Selasa, 31 Mei 2011

BERKELEY MAFIA

Buat para ekonom Berkeley Mafia, semua yang ditulis di atas omong kosong. Kebijakan mereka hanya mengejar pertumbuhan ekonomi tanpa peduli terjadinya ketimpangan yang semakin besar dan semakin anti kemanusiaan antara yang kaya dan miskin, antara perkotaan dan perdesaan, antara usaha besar dan menengah-kecil dan sebagainya. Mereka juga tidak membedakan antara Produk Domestik Bruto (PDB) dan Produk Nasional Bruto (PNB). Mineral yang dikeduk oleh investor asing dan menjadi miliknya dihitung ke dalam PDB, tetapi tidak ke dalam PNB. Yang dibanggakan oleh para teknokrat Berkeley Mafia bukan pembangunan oleh bangsa Indonesia, tetapi pembangunan di Indonesia oleh investor asing dengan manfaat terbesar buat bangsa asing (Sri-Edi Swasono).

Sejak tahun 1967 para ekonom memegang tampuk pimpinan kebijakan ekonomi tanpa putus kecuali era Gus Dur yang sangat pendek itu. Begitu kepresidenan jatuh ke tangan putrinya Bung Karno, Megawati Soekarnoputri, seluruh kekuasaan ekonomi diberikan kepada Berkeley Mafia. Sehari sebelum susunan kabinet diumumkan, putra kandung Bung Karno, Guruh Soekarnoputra bersama-sama dengan saya berdebat dengan Presiden Megawati yang mempertanyakan mengapa para ekonom yang Berkeley Mafia, dan jelas bertentangan dengan pikiran-pikirannya Bung Karno dan pikiran-pikirannya PDIP yang justru diberi kekuasaan ekonomi ? "Gugatan" ini tidak diugbris. Di bawah pimpinan para menteri Berkeley Mafia, semua kebijakan ekonominya memang mengekor IMF, Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia yang anti rakyat kecil. Apakah ini yang menyebabkan terpuruknya perolehan suara PDIP yang belakangan ini diakui oleh Taufik Kiemas dan Puan Maharani ?

Semua kerusakan keuangan negara dari BLBI beserta rentetannya yang membuat keuangan negara bangkrut dilandasi oleh kebijakan-kebijakan menteri-menteri yang berasal dari Berkeley Mafia. Kalau ada kebutuhan dan diizinkan oleh Redaksi KoranInternet saya akan memaparkannya secara panjang lebar dalam bentuk serial, dan secara teknis yang mendetil.

Sekarang, ketika tokoh-tokoh dunia mulai tidak percaya pada pengaruh positif globalisasi dan liberalisasi, dan sedang mencari-cari jalan lain, Berkeley Mafia masih menganggap liberalisasi yang sejauh-jauhnya dan yang sedalam-dalamnya sebagai "agama". Demikian juga dengan mekanisme pasar primitif dengan campur tangan pemerintah yang palig minimal.

Ruud Lubbers, guru besar di Harvard University dalam bidang Globalisasi telah lama mengenali kelemahan mendasar dari globalisasi. Pada dasarnya globalisasi adalah mekanisme pasar yang diterapkan di seluruh dunia. Kita mengetahui bahwa mekanisme pasar memang sangat bagus dan efisien serta tidak ada tandingannya. Tetapi harus ada pemerintah dengan kekuasaan yang dapat memaksa untuk membuat rambu-rambu yang menjaga agar pemerataan dan keadilan terwujud secara optimal.

Dunia belum dan rasanya tidak akan mempunyai satu pemerintah yang mempunyai kekuasaan memaksa seluruh umat manusia di dunia. Tetapi mekanisme pasarnya harus diberlakukan secara mutlak di seluruh dunia. Mana mungkin ? Tampaknya ketegangan-ketegangannya mulai muncul sekarang seperti yang disuarakan oleh Hillary Clinton, Paul Samuelson, Robert Samuelson dan majalah The Economist.

Sekali lagi petanyaan kepada Bapak SBY-JK : Masih percayakah Bapak-Bapak pada menteri-menteri ekonomi Bapak bahwa mereka memang cemerlang dalam bidang pengurusan ekonomi negara ? Mereka ini mesti menguasai kebijakan ekonomi RI, siapapun Presidennya. Maka mereka tidak peduli dan tidak mau tau tentang arah kebijakan yang pro bangsa sendiri, apalagi pro rakyat banyak. Mereka mempunyai track record yang panjang dengan sikap dan perilaku yang hanya mengekor saja pada IMF, Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia.

Setiap kali media massa gaduh tentang suatu hal, Djadjang dan Mamad selalu terlibat dalam perbincangan yang seru, karena keduanya sama tinggi IQ-nya, namun berbeda dalam pengalaman hidupnya. Mereka bersahabat sangat karib sampai dengan SMU. Setelah itu Djadjang belajar di universitas dan menjadi guru besar dalam ilmu politik. Mamad menjadi pekerja sosial di tengah-tengah rakyat jelata. Namun dengan bekalnya dari SMU, dia rajin membaca dan mengamati kehidupan politik yang nyata. Dia sering nongkrong di panggung publik DPR. Tidak demikian dengan Prof. Djadjang. Dia hanya membaca buku dan mengkuliahkan yang dibacanya.

Sejak tahun 2002 media massa kita gegap gempita dengan pemberitaan dan opini serta analisis tentang rebutan menjadi Presiden RI, Gubernur, Walikota dan Bupati. Selanjutnya akan dibahas tentang pemilihan langsung Presiden saja, tetapi esensinya adalah pemilihan langsung yang membuat banyak elit Indonesia menjadi aneh perilakunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar