuk memberikan utang kepada Indonesia, yaitu IGGI. Dengan kesemuanya ini, apakah kita boleh mengatakan bahwa tingkat inflasi selama 32 tahun itu memang normal? Yang kita alami, tingkat inflasi rata-rata selama 32 tahun di atas 10%, sedangkan di negara-negara yang normal selalu jauh di bawah 10%. Utang luar negeri juga mempunyai potensi pengekangan kemandirian yang akan diuraikan lebih lanjut.

Inflasi erat hubungannya dengan tingkat suku bunga. Selama Orde Baru, tingkat bunga yang harus dibayar oleh dunia usaha untuk kredit yang diperolehnya untuk jangka waktu sangat lama di atas 20%. Di negara-negara yang normal, yaitu Eropa dan Amerika Serikat, yang para pemimpinnya memuji Tim Ekonomi-nya pak Harto, inflasinya sangat rendah, rata-rata di bawah 5%.

BERKELEY MAFIA

Buat para ekonom Berkeley Mafia, semua yang ditulis di atas omong kosong. Kebijakan mereka hanya mengejar pertumbuhan ekonomi tanpa peduli terjadinya ketimpangan yang semakin besar dan semakin anti kemanusiaan antara yang kaya dan miskin, antara perkotaan dan perdesaan, antara usaha besar dan menengah-kecil dan sebagainya. Mereka juga tidak membedakan antara Produk Domestik Bruto (PDB) dan Produk Nasional Bruto (PNB). Mineral yang dikeduk oleh investor asing dan menjadi miliknya dihitung ke dalam PDB, tetapi tidak ke dalam PNB. Yang dibanggakan oleh para teknokrat Berkeley Mafia bukan pembangunan oleh bangsa Indonesia, tetapi pembangunan di Indonesia oleh investor asing dengan manfaat terbesar buat bangsa asing (Sri-Edi Swasono).

Sejak tahun 1967 para ekonom memegang tampuk pimpinan kebijakan ekonomi tanpa putus kecuali era Gus Dur yang sangat pendek itu. Begitu kepresidenan jatuh ke tangan putrinya Bung Karno, Megawati Soekarnoputri, seluruh kekuasaan ekonomi diberikan kepada Berkeley Mafia. Sehari sebelum susunan kabinet diumumkan, putra kandung Bung Karno, Guruh Soekarnoputra bersama-sama dengan saya berdebat dengan Presiden Megawati yang mempertanyakan mengapa para ekonom yang Berkeley Mafia, dan jelas bertentangan dengan pikiran-pikirannya Bung Karno dan pikiran-pikirannya PDIP yang justru diberi kekuasaan ekonomi ? "Gugatan" ini tidak diugbris. Di bawah pimpinan para menteri Berkeley Mafia, semua kebijakan ekonominya memang mengekor IMF, Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia yang anti rakyat kecil. Apakah ini yang menyebabkan terpuruknya perolehan suara PDIP yang belakangan ini diakui oleh Taufik Kiemas dan Puan Maharani ?

Semua kerusakan keuangan negara dari BLBI beserta rentetannya yang membuat keuangan negara bangkrut dilandasi oleh kebijakan-kebijakan menteri-menteri yang berasal dari Berkeley Mafia. Kalau ada kebutuhan dan diizinkan oleh Redaksi KoranInternet saya akan memaparkannya secara panjang lebar dalam bentuk serial, dan secara teknis yang mendetil.

Sekarang, ketika tokoh-tokoh dunia mulai tidak percaya pada pengaruh positif globalisasi dan liberalisasi, dan sedang mencari-cari jalan lain, Berkeley Mafia masih menganggap liberalisasi yang sejauh-jauhnya dan yang sedalam-dalamnya sebagai "agama". Demikian juga dengan mekanisme pasar primitif dengan campur tangan pemerintah yang palig minimal.

Ruud Lubbers, guru besar di Harvard University dalam bidang Globalisasi telah lama mengenali kelemahan mendasar dari globalisasi. Pada dasarnya globalisasi adalah mekanisme pasar yang diterapkan di seluruh dunia. Kita mengetahui bahwa mekanisme pasar memang sangat bagus dan efisien serta tidak ada tandingannya. Tetapi harus ada pemerintah dengan kekuasaan yang dapat memaksa untuk membuat rambu-rambu yang menjaga agar pemerataan dan keadilan terwujud secara optimal.

Dunia belum dan rasanya tidak akan mempunyai satu pemerintah yang mempunyai kekuasaan memaksa seluruh umat manusia di dunia. Tetapi mekanisme pasarnya harus diberlakukan secara mutlak di seluruh dunia. Mana mungkin ? Tampaknya ketegangan-ketegangannya mulai muncul sekarang seperti yang disuarakan oleh Hillary Clinton, Paul Samuelson, Robert Samuelson dan majalah The Economist.

Sekali lagi petanyaan kepada Bapak SBY-JK : Masih percayakah Bapak-Bapak pada menteri-menteri ekonomi Bapak bahwa mereka memang cemerlang dalam bidang pengurusan ekonomi negara ? Mereka ini mesti menguasai kebijakan ekonomi RI, siapapun Presidennya. Maka mereka tidak peduli dan tidak mau tau tentang arah kebijakan yang pro bangsa sendiri, apalagi pro rakyat banyak. Mereka mempunyai track record yang panjang dengan sikap dan perilaku yang hanya mengekor saja pada IMF, Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia.

Setiap kali media massa gaduh tentang suatu hal, Djadjang dan Mamad selalu terlibat dalam perbincangan yang seru, karena keduanya sama tinggi IQ-nya, namun berbeda dalam pengalaman hidupnya. Mereka bersahabat sangat karib sampai dengan SMU. Setelah itu Djadjang belajar di universitas dan menjadi guru besar dalam ilmu politik. Mamad menjadi pekerja sosial di tengah-tengah rakyat jelata. Namun dengan bekalnya dari SMU, dia rajin membaca dan mengamati kehidupan politik yang nyata. Dia sering nongkrong di panggung publik DPR. Tidak demikian dengan Prof. Djadjang. Dia hanya membaca buku dan mengkuliahkan yang dibacanya.

Sejak tahun 2002 media massa kita gegap gempita dengan pemberitaan dan opini serta analisis tentang rebutan menjadi Presiden RI, Gubernur, Walikota dan Bupati. Selanjutnya akan dibahas tentang pemilihan langsung Presiden saja, tetapi esensinya adalah pemilihan langsung yang membuat banyak elit Indonesia menjadi aneh perilakunya.

METAFORSA BERKELEY MAFIA MENJADI ORGANISASI TANPA BENTUK (OTB)

Fenomena adanya sekelompok ekonom yang dikenal dengan sebutan Berkeley Mafia sudah kita ketahui. Aliran pikiran yang dihayati oleh kelompok ini juga sudah kita kenali. Komitmennya membela rakyat Indonesia ataukah membela kepentingan-kepentingan yang diwakili oleh 3 lembaga keuangan internasional (Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia dan IMF) juga sudah diketahui oleh masyarakat luas.

Pembentukan kelompok yang terkenal dengan nama Berkeley Mafia sudah dimulai sejak lama. Namanya menjadi terkenal dalam Konferensi Jenewa di bulan November 1967 yang akan diuraikan lebih lanjut pada bagian akhir tulisan ini. Awalnya kelompok ini adalah para ekonom dari FE UI yang disekolahkan di Universitas Berkeley untuk meraih gelar Ph.D. Tetapi lambat laun menjadi sebuah Organisasi Tanpa Bentuk (OTB) yang sangat kompak dan kokoh ideologinya. Ideologinya mentabukan campur tangan pemerintah dalam kehidupan ekonomi. Afiliasinya dengan kekuatan asing yang diwakili oleh Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia dan IMF, sehingga sangat sering memenangkan kehendak mereka yang merugikan bangsanya sendiri. Lambat laun para anggotanya meluas dari siapa saja yang sepaham. Banyak ekonom yang tidak pernah belajar di Universitas Berkeley, bahkan tidak pernah belajar di UI menjadi anggota. Mereka membentuk keturunan-keturunannya.

Anggotanya ditambah dengan para sarjana ilmu politik dari Ohio State University dengan Prof. Bill Liddle sebagai tokohnya, karena dia merasa dirinya "Indonesianist" dan diterima oleh murid-muridnya sebagai akhli tentang Indonesia. Paham dan ideologi yang dihayatinya sama.

Kemudian diperkuat dengan orang-orang yang merasa dirinya paling pandai di Indonesia, sedangkan rakyatnya masih bodoh. Sikapnya seperti para pemimpin dan kader Partai Sosialis Indonesia (PSI) dahulu, yang dipimpin oleh Sutan Sjahrir. Kecenderungannya memandang rendah dan sinis terhadap bangsanya sendiri, dengan sikap yang selalu tidak mau menjawab kritikan terhadap dirinya, melainkan disikapi dengan senyum yang khas, bagaikan dewa yang sedang tersenyum sinis. Sikap ini terkenal dengan sikap "senyum dewata". Dengan senyum dewata banyak masalah sulit yang sedang menggantung memang menjadi lenyap.

Dengan demikian sebutan Berkeley Mafia sebaiknya diganti dengan Organisasi Tanpa Bentuk (OTB).

Ilustratif tentang adanya OTB ini adalah pidato Dorodjatun Kuntjorojakti yang pertama kali dalam forum CGI sebagai Menko Perekonomian dalam kabinet Megawati. Kepada sidang CGI diberikan gambaran tentang perekonomian Indonesia. Setelah itu dikatakan olehnya bahwa dia mengetahui kondisi perekonomian Indonesia dengan cepat karena dia selalu asistennya Prof. Ali Wardhana dan dekat dengan Prof. Widjojo Nitisastro. Selanjutnya dikatakan bahwa "dirinya bukan anggota partai politik. Tetapi kalau toh harus menyebut organisasinya, sebut saja Partai UI Depok". Setengah bercanda, setengah bangga, secara tersirat Dorodjatun mengakui bahwa OTB memang ada, pandai, profesional dan berkuasa.

SEJARAH PENGUASAAN EKONOMI INDONESIA OLEH KEKUATAN ASING DAN KELOMPOK BERKELEY MAFIA

Mari sekarang kita telaah bagaimana beberapa akhli dan pengamat asing melihat peran kekuatan asing dan kelompok Berkeley Mafia dalam perekonomian Indonesia sejak tahun 1967.

Saya kutip apa yang ditulis oleh John Pilger dalam bukunya yang berjudul "The New Rulers of the World." Saya terjemahkan seakurat mungkin ke dalam bahasa Indonesia sebagai berikut :

"Dalam bulan November 1967, menyusul tertangkapnya 'hadiah terbesar', hasil tangkapannya dibagi. The Time-Life Corporation mensponsori konferensi istimewa di Jenewa yang dalam waktu tiga hari merancang pengambil alihan Indonesia. Para pesertanya meliputi para kapitalis yang paling berkuasa di dunia, orang-orang seperti David Rockefeller. Semua raksasa korporasi Barat diwakili : perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel. Di seberang meja adalah orang-orangnya Soeharto yang oleh Rockefeller disebut "ekonoom-ekonoom Indonesia yang top".

"Di Jenewa, Tim Sultan terkenal dengan sebutan 'the Berkeley Mafia', karena beberapa di antaranya pernah menikmati beasiswa dari pemerintah Amerika Serikat untuk belajar di Universitas California di Berkeley. Mereka datang sebagai peminta-minta yang menyuarakan hal-hal yang diinginkan oleh para majikan yang hadir. Menyodorkan butir-butir yang dijual dari negara dan bangsanya, Sultan menawarkan : …… buruh murah yang melimpah….cadangan besar dari sumber daya alam ….. pasar yang besar."

Di halaman 39 ditulis : "Pada hari kedua, ekonomi Indonesia telah dibagi, sektor demi sektor. 'Ini dilakukan dengan cara yang spektakuler' kata Jeffrey Winters, guru besar pada Northwestern University, Chicago, yang dengan mahasiwanya yang sedang bekerja untuk gelar doktornya, Brad Simpson telah mempelajari dokumen-dokumen konferensi. 'Mereka membaginya ke dalam lima seksi : pertambangan di satu kamar, jasa-jasa di kamar lain, industri ringan di kamar lain, perbankan dan keuangan di kamar lain lagi; yang dilakukan oleh Chase Manhattan duduk dengan sebuah delegasi yang mendiktekan kebijakan-kebijakan yang dapat diterima oleh mereka dan para investor lainnya. Kita saksikan para pemimpin korporasi besar ini berkeliling dari satu meja ke meja yang lain, mengatakan : ini yang kami inginkan : ini, ini dan ini, dan mereka pada dasarnya merancang infra struktur hukum untuk berinvestasi di Indonesia. Saya tidak pernah mendengar situasi seperti itu sebelumnya, di mana modal global duduk dengan para wakil dari negara yang diasumsikan sebagai negara berdaulat dan merancang persyaratan buat masuknya investasi mereka ke dalam negaranya sendiri.

Freeport mendapatkan bukit (mountain) dengan tembaga di Papua Barat (Henry Kissinger duduk dalam board). Sebuah konsorsium Eropa mendapat nikel Papua Barat. Sang raksasa Alcoa mendapat bagian terbesar dari bauksit Indonesia. Sekelompok perusahaan-perusahaan Amerika, Jepang dan Perancis mendapat hutan-hutan tropis di Sumatra, Papua Barat dan Kalimantan. Sebuah undang-undang tentang penanaman modal asing yang dengan buru-buru disodorkan kepada Soeharto membuat perampokan ini bebas pajak untuk lima tahun lamanya. Nyata dan secara rahasia, kendali dari ekonomi Indonesia pergi ke Inter Governmental Group on Indonesia (IGGI), yang anggota-anggota intinya adalah Amerika Serikat, Canada, Eropa, Australia dan, yang terpenting, Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia."

Demikian gambaran yang diberikan oleh Brad Simpson, Jeffrey Winters dan John Pilger tentang suasana, kesepakatan-kesepakatan dan jalannya sebuah konferensi yang merupakan titik awal sangat penting buat nasib ekonomi bangsa Indonesia selanjutnya.

Kalau baru sebelum krisis global berlangsung kita mengenal istilah "korporatokrasi", paham dan ideologi ini sudah ditancapkan di Indonesia sejak tahun 1967. Delegasi Indonesia adalah Pemerintah. Tetapi counter part-nya captain of industries atau para korporatokrat.

“The Confessions of an Economic Hit man

PARA PERUSAK EKONOMI NEGARA-NEGARA MANGSA

Benarkah sinyalemen John Pilger, Joseph Stiglitz dan masih banyak ekonom AS kenamaan lainnya bahwa hutanglah yang dijadikan instrumen untuk mencengkeram Indonesia ?

Dalam rangka ini, saya kutip buku yang menggemparkan. Buku ini ditulis oleh John Perkins dengan judul : "The Confessions of an Economic Hit man", atau "Pengakuan oleh seorang Perusak Ekonomi". Buku ini tercantum dalam New York Times bestseller list selama 7 minggu.

Saya kutip sambil menterjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia sebagai berikut.

Halaman 12 : "Saya hanya mengetahui bahwa penugasan pertama saya di Indonesia, dan saya salah seorang dari sebuah tim yang terdiri dari 11 orang yang dikirim untuk menciptakan cetak biru rencana pembangunan pembangkit listrik buat pulau Jawa."

Halaman 13 : "Saya tahu bahwa saya harus menghasilkan model ekonometrik untuk Indonesia dan Jawa". "Saya mengetahui bahwa statistik dapat dimanipulasi untuk menghasilkan banyak kesimpulan, termasuk apa yang dikehendaki oleh analis atas dasar statistik yang dibuatnya."

Halaman 15 : "Pertama-tama saya harus memberikan pembenaran (justification) untuk memberikan hutang yang sangat besar jumlahnya yang akan disalurkan kembali ke MAIN (perusahaan konsultan di mana John Perkins bekerja) dan perusahan-perusahaan Amerika lainnya (seperti Bechtel, Halliburton, Stone & Webster, dan Brown & Root) melalui penjualan proyek-proyek raksasa dalam bidang rekayasa dan konstruksi. Kedua, saya harus membangkrutkan negara yang menerima pinjaman tersebut (tentunya setelah MAIN dan kontraktor Amerika lainnya telah dibayar), agar negara target itu untuk selamanya tercengkeram oleh kreditornya, sehingga negara penghutang (baca : Indonesia) menjadi target yang empuk kalau kami membutuhkan favours, termasuk basis-basis militer, suara di PBB, atau akses pada minyak dan sumber daya alam lainnya."

Halaman 15-16 : "Aspek yang harus disembunyikan dari semua proyek tersebut ialah membuat laba sangat besar buat para kontraktor, dan membuat bahagia beberapa gelintir keluarga dari negara-negara penerima hutang yang sudah kaya dan berpengaruh di negaranya masing-masing. Dengan demikian ketergantungan keuangan negara penerima hutang menjadi permanen sebagai instrumen untuk memperoleh kesetiaan dari pemerintah-pemerintah penerima hutang. Maka semakin besar jumlah hutang semakin baik. Kenyataan bahwa beban hutang yang sangat besar menyengsarakan bagian termiskin dari bangsanya dalam bidang kesehatan, pendidikan dan jasa-jasa sosial lainnya selama berpuluh-puluh tahun tidak perlu masuk dalam pertimbangan."

Halaman 15 : "Faktor yang paling menentukan adalah Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Proyek yang memberi kontribusi terbesar terhadap pertumbuhan PDB harus dimenangkan. Walaupun hanya satu proyek yang harus dimenangkan, saya harus menunjukkan bahwa membangun proyek yang bersangkutan akan membawa manfaat yang unggul pada pertumbuhan PDB."

Halaman 16 : "Claudia dan saya mendiskusikan karakteristik dari PDB yang menyesatkan. Misalnya pertumbuhan PDB bisa terjadi walaupun hanya menguntungkan satu orang saja, yaitu yang memiliki perusahaan jasa publik, dengan membebani hutang yang sangat berat buat rakyatnya. Yang kaya menjadi semakin kaya dan yang miskin menjadi semakin miskin. Statistik akan mencatatnya sebagai kemajuan ekonomi."

Halaman 19 : "Sangat menguntungkan buat para penyusun strategi karena di tahun-tahun enam puluhan terjadi revolusi lainnya, yaitu pemberdayaan perusahaan-perusahaan internasional dan organisasi-organisasi multinasional seperti Bank Dunia dan IMF."