Rabu, 01 Juni 2011

Permasalahan Yang dihadapi Pengusaha

Tidak negara di dunia yang memaksakan CSR dalam ketentuan perundang-undangan. "Perseroan sudah ada Undang-Undang Sektoral, Undang-Undang Amdal, Undang-Undang Lingkungan," kata dia. Sofjan meminta pelaksanaan CSR diserahkan kembali ke dunia usaha dan tidak lagi bersifat mandatori.

Dalam undang-undang ini terjadi distorsi hukum, tidak ada kepastian hukum, sehingga ada semangat pemerintah pusat dan daerah berlomba-lomba menjadikan pasal ini untuk mengumpulkan dana dari perseroan,"
Kewajiban ini, menjadi mekanisme adu domba antara masyarakat dengan perseroan. "Akibat kegagalan pemerintah mendistribusikan kesejahteraan masyarakat, malah perseroan yang disalahkan pemerintah,"
Hampir semua sektor mengalami tren pungutan akibat dilegalisasi aturan ini. Modusnya bermacam-macam, ada yang alasan lingkungan, bahkan ada instansi yang meminta uang perseroan untuk mengirimkan staf pemerintah daerah ke luar negeri. "Apa hubungannya,"

Pemberlakuan UU ini akan menjadi sumber pemerasan yang terlegalisir.

Hal tersebut memerlihatkan kenyataan bahwa ekonomi biaya tinggi atau high cost economy masih berlaku. Dan, itu menjadi penghambat peningkatan ekonomi dan investasi didaerah. "You bisa lihat, untuk berusaha di Indonesia masih saja sulit seperti ini,"


 

UU PDRD melarang Pemda untuk membuat pajak dan retribusi baru diluar yang telah ditetapkan (closed-list). Namun, hingga saat ini, masih ada sekitar 2 ribu perda terkait PDRD yang tidak sesuai dengan closed-list, masih diberlakukan. "Dan, itu merata di setiap sektor usaha," Pajak dan retribusi daerah yang tidak sesuai closed list tersebut sudah tidak berlaku per 31 Desember lalu. Ini sesuai dengan yang ditetapkan dalam UU No.28/2009 tentang PDRD. "Mekanisme pembatalan ini yang harus dipastikan berjalan. Karena di lapangan pengusaha tetap saja ditagih,". Pungutan illegal yang masih dikenakan itu antara lain pajak terkait pungutan komoditi dan sumbangan pihak ketiga. Kemudian, pajak terkait penggunaan tenaga listrik, "Ini wajar masih dilakukan Pemda, karena jenis pajak yang terakhir ini menyumbang 30 persen penerimaan daerah,". Sebanyak 2 ribu perda tersebut bisa dibatalkan dari jauh hari oleh Presiden dengan mengeluarkan Peraturan Presiden. Namun, hal itu belum terjadi, sehingga pajak dan retribusi ilegal tersebut tetap dikenakan kepada pelaku usaha.


 

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi meragukan keseriusan pemerintah dalam menciptakan iklim usaha yang baik, terutama menyelesaikan berbagai persoalan yang masih menghambat dunia usaha seperti infrastruktur.Pasalnya  terdapat kesalahan yang dilakukan oleh pemerintah dalam menggunakan dana anggaran. "Saya bingung, anggaran negara dalam lima tahun terakhir, naik dari Rp400 triliun di 2006 menjadi Rp1.200 triliun di 2011 atau naik 300 persen. Kemana infrastruktur kita. Sepertinya ada sesuatu yang salah dalam penggunaan budget kita. Saya benar-benar tidak tahu,"tegas Sofjan di Jakarta, Senin (31/1/2011). Maka dari itu, kata Sofjan, kepercayaan antara pengusaha dan pemerintah sangat perlu dibina.   "Saya tidak mau pemerintah tidak percaya dengan pengusaha. Kepercayaan ini selalu kita bina. Sudah waktunya kami minta ke pemerintah, pakai kita untuk membangun indonesia. Kita jangan kembali ke 1997-1998. Kita jangan berkelahi lagi. Pemerintah dan pengusaha harus saling percaya satu sama lain dalam menghadapi tantangan globalisasi. Lawan kita adalah globalisasi,"jelas Sofjan. Sehingga, Sofjan berharap, pemerintah harus memberikan kepastian hukum. Pasalnya, tutur dia, hingga saat ini, masih ada undang-undang yang tumpang tindih (over lapping)."Yang sebenarnya kita inginkan adalah kepastian hukum karena dasar hukum di Indonesia tidak pernah kita perbaiki, banyak undang-undang kita yang over lapping seperti Peraturan daerah (Perda).  Terkadang kita percaya dan tidak percaya dengan omongan pemerintah,"tutur Sofjan. Sementara itu, Sofjan mengatakan, seharusnya pemerintah bisa menjadi lokomotif dari pembangunan Indonesia. Seharusnya, ujar dia, pemerintah bisa fokus untuk mengembangkan industri manufaktur yang padat karya, jadi bukan hanya yang berbasis sumber daya alam.

"Masalah terberat adalah ketidakpastian. Ketika zaman pemerintahan Soeharto, ekonomi bertumbuh diatas delapan persen dan pemerintah menjadi lokomotif. Tapi setelah itu malah pengusaha yang menjadi lokomotif,"ungkap Sofjan.

Selain itu, Sofjan meminta kepada pemerintah untuk menata birokrasi, terutama dalam menerbitkan berbagai peraturan dan kebijakan. Sofjan mencontohkan, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 241/2010 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk (BM) Atas Barang Impor yang disusun pada 2005, lalu secara mendadak diterapkan pada tahun 2010 tanpa adanya sosialisasi kepada pengusaha.

"Saya minta ke Wakil Presiden agar birokrasi kita diperbaiki. Saya percaya Menko Perekonomian sudah berusaha keras dalam mengkoordinasikan menterinya tapi menterinya kadang tidak mengerti,"tandas Sofjan.

Pemerintah SBY Harus Dikritik tapi Jangan Dijatuhkan

Pemerintah harus banting setir untuk menyelamatkan ekonomi Indonesia. Salah satunya, dengan mengambil langkah untuk menekan harga bahan kebutuhan pokok masyarakat. Jika ini dilakukan, maka masyarakat tidak akan frustrasi. Selain itu, pemerintah juga harus berusaha mengembalikan kepercayaan investor, yang sekarang sedang dalam posisi wait and see, terutama setelah tokoh agama menyatakan pemerintah berbohong kepada masyarakat.

Pernyataan seperti ini merupakan seruan dari Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Sofjan Wanandi. Berikut petikan wawancara SP dengannya di kantornya, Rabu (2/2).

Bagaimana pandangan Anda mengenai situasi ekonomi politik saat ini?

Sebenarnya pendapat saya sama dengan pendapat yang lain. Kita lebih khawatir kalau melihat perkembangan dunia internasional, terutama yangterjadi di Mesir. Yang terjadi di Mesir adalah krisis ekonomi seperti yang terjadi Eropa. Ini kan tingkat ketidakpastiannya begitu besar. Sehingga dengan itu kita khawatir, kalau pemerintah masih terus berwa-cana, terus ribut dengan masalah dalam negeri, kita pastikan, akan menimbulkan ketakutan dan kekhawatiran dari para pengusaha.

Kemarin saya didatangi seorang pengusaha besar internasional ke sini. Ia mempunyai channel macam-macam perusahaan. Ia bertanya kepada saya, "Indonesia ini, masalahnya apa? Kita melihat di luar negeri, Indonesia ini baik. Dalam arti menghadapi krisis dengan baik, kita melihat Indonesia ini baik. Indonesia ada harapan, sehingga kita mulai berinvestasi di Indonesia. Jalan tol, listrik dan segala macam. Lalu kenapa sekarang?"

Ia menanyakan seperti ini terutama setelah para tokoh agama mengeluarkan pernyataan, Pemerintah Indonesia melakukan kebohongan kepada rakyat. Sete-lah tokoh agama mengatakan seperti itu, malah sekarang ia dan investor lainnya menjadi wait and see untuk berinvestasi di Indonesia. Ada kekhawatiran.

Sikap tokoh agama menjadi trigger bagi pengusaha? Bagaimana?

Begini. Mereka melihat di luar negeri, kalau yang bicara itu Megawati, karena politik itu kan biasa. Kalau oposisi-oposisi ngomong itu biasa. Tapi, kalau tokoh agama, mereka percaya, pemerintah benar-benar bohong. Baru mereka semua percaya. Seruan moral itu, betul-betul penting sekab. Kita tak sadarkan itu.

Terus bagaimana pengusaha memandang ini?

Kita coba menetralisir. Tapi, PR (public relations) pemerintah kita kan jelek. Pemerintah merasa hebat sekali. Padahal, hebatnya the past (masa lalu), bukan the present and future (sekarang dan masa depan).

Akibat yang terburuk apa ya?

Yang kita takutkan, terjadi lagi krisis ekonomi dan politik seperti 1997/1998. Kalau ini yang terjadi, kita setback lagi 5-7 tahun. Tapi, kita nggak mau begitu kan. Sudah capek. Makanya saya berusaha Indonesian incoporate, supaya kita bersama-sama bersatu untuk mencegah hal ini jangan sampai terjadi.

Yang bisa dilakukan di kalangan pengusaha sendiri?

Kita harus bekerja terus betul-betul. Jangan kita membuat pemerintah ini semakin takut. Sekarang menjadi lokomotif. Kita terus memainkan peranan itu. Ekonomiharus tumbuh. Jangka pendek, RUU pembebasan tanah harus bisa selesai. Maka jalan tol selesai, power plan jadi. Perluasan pelabuhan, bandara dan sebagainya. Namun kendala utama adalah tanah. Jadi kalau ini kita bisa bantu.

Pengusaha yang datang ke kantor saya dan bertanya kepada saya, saya melihat dia itu sebagai indication yang sebelumnya saya berbicara dengan yang lain. Namun, karena saya tahu dia berinvestasi besar di Indonesia dan juga komitmennya cukup besar, sehingga saya merasa ini serius sekab bahwa kita ini di mata orang asing itu menjadi wait and see lagi.

Yang membuat kita belum kompetitif di Indonesia ini adalah masalah infrastruktur yang begitu ketinggalan. Saya selalu mempersoalkan, kenapa 11111 a tahun kita punya anggaran (APBN) naik 300 persen, yakni dari Rp 450 triliun menjadi Rp 120 triliun tapi infrastruktur kita masih jelek. Kan mesti ada sesuatu yang salah di dalam alokasi budget kita. Dan, ter-nyata budget kita itu 80 persennya habis untuk bayar utang dan subsidi. Untuk pembangunan, sedikit sekali yakni cuma 20 persen.

Yang menjadi masalahnya, sebagian besar pertumbuhan investasi kita itu lebih banyak ke usaha perkebunan seperti kelapa sawit, tanaman industri, bukan ke manufacturing yang justru paling banyak menyerap tenaga kerja rakyat kita. Malah terjadi deindustrialisasi daripada kita punya manufacturing itu karena tidak bisa bersaing dengan lembaga-lembaga impor. Banyak pengusaha berpendapat, daripada berinvestasi di sini, ya impor saja kita. Nah. ini harus kita ubah segala rencana kita.

Sebab 10 tahun terakhir sejak kita krisis, masa kita belum banyak produksi dalam hal manufacturing. Kalau pun ada, itu pihak asing yang memperluas industrinya karena market industry luas, seperti Toyota.

Kenapa lebih banyak ke perkebunan daripada manufacturing?

Karena di sana banyak untungnya. Manufacturing rumit. Buruh banyak, untung tipis, dan persaingan luar negeri juga banyak. Manufacturing kita tak mungkin bisa bersaing dengan Tiongkok. Oleh karena itu, sekali lagi saya minta persoalan infrastruktur harus segera diselesaikan. Kalau infrastrukur beres, maka dengan mudah investasi-investasi kita arahkan ke manufacturing.

Yang lain, pemerintah harus memberi insentif untuk home industry (UKM) dan industri lainnya seperti pabrik-pabrik besi. Sebagian besar industri kita komponennya masih tergantung di luar negeri. Ini yang menurut saya, kita didik industri-industri ini. Kalau industri kita kuat, komponennya semua dari dalam negeri, maka ketergantungan pada impor kurang.

Kedua, ini soal kepastian hukum. Masalah kita di daerah-daerah ttu soal tata ruang. Tata ruang di mana-mana masih bermasalah. Jadi, kita mau berinvestasi terhalang. Tata ruang sebagian besar begitu nggak jelas. Karena banyaknya overlapping dan sebagainya. Batubaranya, kelapa sawitnya, tanaman industrinya. Tanah kita sebagian besar tidak ada sertifikasi. Sehingga pengusaha malas masuk.

Dan yang paling besar mengganggu kita adalah peraturan-peraturan daerah. Sekitar 3.000 perda bertentangan dengan UU Perimbangan Pusat dan Daerah. Ini haruskita tertibkan. Yang menghambat kita ini adalah birokrasi. Jadi kalau saja pemerintah bisa berkonsentrasi ke sini, pasti investasi masuk dan kita bisa berkompetisi.

Ini yang membuat kita tidak membangun industri pengolahan?

Ya, kita tersandera dengan masalah-masalah tadi. Kita tersandera dengan janji-janji, yang tak bisa kita laksanakan. Sebenarnya ini bukan sesuatu yang baru. Sudah lama kita minta sejak awal pemerintahan SBY. SBY kan sudah tujuh tahun.

Apa bisa dijamin, kalau infrastruktur sudah ada, semuanya beres?

Dengan membangun infrastruktur, paling sedikit rakyat kita bekerja terutama di jalan-jalan dan pelabuhan. Bisa jutaan. Kedua, dengan adanya infrastruktur dan listrik yang cukup, gas juga cukup, terminal-terminal gas, bagus, banyak industri bangkit dan maju. Ingat, sampai saat ini banyak industri kita tutup karena energi kurang, seperti industri sarung tangan karet di Medan.

Bagaimana riil terkini inflasinya, terutama dengan cuaca ekstrem?

Saya pikir, mesti ada salah dengan pemerintah kita. Dulu pada saat cuaca kurang mendukung juga sulit toh? Pada saat itu kita ada Pak Jusuf Kalla, pada saat kita impor beras. Waktu itu kita masih produksi lebih tinggi malah. Kenapa? Pada saat itu dilakukan di mana bikinnya itu dia tak usah tender. Mesti berlomba-lomba. Kalau sekarang kan ada tender sehingga terlambat semua. Jadi, ada kebijakan pemerintah yang menghalangi. Jadi harus diperbaiki, daripada bermasalah.

Idealnya, pertanian di Jawa pindah ke luar Pulau Jawa. Di Jawa sudah tak mungkin efisien lagi. Tanah kecil-kecil. Lebih baik buka besar-besar di Merauke. Yang ada sekarang cuma omong gede, karena infrastruktur nggak ada.

Ancaman naiknya inflasi ini, langkah pemerintah nggak jelas?

Saya melihat pemerintah memang nggak jelas. Saya melihat pemerintah tak punya persiapan yang betul-betul, mempersiapkan yang di hulu. Sembilan bahan pokok kita menghadapi masalah. Persiapannya tidak ada sama sekali, seperti sekarang. Kita mesti malu. Sekarang kita impor ikan dan garam, padahal kita punya lautan yang luas. Dulu kita swasembada beras. Eh sekarang malah impor beras, gula, jagung. Kita mau ke mana?

Pandangan Anda mengenai posisi Kementerian Perindustrian saat ini?

Semua menteri di Indonesia ini tak ada koordinasi. Mereka tidak bisa menyelesaikan persoalan antara mereka sendiri. Ini yang mempersulit kita semua. Mereka terlalu banyak kepentingan-kepentingan politik.

Bagaimana dengan SBY, apa harus diganti?

Kita tak mau SBY harus diganti, karena akibatnya lebih buruk. Kita mesti sabar sampai 2014. Kita lakukan itu. Melihat situasi seperti ini, suka tak kita harus sabar sampai 2014. [Pewawancara Siprianus Edi Hardum, Heri Soba dan Aditya L Djono]

Kalangan pengusaha mendesak pemerintah menjamin kepastian hukum guna menghindari terjadinya konflik antara pengusaha dan masyarakat sekitar

Konflik sering terjadi karena tidak adanya kepastian hukum. Ini yang harus diselesaikan pemerintah. Selama ini kan peraturan tata ruang dan agraria itu belum maksimal dijalankan terutama di daerah-daerah,

Sofyan juga mendesak oknum kepala desa yang menggunakan cara-cara preman untuk menguasai. Artinya, kalau oknum kades saja sudah lakukan (pelanggaran hukum), apalagi rakyat biasa?"

Salah satu kebijakan yang mesti diubah antara lain keharusan untuk ekspor finished good, tidak lagi berupa bahan mentah. Soalnya, ekspor bahan mentah mengakibatkan Indonesia justru rugi dan tidak berkembang. "Jangan kayak sekarang, LNG ekspor, tapi LPG kita impor. Industri-industri kita kurang bahan baku, bahan bakar, karena bahan mentahnya diekspor,

Keseriusan Presiden dalam menyelesaikan masalah perda bermasalah yang mengganggu dunia usaha kembali dipertanyakan menyusul belum diterbitkannya Peraturan Presiden tentang pembatalan 2000 perda bermasalah yang diusulkan oleh Kementerian Keuangan. Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Agung Pambudi mengatakan berdasarkan UU No. 28/2008 tentang PDRD diatur bahwa pembatalan perda bermasalah yang tidak sesuai dengan close list harus dibatalkan oleh Presiden melalui Keputusan Presiden. Sebelumnya, pembatalan perda bermasalah cukup dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri melalui Keputusan Mendagri.

"Ada 2000-an perda yang diusulkan Kementerian Keuangan untuk dibatalkan di 2009 maupun 2010 tertunda belum bisa dibatalkan karena belum ada Perpres-nya. Akibatnya, itu tetap dipungutkan ke pelaku usaha oleh pemda meski perda itu tidak ada dalam close list,

1.366 Perda Tidak Dilaporkan; DPR Mengusulkan Daerah yang Nakal Diberi Sanksi Lebih Keras

Sedikitnya 1.366 peraturan daerah tentang pajak dan retribusi diduga disembunyikan pemerintah daerah dan tidak dilaporkan ke Departemen Keuangan karena menghindari sanksi pembatalan terhadap perda tersebut. Kondisi itu memperlambat perbaikan iklim investasi karena menyebabkan ekonomi biaya tinggi.Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Departemen Keuangan Mardiasmo di Jakarta, Senin (21/5) menyebutkan, hingga 21 Mei 2007, perda tentang pajak dan retribusi yang telah dilaporkan kepada pemerintah pusat baru mencapai 9.634 peraturan. Padahal, potensi perda yang dapat diterbitkan adalah 11.000 peraturan.

Dengan demikian, perda yang belum dilaporkan mencapai 10 persen (sekitar 1.366 perda) dari total potensi penerbitannya. Hal ini terjadi karena ketidaktahuan daerah bahwa ada kewajiban menyerahkan perda. Tidak ada penerbitan perda baru, atau ada penerbitan baru namun sengaja tidak melaporkannya kepada kami, katanya.

Daerah, ujar Mardiasmo, cenderung bersikap malas-malasan dalam menyerahkan perda pajak dan retribusi. Hal itu disebabkan tidak ada sanksi bagi daerah yang tidak menyerahkan perda.

Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) menyebutkan, daerah bebas menerbitkan perda dan tidak mengatur sanksi apa pun.

Atas dasar itu, kami mengusulkan agar sanksi bagi daerah yang tidak melaporkan perda dimasukan dalam Rancangan Undang-undang PDRD, yang masih dibahas di DPR, ujar Mardiasmo.

Departemen Keuangan telah menerbitkan surat permintaan penyerahan perda pajak dan retribusi paling lambat 15 hari setelah pengesahannya. Surat itu disampaikan kepada seluruh pemda pada 28 November 2006. Namun, hingga saat ini, masih ada 71 daerah yang belum menyerahkan perdanya.

Penangguhan DAU
Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Budi Sitepu mengatakan, sanksi bagi daerah yang tidak menyerahkan perda diusulkan berupa penangguhan Dana Alokasi Umum (DAU). Adapun, beberapa fraksi di DPR mengusulkan sanksi yang lebih keras, berupa kewajiban pengembalian seluruh dana masyarakat yang dipungut. Hal itu dilakukan jika dasar pungutannya adalah perda yang membebani dunia usaha secara tidak wajar sehingga dibatalkan pemerintah.

Itu diusulkan agar memberi efek jera kepada daerah agar tidak dengan mudah membuat perda pajak dan retribusi, katanya.

Sebelumnya, Depkeu menetapkan penangguhan pembayaran DAU bagi lima kabupaten yang tidak mampu menyelesaikan APBD hingga tenggat waktu 11 Mei 2007. Satu provinsi dan tiga kabupaten lainnya masih diberi kesempatan hingga akhir Mei, sebelum dikenakan sanksi yang sama.

Adapun total perda pajak dan retribusi yang dibatalkan pemerintah pusat hingga saat ini mencapai 963 peraturan atau 9,99 persen dari total perda yang telah dilaporkan. Pembatalan itu dilakukan karena terbukti menyebabkan iklim investasi di daerah tidak kondusif.

Jumlah itu belum memperhitungkan pungutan lain yang diterbitkan melalui Surat Keputusan Kepala Daerah (SKKDH). SKKDH diterbitkan secara sepihak oleh pemerintah daerah (pemda), tanpa pembahasan dengan DPRD-nya.

Mereka ini daerah yang nakal. Kami sulit memantaunya karena pemerintah pusat tidak memiliki kewenangan untuk mengatur SKKDH, kata Mardiasmo.

Tak mampu bersaing
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Sofjan Wanandi menegaskan, perda pajak dan retribusi mengakibatkan dunia usaha tidak mampu bersaing di dalam dan di luar negeri.

Untuk apa menambah perda, jika hasil pungutannya tidak banyak yang digunakan untuk pembangunan daerah, malah masuk ke Sertifikat Bank Indonesia, ujarnya.

Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah, Agung Pambudhi mengatakan, besarnya jumlah perda tentang pungutan itu disebabkan kecilnya basis pajak yang dimiliki pemda. Disamping itu, komitmen untuk membangun ekonomi dalam jangka panjang masih sangat lemah.

Sangat ideal jika pemda daerah menerbitkan aturan tentang insentif, katanya.

Penasihat Asosiasi Pemerintah Kabupaten dan Kota, Alfitra Salamm menegaskan, Pendapatan Asli Daerah yang ideal untuk menyokong kebutuhan biaya pembangunan daerah adalah 40 persen dari total APBD. Hal itu menyebabkan daerah berupaya dengan segala cara mencari peluang menambah pungutan.

Perlu kejujuran Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) agar penerimaan yang masuk itu riil. Selain itu perlu inovasi agar cara memungutnya tidak meresahkan pengusaha, katanya.

Sementara itu, Bank Indonesia melaporkan dana pemerintah daerah yang disimpan di perbankan hingga akhir April 2007 mencapai Rp 90 triliun. Dana itu disimpan dalam bentuk tabungan, giro dan deposito. Ini suatu jumlah yang sangat besar, kata Gubernur BI Burhanuddin Abdullah.

Menurut Burhanddin, jika dana tersebut bisa dimanfaatkan untuk pembangunan, maka roda perekonomian di daerah akan bergerak cepat. Pemanfaatan dana juga akan membuat perbankan mengurangi penempatan di Sertifikat Bank Indonesia, yang saat ini jumlahnya cukup besar.

Kalau mereka menaikkan pajak dan retribusi daerah hingga batas maksimum, ia mengungkapkan pemda akan merasakan akibatnya.     Kocek pemda bukan makin tebal, justru sebaliknya malah berkurang. Sebab kalau  menaikkan pajak dan retribusi daerah terlalu tinggi tentu pemda sendiri yang merasakan dampaknya.

Pengusaha tentu mengurangi produksi untuk menekan biaya. Nah dengan berkurangnya produksi, maka pajak dan retribusi daerah yang dibayar pengusaha menurun.

Bahkan, Sofyan menandaskan bukan tidak mungkin pengusaha merelokasi produksi barang ke daerah lain yang mengenakan pajak dan retribusi lebih kecil.

Masyarakat juga akan menghindari kenaikan pajak dan retribusi yang begitu tinggi. Pengenaan pajak progresif kendaraan misalnya. Menyikapi tidak terkena pajak progresif, mereka yang memiliki lebih dari satu tentu akan memindahkan ke tempat lain yang pajaknya lebih rendah. "Ini kan jadi masalah," jelasnya.

Sebab, ia melihat UU Pajak dan Retribusi Daerah yang baru ini memberi keleluasaan ke daerah tentunya memicu pemda berlomba-lomba menggenjot pendapatannya. Sehingga terjadi kompetisi antar pemda.

"Karena bersaing ketat, setiap pemda tidak akan gegabah menaikkan pajak dan retribusi daerah seenaknya, karena pertimbangan tersebut," ucapnya.

 Isi Perut RUU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

 
 

 Jenis Pajak untuk provinsi terdiri :

  1. Pajak kendaraan bermotor 1-2%
  2. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor 10%
  3. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor 5%
  4. Pajak air permukaan 10%

 Jenis Pajak untuk kabupaten dan kota terdiri :

  1. Pajak Hotel (10%)
  2. Pajak Restoran (10%)
  3. Pajak Hiburan 35%
  4. Pajak Reklame 25%
  5. Pajak Penerangan Jalan dengan energi listrik (10%), dan dengan energi lain (3%)
  6. Pajak Bahan Galian Golongan C (25%)
  7. Pajak Parkir (20%)
  8. Pajak air bawah tanah (20%)
  9. Pajak sarang burung walet (10%)
  10. Pajak lingkungan (0,5%)

 Kendaraan bermotor yang tidak terkena pajak :

  1. Kereta api
  2. kendaraan untuk pertahanan dan keamanan negara
  3. kendaraan milik negara asing dengan asing dengan asas timbal balik.
  4. Kendaraan di air dengan isi lebih dari 20 M3 milik perusahaan negara.
  • Tarif pajak untuk kendaraan pribadi dapat dikenakan secara progresif.
  • Tarif pajak lingkungan berlaku untuk perusahaan beromzet Rp 300 juta per tahun.
  • Bagi hasil pajak provinsi dan daerah;

Pajak kendaraan bermotor 70% untuk provinsi, 30% untuk kabupaten kota, pajak air permukaan untuk kabupaten 50%

Sumber : Draft RUU PDRD

peraturan daerah (perda) yang telah menimbulkan ekonomi biaya tinggi dibatalkan oleh pemerintah pusat. Pembatalan perda itu berkaitan dengan ketentuan yang ditetapkan dalam UU 34/2000 tentang Perubahan atas UU 18/1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Sebab sebagian besar perda yang mengatur retribusi dan pungutan itu dinilai mengada-ada dan terjadi duplikasi.

penetapan jenis pungutan baru hanya dapat dilakukan sepanjang memenuhi kriteria yang ditetapkan dalam UU 34/2000. Aturan itu menetapkan bahwa daerah provinsi hanya dapat memungut maksimal empat jenis pajak.

Dikatakan, pemberian diskresi (kebebasan) dalam penetapan jenis pungutan baru tersebut pada awalnya didasarkan pada keadaan daerah yang mempunyai potensi sumber-sumber pendapatan yang sangat beraneka ragam.

Namun pada kenyataannya, pemberian wewenang tersebut malah mendorong daerah kembali menetapkan jenis pungutan yang sebelumnya telah dianulir dengan UU 18/1997. Di samping itu, Depkeu menemukan banyak pungutan daerah yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi. Sehingga berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi baik lokal maupun nasional.

Anggito menambahkan, kebijakan pengawasan perda tentang pajak daerah dan retribusi daerah yang diatur dalam UU 34/2000 memiliki sejumlah kelemahan. Antara lain, tidak ada sanksi bagi daerah yang tidak menyampaikan perda kepada pemerintah pusat, sehingga banyak perda yang diterapkan tanpa pengawasan.

Dari tahun 2000 sampai April 2005, perda yang dikirim ke pemerintah pusat baru mencapai 4.574 atau 33,8 persen. Sementara perda yang belum dikirim ke pemerintah pusat mencapai 8.946 atau 66,2 persen. Padahal saat ini total jumlah perda yang ada mencapai 13.520. Dari perda sebanyak 448, sebanyak 44 perda dinyatakan masih dapat direvisi.

''Saya juga mendengar di beberapa daerah, meskipun sudah dibatalkan masih jalan juga. Ini pengusaha setempat yang tahu karena mereka yang menghadapi semuanya. Memang, pemda punya hak untuk maju ke Mahkamah Agung (MA), tapi mereka harus menghentikan perda itu sampai diputuskan MA,'' kata Anggito.

Hal itu juga diakui oleh Sofyan Wanandi yang mewakili pengusaha. Menurutnya, pengusaha tidak punya kemampuan untuk menolak tekanan pemda yang tetap memungut retribusi meskipun perdanya sudah dibatalkan. Saat ini, pengusaha tidak dapat berbuat apa-apa. Apalagi aparat pemda mengancam dengan hukuman pidana dan penutupan tempat usaha.

''Kami akan merekomendasikan supaya ada sanksi bagi daerah yang tetap menjalankan perda yang sudah dibatalkan. Sanksinya mungkin bisa pemotongan anggaran belanja. Harusnya ini juga dipertegas dalam revisi UU 34/2000 itu,'' ujarnya.

Sofyan mengatakan, pemerintah pusat dan pemda belum siap menjalankan aturan yang mereka buat sendiri. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan Menteri Keuangan (Menkeu) telah mengeluarkan peraturan bersama (PB) sebagai panduan bagi pemda untuk mempersiapkan diri. Kenyataannya, sosialisasi UU tidak menjangkau semua daerah sehingga masih banyak pemda tidak familiar dengan urusan pertanahan yang selama ini dikelola secara sentralistik.

sekitar 85% pemerintah kabupaten/kota gagal menerapkan sistem otonomi daerah dalam kurun 10 tahun terakhir.

Ketua Umum Apindo Sofjan Wanandi mengatakan kegagalan otonomi daerah ini tecermin dari pengelolaan anggaran daerah yang lebih banyak terserap untuk membiayai belanja pegawai.

Dia menjelaskan dari total belanja negara senilai Rp1.200 triliun setiap tahun di antaranya terdistribusi untuk pembayaran gaji pegawai, pembayaran utang, dan subsidi.

Pembentukan kawasan pengembangan ekonomi terpadu dan kawasan ekonomi khusus (KEK) yang dijalankan pemerintah sejak 1993 belum optimal karena masih terkendala infrastruktur. Insentif yang diberikan seperti insentif fiskal, perizinan, sektoral, dan infrastruktur, belum membuat investor tergerak untuk meningkatkan investasi di sektor perdagangan yang ditargetkan pemerintah.

Dari data yang diperoleh dari 450 daerah hanya 50 daerah yang membuat peraturan tersebut.

Pemerintah daerah diminta untuk lebih arif dalam memungut pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD) yang sudah disahkan. Di mana dalam UU tersebut dijelaskan pemda memiliki kewenangan dan keleluasaan menentukan tarif pajak daerah.

"Dalam UU ini pemda harus lebih arif dalam menentukan tarif pajak daerah. Jangan sampai aktifitas ekonomi dibunuh hanya untuk mengambil keuntungan sesaat dari pungutan pajak,

Dia juga berharap dengan diberikannya keleluasaan pemda dalam menentukan tarif pajak, tidak lagi menerbitkan peraturan daerah yang menghambat iklim investasi.

Selain itu, dia mengibaratkan kondisi tersebut seperti jangan menyembelih sapi hanya untuk mengambil hati, tapi peliharalah hingga berkembang.

Seperti diketahui, Perda No 14 Tahun 2004 tentang Izin Bongkar-Muat Barang telah dicabut berdasarkan Surat Keputusan Mendagri No 114 Tahun 2005 tentang Pembatalan Perda No 14 Tahun 2005. Selain itu juga ada Instruksi Bupati Tangerang No 2 Tahun 2005 tertanggal 22 Agustus 2005, yang isinya perintah agar menghentikan pelaksanaan Perda No 14 Tahun 2004 tentang Izin Bongkar-Muat Barang tersebut. Dengan demikian, praktis sejak 22 Agustus 2005 Dinas Perhubungan Kabupaten Tangerang tidak diperbolehkan lagi menerbitkan izin bongkar-muat barang dan menarik retribusinya.

Namun, kenyataan di lapangan, Kepala Dinas Perhubungan Kabupaten Tangerang Mahfud Rasyad masih menandatangani izin bongkar-muat selama dua bulan. Selanjutnya tanda tangan diganti dengan tanda tangan Kepala Bidang Angkutan Kukun Kunrat. Sementara pelaksanaannya diserahkan ke Kepala Seksi Angkutan Barang Darmawan. Bahkan, untuk mengelabui adanya penyalahgunaan ketentuan tersebut, pihak Dishub juga sempat mengganti judul pungutan tersebut dengan "izin angkutan barang" selama kurun waktu tujuh bulan.

Menurut laporan STB dalam surat yang ditujukan kepada Kajati itu, dalam waktu sehari saja konsumen yang berurusan dengan izin bongkar-buat barang tersebut mencapai 30 kendaraan, dengan pungutan retribusi sebesar Rp 30 ribu. Dengan demikian, jika satu bulan rata-rata 25 hari kerja, maka akan terkumpul dana retribusi yang sudah dilarang itu lebih dari Rp 164 juta.


 


 


 


 

Politik Cakruk dan Festival Salaman

Yakni kecenderungan sifat kekanak-kanakan kita semua dalam memahami dan menyikapi antagonisme politik, perbedaan pendapat, perseberangan tempat serta semacam nuansa 'permusuhan' antara dua figur atau kelompok. Baik yang terkait langsung dengan politik dan kekuasaan praktis, maupun yang lebih luas dari itu.


 

Sifat kekanak-kanakan yang saya maksudkan adalah semakin tidak dewasanya kita dalam menggenggami rasionalitas berpolitik. Perbedaan dan antagonisme politik oleh banyak kalangan dituntut untuk juga melebar menjadi perseberangan kultural, bahkan perseberangan pribadi.


 

Sedemikian rupa sehingga karena sifat kekanak-kanakan kita itu bertahun-tahun menganggap Pak Harto dan Gus Dur itu 'musuhan', maka begitu mereka saling mengulurkan tangan -- kita 'kejedut' untuk lantas menganggap bahwa mereka kini sudah kompak. Seakan-akan permasalahan bangsa ini sedemikian sederhana dan datar, serta bisa diatasi cukup dengan solusi bertemunya dua telapak tangan.


 

Demikian juga perseberangan strategi akan menemukan sintesisnya melalui salaman dua tokoh tertinggi umat Islam di negeri ini, awal bulan depan.


 

Memang jagat politik memiliki segmen simbolik dan metaforiknya sendiri.


 

Sejak zaman kerajaan-kerajaan abad dahulu kala, banyak contoh-contoh mengenai rekonsiliasi terbatas yang diungkapkan melalui sejumlah perlambang. Seorang putri Cempa dipersembahkan kepada penguasa Majapahit terakhir untuk menandai peneguhan kembali hubungan baik antara dua kerajaan. Cina dan Amerika Serikat pernah menempuh diplomasi pingpong untuk mencapai suatu kesepakatan substansial antara mereka.


 

Jabatan tangan antara Gus Dur dengan Pak Harto pun tidak bisa diremehkan dengan dianggap sebagai hanya sebuah momentum ritual yang bersifat artifisial. Namun sebaliknya ia juga tak usah didramatasisasikan menjadi suatu titik temu sejarah yang sedalam dan sesubstansial yang kita bayangkan.


 

Gus Dur termasuk tokoh yang sangat menjaga takaran dalam hal demikian.


 

Menjaga jarak yang tepat agar tidak terjebak dalam romantisme kekompakan yang dalam berbagai soal serius sesungguhnya masih bersifat semu.


 

Sekaligus ia juga memelihara dirinya agar tidak terlalu ringan untuk meremehkannya. Sesudah bersalaman dengan Pak Hartono Kasad di Situbondo, Gus Dur juga bersegera merelativisasikan peristiwa itu. Mungkin agar kita semua tidak terjebak oleh simplifikasi yang membuat kita tidak waspada terhadap kasunyatan politik yang lebih sejati dan tidak pernah transparan.


 

Seandainya politik cakruk -- yang terlalu menekankan dramatisasi dan romantisme kesamaan atau ketidaksamaan -- hanya berdimensi psikologis, mungkin tak akan merugikan. Itu bisa kita anggap tergolong gejala love-hate relationship di antara dua tokoh.


 

Tetapi kalau ternyata kecenderungan mental cakruk itu merasuk dan mempengaruhi kejernihan persepsi terhadap apa yang sesungguhnya terjadi, maka yang mengalami kerugian bukan hanya kaum pengamat politik, bukan hanya para akademisi pemotret kenyataan, tapi juga rakyat banyak.


 

Apalagi kalau pada saat yang sama romantisme dan dramatisasi antagonisme politik itu diperparah oleh watak industri informasi -- yang melihat bahwa permusuhan, konflik dan perseberangan sikap politik -- merupakan komoditi primer bagi mekanisme jual beli berita. Lama-lama para wartawan, redaktur dan semua pekerja media, akan tak terasa dirasuki oleh kepercayaan subyektif bahwa memang demikian itulah yang benar-benar terjadi dalam kenyataan.


 

Pers akhirnya bukan hanya usil dan suka 'mengarang' bahwa ini dan itu mau cerai, bahwa Polan pacaran dengan Polin, tapi juga meyakini sepenuhnya bahwa tokoh yang ini adalah opposan, di mana pers menjadi penulis skenario sekaligus sutradara 'sinteron' opposisi, lengkap dengan segala kostum dan dialognya.


 

Oleh karena itu, bukan hanya terhadap peristiwa Situbondo atau kasus Belo-Der Speigel sebaiknya kita bersikap dingin dan jernih. Terhadap festival salaman ini pun saya menganjurkan agar kita jangan terlalu gampang bertepuk tangan atau mudah menitikkan airmata. Monggo ambil jurus adil akal dan muthmainnah kalbu.

The Politics of Kissing Hands

Seorang pembaca harian ini dari Bogor, yang tulus hatinya dan tegak pikirannya, yang bersahaja hidupnya maupun sangat serius hajinya -- sejak beberapa bulan yang lalu menuntut saya agar menuliskan lewat rubrik ini suatu masalah yang ia sodorkan kepada saya melalui surat. Masalah yang baginya amat sangat penting, dan alhamdulillah bagi saya juga amat sangat penting.


 

Lebih alhamdulillah lagi karena Rasulullah Muhammad saw, juga sangat concern terhadap soal ini, terbukti lewat banyaknya sabda beliau yang khusus mempermasalahkannya. Juga bagi Allah swt. sendiri -- sepengetahuan saya -- soal ini juga termasuk tema primer dan prinsipil yang harus diurus oleh hamba-hambaNya secara murni dan konsekuen.


 

Mustahil kalau bagi Allah masalah ini tergolong sekunder. Hal mengenai siapa yang dihormati dan siapa yang menghormati, telah ia informasikan acuan dasar akhlaq atau moralitasnya. Allah tidak memerintahkan agar seorang bapak atau ibu merunduk di depan anak-anaknya, melainkan anak-anak yang dengan prinsip birrul walidain wajib menghormati bapak-ibu mereka.


 

Bukan karena iseng-iseng saja Allah menciptakan adegan di mana ia memerintahkan para malaikat agar bersujud kepada Adam. Episode ini tidak bisa diubah misalnya dengan meletakkan iblis sebagai aktor yang disembah sementara Adam mensujudinya. Menurut salah satu logika tafsir, begitu satu malaikat menolak menyembah Adam, turun derajat atau kualitas malaikat itu -- dari 'cahaya' menjadi 'api'. Ilmu bahasa Alquran kemudian juga berkembang mengacu pada kasus ini, di mana nur (cahaya) selalu dipakai untuk menggambarkan kemuliaan di akhirat, sementara nar (api, neraka) digunakan sebagai simbul dari kehinaan dan kesengsaraan.


 

Padahal nur dan nar berasal dari komposisi huruf dan rumpun kosakata yang sama.


 

Iblis ogah menyembah Adam karena alasan feodalisme dan alasan penolakan terhadap regenerasi. Alasan feodalnya, atau bahasa simbolisasi Qur'aniyahnya bernama takabur (gemedhe, sok lebih hebat), karena Iblis merasa dirinya terbuat dari material atau dzat yang lebih tinggi, halus, kualitatif, dan lebih mulia dibanding Adam yang hanya sedikit lebih tinggi dibanding keramik yang sama-sama terbuat dari tanah liat. Padahal Allah sudah menetapkan bahwa Adam itu ahsanu taqwin (sebaik-baik ciptaan), karena manusia dianugerahi 'cakrawala (kemungkinan), sementara malaikat atau iblis hanya memiliki 'tembok statis' (kepastian) untuk baik atau kepastian untuk buruk. Manusia yang mengolah dirinya dalam kebenaran akan berkualitas mengungguli malaikat, sementara manusia yang memperosokkan diri dalam kesesatan akan berderajat lebih rendah dibanding iblis dan setan.


 

Sedangkan alasan 'penolakan terhadap sunnah regenerasi' -- maksudnya adalah ketidaksediaan iblis untuk menerima kepemimpinan manusia atas alam semesta. Bagi iblis manusia itu 'anak kemarin sore' kok mau sok memimpin.


 

Emangnya dia sudah pernah ikut penataran P-4 atau memiliki sertifikat Pekan Kepemimpinan HMI atau PMII! Kok berani-beraninya menjadi khalifah! Apakah manusia sudah punya pengalaman dan jam kerja kepemimpinan, sehingga berani sombong mencalonkan diri atau tenang-tenang saja ketika diputuskan oleh Allah untuk menjadi pemimpin?


 

Demikianlah, karena hakekat eksistensi manusia adalah 'pengembaraan ke cakrawala kemungkinan' -- maka ia bisa tiba pada ruang, waktu dan posisi untuk berhak dihormati atau justru wajib menghormati. Para nabi, rasul, dan auliya' sukses memposisikan diri untuk dihormati oleh para malaikat, ditemani oleh makhluk-mahkluk rohaniah itu ke manapun mereka pergi.


 

Sementara banyak manusia lain, misalnya Gendheng Pamungkas, sengaja atau tak sengaja melakukan mengembaraan untuk memposisikan diri agar justru menghormati iblis. Bahkan kita semua ini sesungguhnya diam-diam memiliki dimensi-dimensi nilai empirik yang membuat kita layak menghormati iblis -- berkat suksesnya rekruitmen dan mobilisasi mereka atas kita-kita yang hina ini.


 

Kaum ulama juga terdiri atas manusia-manusia biasa yang menempuh cakrawala. Mereka bisa tiba di suatu maqam tinggi, suatu istiqamah, suatu tempat berdiri nilai -- yang membuat mereka dihormati oleh ummatnya, dihormati oleh umara, didatangi oleh pejabat gubernur, menteri, dan presiden. Namun bisa juga kaum ulama tiba pada suatu derajat yang tidak mengandung kualitas istiqamah apa-apa, tidak memiliki cahaya kemuliaan sebagai golongan yang 'alim -- sehingga justru mereka dalam tatanan struktural keduniaan justru berderajat untuk selalu sowan kepada umara.


 

Lebih mengasyikkan lagi kerena sangat banyak ulama, keulamaan, dan kelembagaan ulama yang legitimasinya berasal dari umara. Derajat mereka sangat rendah, dan tak berkurang kerendahannya meskipun ditutup-tutupi dengan seribu retorika dunia modern mengenai partnership antara ulama-umara atau dengan dalih-dalih dan alibi-alibi apapun.


 

Ulama-ulama jenis ini keadaannya sangat mengenaskan hati. Mereka selalu mengikatkan tangannya pada borgol kekuasaan. Membungkukkan punggungnya di hadapan penguasa dunia, bahkan tidak berkeberatan sama sekali untuk mencium punggung tangan sang penguasa. Di zaman terang dahulu kala terdapat banyak cerita mengenai 'kesombongan' ulama yang tak mau dipanggil penguasa, karena derajat ulama bukanlah ditimbali atau didhawuhi oleh penguasa, melainkan dihormati dan dibutuhkan oleh penguasa. Di zaman bebendhu sekarang ini, banyak ulama bukan saja akan sangat senang kalau dipanggil menghadap ke istana penguasa, tapi bahkan selalu mencari jalan, lobi dan channel bagaimana bisa menghadap penguasa.


 

Sowan ulama kepada umara adalah sebuah mainstream bahasa kolaborasi terhadap kekuasaan. Sowan adalah pernyataan kesetiaan politik ulama kepada umara. Ulama yang membungkuk dan mencium tangan penguasa adalah simbolisasi dari tidak hidupnya etos zuhud di kalangan ulama. Sowan mencerminkan ketergantungan kaum ulama kepada kekuasaan, keamanan politk praktis, dan mungkin juga jatah-jatah ekonomi -- meskipun sekadar arisan naik haji atau dibikinkan satu unit gedung pesantren.


 

Yang paling salah dari episode-episode sejarah semacam ini adalah Anda-anda yang pusing kepala gara-gara tetap saja meyakini bahwa meraka adalah ulama.

"Reformasi Ini Tidak Fokus"

Dari sudut seni dan budaya, ya seperti melihat orang pilek. Tidak hanya memfokuskan pada hidung saja karena hidung hanya output-nya. Tapi, harus dicari pusat masalah pilek itu ada di mana. Termasuk, jika kita melihat Indonesia dalam konteks seni budaya Tidak bisa dijadikan pedoman karena seni budaya itu hanya ouput.

Jadi, di mana sebenarnya pokok persoalan yang terjadi?

Pokok persoalan bangsa ini ada di ideologi dan konstitusi yang dipilih. Seperti orang mau masak, kan harus jelas. Mau masak pakai model Barat, pakai cara Jawa, atau mau meneruskan masakan tradisional. Itu harus diperbaiki. Itu masalah kita.

Kita mau demokrasi murni atau mau kontinuasi dari bentuk dan formula kekuasaan sebelumnya? Kita tidak transformatif. Maunya meloncat saja. Tiba-tiba demokrasi, tiba-tiba Pilkada.

Saya menilai Pilkada langsung tidak ada gunanya. Wong orang belum tahu cara memilih kok. Tahunya masuk kotak. Kriterianya tidak ngerti, apalagi parameternya. Jadi, demi 'Tuhan' yang bernama 'demokrasi Yang Maha Esa' itu, kita buang duit banyak sekali.

Artinya, ada masalah dalam pilihan konstitusi kita?

Orang bebas memilih itu penting. Tapi, itu bisa mencelakakan orang yang belum bisa memilih. Seperti bayi dibebaskan, ia memilih yang nggak benar.

Demokrasi itu penting sekali bagi mereka yang punya kemampuan memilih. Bagi orang yang tidak punya kemampuan memilih, demokrasi akan mencelakakan.

Bagaimana Anda melihat 10 tahun reformasi?

Saya melihatnya bukan 10 tahun reformasi. Saya melihat saat ini kemampuan masyarakat menurun. Dulu, kalau seseorang mau mencalonkan diri sebagai lurah, mereka tidak menunjukkan muka. Cukup pakai lambang seperti padi, payung, kentongan. Sekarang tidak begitu. Pakai gambar orangnya.

Sekarang calon tidak punya malu, tidak tahu diri, tidak jelas tujuannya. Barang siapa punya modal, ia bisa tampil. Gitu kok dibilang maju. Maju cap opo?

Harusnya bagaimana?

Wah nggak tahu. Terserah. Saya tidak mau ngomong. Wong orang juga tidak mau mendengarkan kok. Pokoknya saat ini Indonesia sakit. Terserahlah.

Kalau mau sembuh, harus janji melakukan segala sesuatu dengan benar. Kalau mau sembuh, selalu ada jalan. Kalau mau bangkit, ada jalan. Tapi, apakah benar bangsa kita mau bangkit? Yang ada hanya upacara Kebangkitan Nasional.

Terhadap upaya yang dilakukan para elit saat ini seperti agamawan atau politikus, bagaimana Anda melihatnya?

Niat orang tidak bisa diklaim baik atau buruk, serius atau tidak. Yang bisa dijadikan indikator adalah output-nya. Saat ini yang ada hanyalah industri. Tidak ada negara.

Semua itu pasar. DPR pasar, eksekutif juga pasar. Orang mau ngapaian saja kan tujuannya mencari laba. Mau jadi anggota DPR, cari laba, dagang. Jadi ustadz, tujuannya juga dagang. Bahkan, ke masjid pun 'berdagang', ingin pahala, ingin surga.

Itu tidak apa-apa, monggo. Cuma jangan salahkan kita-kita. Jadi, kalau masak pecel, jangan menunggu soto Betawi.

Jadi, bisa dikatakan reformasi ini belum menghasilkan apa pun?

Dulu, makna reformasi adalah pokoknya Soeharto jatuh. Setelah Soeharto jatuh, mau ngapaian, tidak ada yang tahu sampai sekarang. Tidak ada yang berpikir kebangsaan, tidak ada yang berpikir bagaimana masa depan Indonesia.

Yang dipikirkan adalah bagaimana kelompok saya, nasib diri sendiri. Bukan berarti saya mengatakan sebegitu buruknya reformasi ini, tapi reformasi ini tidak fokus.

Kalau begitu, bagaimana nasib bangsa ini?

Saya melihat tidak ada siapa pun yang bisa menyelesaikan masalah bangsa ini. Mau pakai ilmu demokrasi, mau pakai ilmu keraton, tidak bisa.

Kalau dulu yang rusak hanya pemimpinnya, sekarang rakyatnya juga rusak. Mental rakyat kita sangat rusak, ya maling, culas, mata duitan. Dari tukang parkir sampai satpamnya juga rusak. [P1/I3]

Racikan RI Tak Memenuhi Syarat!

Saya melihat semua reaksi dan respon tidak ada ke hulu sama sekali, semuanya ke hilir.

Ada metabolisme yang tidak benar. Dalam keadaan orang sakit, makanan yang enak menjadi tidak enak.

Jadi bangsa sakit itu, berbuat apapun menjadi keburukan. Yang terpenting negara ini tidak memenuhi syarat. Seperti nasi berasal dari padi, beras, kemudian diliwet menjadi nasi. Nah negara itu ada racikannya. Negara ini tidak memenuhi syarat, karena tidak ada denotasi. Saat ini yang berlaku konotatif.

Apa contohnya?

Misalnya, mana negara dan mana pemerintah, kewenangan negara dan pemerintah tak jelas. Di Indonesia, belum ada pengertian antara negara dan pemerintah. Misalnya, istana gedung negara atau pemerintah? Gedung DPR itu gedung negara atau DPR. Pegawai kabupaten taat pada bupati atau tidak?

Dalam konstitusi yang benar, baik atasan maupun bawahan taat pada UU. Kalau aturan beda, ibarat sepakbola kalau sudah tak menentu, bukan sepakbola lagi namanya.

Kalau pakai metafor sepakbola, yang dibiayai rakyat polisi, jaksa dan hakim, terus kok ada KPK. Kalau ada KPK harus ada skors dulu pada pemain lama. Apalagi kalau kena kartu merah, tidak bisa main lagi, kesebalasan-ketigabelasan. Yang jelas, kalau pemainnya salah harus dikeluarkan.

Contoh lainnya?

Polisi itu sipil sipil atau militer? Kalau sipil tidak di dalam kabinet kenapa tidak di bawah

Kemendagri? Banyak yo kebo, sapi, yang ga jelas, itu di wilayah konstitusi dan birokrasi, wilayah budaya lebih konotatif lagi. Mana agama mana bukan sudah tidak mengerti mana bedanya.

Lalu dari semua itu, kaitannya dengan fenomena tawuran saat ini?

Kalau ada tawur dan bentrok sangat wajar, karena orang tidak percaya apa yang dihadapinya, dipikir nasi ternyata bukan. Dipikir sapi ternyata kebo, dipikir pemeritah ternyata bukan.

Kalau tidak percaya maka hancur, kalau tidak percaya pada dua yang lain, menteri tidak percaya sama Dirjen dan seterusnya, ya mesti bentrokA apalagi mereka tidak percaya dengan dua yang lain yakni Tuhan dan dirinya sendiri. [mdr]

Indonesia Semakin Terpuruk Karena Masih Terjajah

Meski Indonesia merasa telah merdeka sejak 60 tahun lalu, namun keterpurukan yang melanda bangsa saat ini, seperti krisis ekonomi, rakyat belum sejahtera, disebabkan karena bangsa masih terjajah dengan paham-paham yang dianut pemerintahannya.


 

Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) di Makassar, Jumat, mengatakan, Indonesia terjajah dengan paham neo Liberalisme sebab bentuk penjajahan ini tidak memiliki batas negara. Orang Swedia bisa beli masjid dan warga Amerika Serikat bisa menguasai negeri ini, Mc Donalds, Nokia kini telah menguasai Makassar.


 

Suatu hari nanti tanah Makassar bukan lagi milik orang Makassar atau Jakarta tetapi mungkin jadi milik Finlandia atau Denmark," jelasnya.


 

Lebih lanjut dia mengatakan, akibat dari neo liberalisme, maka pemerintah bisa saja melepas aset negara, seperti bank, Satelindo, sehingga membuat rakyat Indoensia tidak memiliki apa-apa lagi. Selain neo liberalisme, Indonesia kini juga sedang dijajah dengan bentuk penjajahan globalisasi yang seolah-olah telah dijadikan agama.


 

"Agama baru itu globalisasi, rakyat saat ini sudah tidak memandang penting agama yang mereka anut sesungguhnya, melainkan hal yang terpenting itu adalah para artis," ujar Cak Nun yang juga suami Novia Kolopaking, seraya menambahkan bahwa kebanyak orang menganggap, orang penting dan yang hebat itu adalah mereka yang sering tampil di televisi. Semua ini adalah dampak dari globalisasi," katanya.


 

Indoensia tidak akan pernah lepas dari segala bentuk penjajahn yang berlaku di dunia ini bila tidak pandai menyikapi sutau persoalan, mencari tahu penyebab dari segala keterpurukan bangsa yang terjadi selama ini.


 

Menurut Cak Nun, kenaikan BBM tidak bisa dipandang secara close-up, melainkan secara mendasar dan menyeluruh. "Keterpurukan ekonomi pasti ada asal usulnya," jelanya.


 

Yang terpenting saat ini katanya, bagaimana rakyat Indoensia memberikan motivasi dan mendesak pemimpin dengan pemerintahan yang baru ini untuk berpikir secara global dan substansi, sebab selama ini bangsa Indonesia menjadi negara sandera dan terjajah.


 

"Bila pemerintah memahami apa itu neo liberlarisme, kenapa IMF menawarkan uang kepada Indoensia tetapi kita tidak bebas menggunakan uang pinjaman itu untuk keperluan bangsa dan negara melainkan hanya atas keinginan badan keuangan dunia itu," jelasnya seraya menambahkan bila pemerintah masih menjadi budak stakeholder internasional, bangsa ini akan terus mengalami keterpurukan.


 

Meski demikian lanjut Cak Nun menyatakan, Indonesia tidak bisa langsung memutusukan hubungan IMF tetapi bagaimana menyikapinya dalam bekerja sama dengan IMF, dengan pertimbangan tidak merugikan rakyat Indonesia.


 

Dalam peradaban manusia, ada empat bentuk penjahahan yang berlaku, yaitu kerajaan, kedua bangsa yang punya senjata dan pintar menjajah bangsa kecil yang bodoh dengan metode teritorial dan militer.


 

Sedangkan penjajahan ketiga yakni klaim atau rekruitmen kekuatan internasional terhadap kekuatan negara dunia ketiga untuk masuk kedalam kebijakannya, misalnya ada pembangunan yang developmentalistik dan liberalistik.


 

Bentuk penjajahan ketiga ini katanya, pernah terjadi saat pada zaman kepemimpinan Presiden RI II, Soeharto, dengan meyakini bahwa dunia ketiga bisa bangkit seperti Eropa atau Amerika, dengan cara memacu ekonomi bangsa, seperti memiliki gedung bertingkat, tetapi karena dipaksakan, akhirnya terjadi kesenjangan ekonomi dan sosial, orang miskin makin bertambah melarat, sementara yang kaya semakin bertambah kaya. Dan saat ini, penjajahan ke empat yang berlaku adalah Neo Liberalisme.(ant/mkf)

RAKYAT SUDAH TAK PUNYA JALAN KELUAR

Budayawan Emha Ainun Najib (Cak Nun) mengatakan, rakyat kini sudah tidak mempunyai jalan keluar, karena sistem yang resmi tidak mengakomodasi dan tidak pernah bertanya kepada rakyat.

"Sistem pemerintahan sudah ada, sistem negara sudah ada, perwakilan rakyat juga sudah ada, tapi itu semua tidak mengakomodasi, maka akhirnya mereka mencari pola-pola solusi lain," ungkap Emha melalui saluran telepon, Senin siang (2/8).


 

Maklumlah, lanjut Cak Nun, kalaupun rakyat menempuh jalur hukum toh di jalur ini ada dismanajemen dan kelemahan-kelemahan konstitusi, bahkan pada beberapa kasus mengisyaratkan hukum kita belum jadi. Kalaupun sudah nampak jadi, masih ada gangguan dari aparat yang curang. "Kalau jatuhnya vonis a, ternyata praktiknya b. Kalau kita kehilangan kambing, menempuh jalur hukum malah bisa kehilangan sapi," ujarnya.


 

Dus, menurut Cak Nun, negara ini belum layak disebut negara atau belum berperilaku normal laiknya sebuah negara. "Ini untuk mengatakan negara ini batal untuk disebut negara."


 

Emha menambahkan, para petugas yang bekerja di pemerintahan dan para penegak hukum yang dibayar oleh rakyat, belum berperilaku sebagaimana seharusnya. Maka tidak heran apabila muncul kasus-kasus seperti yang terjadi, termasuk yang sekarang dialami oleh enam orang warga Cempaka Putih, Jakarta Pusat itu.


 

"Itu semua mencerminkan bahwa sekian lama kita membangun demokrasi, ternyata tidak sanggup meletakkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan, sebagai pemilik negara dan Tanah Air.


 

Bahkan sudah menjadi gejala umum ada pemahaman pemikiran yang terbalik antara hubungan rakyat dengan negara, rakyat dengan pemerintah, pemerintah dengan negara.


 

"Banyak aparat yang tidak mengerti bahwa negara ini adalah milik rakyat. Contohnya, KTP itu bukan tanda pengenal yang harus diminta oleh rakyat dalam rangka mengabsahkan mereka sebagai warga negara. Rakyat Indonesia itu begitu lahir kan secara otomatis sudah menjadi warga negara. Nah, pemerintah itu dibayar untuk menandai tanpa diminta oleh rakyatnya."


 

Cak Nun memberi contoh lain. Jika polisi menilang, mereka meminta kartu identitas, SIM, STNK. "Kalau kita tanya balik, mohon bapak menunjukan tanda pengenal, pada beberapa kesempatan polisi biasanya menjawab bahwa yang ditilang tidak punya hak untuk meminta kartu identitas. Lah ini bagaimana, bukankah yang jadi bos itu rakyat. Tidak ada tilang pun masyarakat boleh sewaktu-waktu mencek keabsahan para petugas penegak hukum, apa mereka beneran atau gadungan."


 

Cak Nun menyimpulkan, banyak aparat pemerintah yang tidak mengerti bahwa mereka adalah buruhnya negara, dan yang mempunyai negara adalah rakyat. Nah, sekarang ini rakyat tidak ada, yang ada adalah penduduk.


 

"Bedanya rakyat dan penduduk, dari terminologinya saja rakyat yang berasal dari bahaya Arab ro'yah artinya kepemimpinan, kumpulan manusia yang mempunyai kedaulatan. Sedangkan penduduk adalah orang-orang yang tinggal di suatu tempat yang tidak memiliki kedaulatan apa-apa, sama dengan zaman kerajaan. statusnya cuma menumpang. Jadi kesimpulannya, ini bukan negara kesatuan republik Indonesia, tapi negara kerajaan Indonesia." (kcm/sam)

PRIHATIN DULU, PRIHATIN KEMUDIAN

Prihatin dulu, apa maksudnya? Sekarang menderita dulu, kelak tidak, begitu? Kelak kita bisa punya kendaraan pribadi? Bagaimana kalau sarnpai tua tak juga bisa bell? Apakah ada di aritara kita yang ngobyek entah bagaimana--terrnasuk korupsi di kantor--agar terbebas dari keprihatinan?
Sebenarnya keprihatinan itu apa? Keprihatinan ialah naik biskota? Naik biskota itu mewah. Bahkan naik sepeda atau jalan kaki itu juga bukan penderitaan. Keprihatinan ialah makan-minum dan berpakaian bertempat tinggal pas-pasan? Pas: itu yang ideal menurut semua agarna. Artinya, keadaan pas-lah yang paling menjamin kebahagiaan.
Tetapi memang, keprihatinan atau penderitaan ialah kalau sebagian manusia punya lima mobil serumah sementara lainnya harus ngonthel sepeda atau berdesakan di kendaraan umum. Penderitaan ialah apabila ketidakadilan diciptakan dan disistemi sendiri oleh sebagian manusia atas banyak manusia lain.

BUKAN SEMBARANG PRESIDEN

Presiden Reformasi Indonesia bukan sembarang Presiden. Sejak bangkitnya bangsa Indonesia melalui Reformasi 1998, kalau ada seorang Presiden terpilih, jangan dipikir itu sekedar hasil Pilpres satu hari hari, melainkan ujung dari sebuah proses panjang. Itu puncak eskalasi struktural dari tingkat masyarakat RT hingga ke puncak kursi kenegaraan.

Bangsa Indonesia sudah memiliki pengalaman peradaban selama berpuluh-puluh abad untuk memilih pemimpinnya. Pemilihan Presiden di abad 21 ini jauh lebih sederhana karena sekedar melibatkan penduduk atau warganegara. Sedangkan pengalaman sejarah bangsa Indonesia pernah membawa mereka memilih pemimpin tertingginya dengan melibatkan Nyi Roro Kidul, Walisongo, ruh-ruh leluhur, pasukan lebah, lembu atau kerbau, bahkan untuk sebagian secara sembunyi-sembunyi juga melibatkan masyarakat rekanan hidup manusia yang dikenal dengan nama Jin.

Sejak Reformasi di akhir abad 20, bangsa Indonesia sudah benar-benar menjadi dewasa. Maka skala demokrasi modern mereka cukup hanya mengakomodasi hak warganegara yang berjenis makhluk manusia, sehingga mekanismenya jauh lebih simpel. Sedangkan makhluk-makhluk lain yang bukan manusia, dari Malaikat sampai hewan, tidak memiliki hak gugat terhadap keputusan demokrasi modern ummat manusia, karena Tuhan sudah memberi mandat penuh – ibarat Duta Besar Berkuasa Penuh – kepada manusia untuk menjadi khalifatullah fil-ardl, mandataris Tuhan di seluruh bumi.

Bahkan Iblis, makhluk sangat ganas dan sakti mandraguna yang bertugas menjadi antagonis moralnya ummat manusia, semacam 'sandhi-yudha' yang memiliki ketahanan luar biasa dalam tugasnya sebagai partner dialektika kehidupan manusia – juga tidak melakukan protes apa-apa terhadap demokrasi modern, terutama yang diselenggarakan di Indonesia. 

***

Iblis pasti bukan tidak tahu bahwa Indonesia adalah negeri yang penduduknya paling memiliki kedekatan dengan Allah swt. Jumlah Hajinya terbanyak seluruh dunia. Sangat rajin bikin pengajian massal, majlis ta'lim, istighotsah, yasinan dan tahlilan, kursus shalat khusyu, biro pengelolaan kalbu, tafsir-tafsir aplikatif dari surah dan ayat-ayat quosi emosi dan spirit, dan berbagai aktivitas keagamaan lainnya yang Iblis ampun-ampun untuk berani menerobosnya.

Maka mekanisme demokrasi modern dijalankan di Indonesia jauh lebih mulus dibanding Negara manapun di dunia. Ditambah faktor plus yang mendasari kekokohannya sebagai sebuah sistem bernegara yang hampir bisa dikatakan tak mungkin bisa digoyahkan oleh apapun saja. Faktor plus itu misalnya tingkat kependidikan masyarakat Indonesia yang sudah jauh memadai sebagai prasyarat tumbuhnya kedewasaan demokrasi. 

Matangnya kebudayaan bangsa Indonesia, sebagai individu manusia maupun sebagai kumpulan komunitas, menjadikan pelaksanaan demokrasi sedemikian gagahnya, penuh kemerdekaan dan kreativitas, penuh kelincahan dan keterampilan, namun tetap berada dalam kontrol bersama yang komprehensif di antara semua kelompok, segmen, strata dan kantung-kantung lain bangsa Indonesia.

***

Demokrasi di tangan bangsa Indonesia bagaikan bola di kaki Maradona, tongkat ganda di tangan Bruce Lee, bola basket di tangan Kareem Abdul Jabbar atau Michael Jordan, mobil Formula-1 di kendali Schumacher, Ayrton Senna atau Fernando Alonso. Kalau mau agak puitis, demokrasi bagi bangsa Indonesia itu bak gelombang di pangkuan samudera, bak panas di ujung lidah api, bak kokok di tenggorokan ayam, atau auman di mulut harimau.

Bangsa Indonesia memiliki susunan dan tata sosial yang solid namun dinamis sejak dari lingkar terkecil. Di dalam setiap keluarga selalu terdapat pembelajaran dialog-dialog alamiah tentang kepemimpinan dan siapa pemimpin. Aspirasi dari keluarga-keluarga kemudian dengan sendirinya menjadi muatan interaksi masyarakat se Rukun Tetangga. Kemudian fondasi aspirasi itu meningkat dan meluas hingga ke skala desa atau kelurahan. Demikian seterusnya sampai ke babak 'semifinal' dan 'final' di panggung puncak kepemimpinan Nasional.

Jadi kalau ada seseorang akhirnya terpilih menjadi Presiden, sesungguhnya itu hanya ujung dari suatu proses yang sangat panjang. Bangsa Indonesia sudah 'memiliki' Presiden sejak di rumahnya masing-masing. Kalau seorang Presiden sudah duduk di kursi kepresidenan, hari itu juga setiap warganegara sebenarnya sudah mengantongi nama presiden berikutnya. Seorang Presiden dalam peradaban bangsa Indonesia adalah seseorang yang sudah diuji oleh seluruh dan setiap rakyatnya sejak jauh-jauh hari sebelumnya, minimal sepuluh tahun. Sistem budaya masyarakat Indonesia sudah memiliki infrastruktur kualitatif dan mekanisme identifikasi yang berlangsung mendasar, permanen dan dinamis.

***

Hal yang sama juga berlangsung pada wakil-wakil mereka di Dewan Perwakilan Rakyat. Siapa saja yang mengambil keputusan menjadi Caleg dan gambar wajah-wajah mereka bisa dijumpai di sepanjang jalan, adalah tokoh-tokoh yang bukan hanya sudah sangat dikenal oleh masyarakat infrastrukturalnya, lebih dari itu mereka sudah diuji moralnya, integritas sosialnya, kesungguhan pengabdiannya, keterampilan kerja dan profesionalismenya, termasuk luasnya wawasan dan tingginya keilmuannya.

Bahkan tatkala seorang Presiden memilih Menteri-Menterinya, dan para Menteri memilih bawahan-bawahannya, itu sama sekali bukan soal selera, bukan berdasarkan power-share atau pembagian kekuasaan, bukan berlatar belakang kepentingan golongan atau penyeimbangan perolehan antar kelompok. Pemilihan atasan ke bawahan itu juga diselenggarakan dengan terlebih dulu mempelajari data-data dan fakta-fakta dari lapangan paling bawah, yakni siapa yang benar-benar sudah lulus dari penyaringan sosial masyarakat.

Kadar keterujian pemimpin nasional dan wakil rakyat yang sedemikan ketat dan kualitatif oleh sistem sosial masyarakat Indonesia, membuat mustahil muncul pemimpin-pemimpin yang nyasar dan a-historis. Kepemimpinan nasional dan perwakilan rakyat di Indonesia tidak bisa sekedar ditentukan oleh eksistensi dan mekanisme partai-partai politik. Parpol hanyalah kendaraan di ujung jalan, hanya alat terakhir untuk secara formal meresmikan apa yang sudah diproses sangat matang dalam waktu yang juga sangat panjang. Semua aktivis parpol juga sangat memahami hal itu, sehingga mereka sangat bersikap rendah hati dan tidak merasa dirinya penentu utama kepemimpinan nasional.

***

Presiden Indonesia dan Wakil-wakil Rakyat adalah orang-orang yang memang harus mereka yang menjadi Presiden dan Wakil-wakil rakyat. 

Vox populi vox dei. Demikianlah 'sabda rakyat' melalui mekanisme sistem yang mereka selenggarakan secara konsisten dan istiqamah dari tahun ke tahun, dari era ke era, bahkan dari zaman ke zaman. Presiden dan Wakil-wakil rakyat adalah tokoh-tokoh yang muncul ke singgasana berdasarkan ujian sejarah masyarakatnya sendiri. Dengan demikian bisa dipastikan merekalah memang yang paling layak kepribadiannya, paling bermutu kepemimpinannya, paling unggul ilmu dan wawasannya, paling kredibel kinerjanya, paling luas wawasannya, paling terampil kerjanya, bahkan paling diridhoi Tuhan dan direstui oleh semua makhluk-makhluk Allah non-manusia.

Sistem budaya dan mekanisme sosial bangsa Indonesia yang sudah matang sejak puluhan abad yang lalu, memastikan bahwa pemimpin-pemimpin nasional mereka yang lahir dari demokrasi Indonesia adalah putra-putri terbaik bangsanya. Harus mereka yang memimpin. Tak terbantahkan. Bisa jadi Tuhan sendiripun tak mungkin mengganti mereka, karena Ia mengikatkan diri pada kegembiraan dan kebanggaan menyaksikan tingkat kematangan budaya demokrasi bangsa dan Negara Indonesia.*****
(Emha Ainun Nadjib/Kompas/22 Mei 2009/PadhangmBulanNetDok)

DILARANG MACET!

Nyenyak sekali tidur si calon Presiden kita itu. Markesot tersenyum-senyum sambil duduk menjagainya.
"Teruskan saja omong-omong kalian tadi", katanya.
Tetapi ndak bisa. Sudah terlanjur terpotong. Dan lagi mereka takut kalau si tamu nanti jadi terbangun oleh suara mereka. Sehingga akhirnya Markesot sendiri yang meneruskan omong. "Saya kebetulan tahu siapa dia", katanya.
"Orang gila dari mana?", tanya Markenyut.
"Bukan orang gila. Dia orang baik. Hatinya lembut. Selalu memikirkan keadaan masyarakat. Hatinya suka menangis menyaksikan orang yang menderita. Oleh karena itu tiap saat ia merasa dituntut untuk mengubah keadaan. Dan akhirnya dia mengambil kesimpulan bahwa cara yang paling praktis untuk mengubah keadaan adalah kalau dia menjadi Presiden..." 
"Lho kok enak?", celonong Markembloh.
"Lho, jadi presiden kok enak gimana! ", jawab Markesot. 
"Ya enak dong!"
"Enak dengkulmu! Jadi presiden itu susah. Ndak bisa hidup mbambung seperti kita. Mau tidur mlungker di trotoar depan toko seperti kita, ya mana mungkin. Dan lagi tanggungjawabnya terlalu besar, kalau salah sedikit saja dosanya bisa tak tertanggungkan. Lha wong mempertanggungjawabkan kepemimpinan atas diri sendiri saja susahnya kayak gini... Kalian merasakan sendiri betapa susahnya memimpin kepala, memimpin tangan, kaki, perut, syahwat...lha wong rambut saja sudah dipangkas-pangkas terus masih tidak kapok-kapok untuk tumbuh dan tumbuh lagl..."
"Tapi terus gimana cerita tentang Calpres Sunardi ini! ", desak Markedet.
"Ya pokoknya dia berkeinginan serius jadi presiden. Tujuannya untuk memperbaiki keadaan, menolong orang melarat, membela penduduk yang disalahi, pokoknya untuk mengerjakan segala sesuatu yang baik. Niat orang ini sangat murni. Tapi sayang sekali tidak diimbangi oleh pemahaman yang mencukupi tentang keadaan. Dia kan tahunya Presiden itu tertinggi pangkatnya, jadi dia yang paling pegang segala komando. Pokoknya kalau presiden bilang merah ya merah, biru ya biru. Dia tidak cukup waktu barangkali untuk mempelajari bahwa kehidupan ini tidak sederhana. Bahwa ada peta nilai yang ruwet. Ada konstelasi warna dan aliran. Ada pergulatan kekuasaan antara kelompok-kelompok yang tampak maupun yang siluman. Sebuah masyarakat, sebuah negara dan pergulatan-pergulatannya tidak sama dengan angon bebek di mana seorang penggembala cukup membutuhkan satu tongkat. Kesimpulannya, tamu kita ini terlalu simplifikatif dan pragmatis dalam melihat persoalan. Saya termasuk orang yang
tidak setuju kalau dia ini jadi Presiden..."
"Lho, kenapa?", tanya Markenyut.
"Karena caranya mengatasi keadaan, aneh..." "Aneh gimana?"
"Misalnya kalau lalulintas di Jakarta sangat macet di semakin banyak area, maka dia tinggal pasang papan pengumuman di setiap perempatan jalan yang bunyinya: 'Dilarang Macet!' Tertanda : Su...Presiden RI..."
"Apa ya setolol itu?"
"Mungkin tidak, tapi memang dia ini membayangkan bahwa segala sesuatu dalam kehidupan bangsa dan negara ini berlangsung hanya dalam mekanisme instruksional. Maka dia …..
(Emha Ainun Nadjib/"Markesot Bertutur"/PadhangmBulanNetDok)

INDONESIA TAK BUTUH IBLIS

Dalam kehidupan politik dan kebudayaan di Indonesia sering disebut-nyebut kata iblis, sebagaimana sering juga disebut-sebut kata setan, malaikat, tuhan atau Tuhan, fir'aun, dajjal, atau hantu, monster, gendruwo, dlsb.
Orang menyebut iblis atau setan biasanya tidak untuk menuding iblis atau setan itu sendiri, melainkan untuk memberi gelar kepada sesama manusia.
Misalnya ada lima kategori manusia. Kategorisasi ini memakai idiom fiqih Agama, tapi tidak dimaksudkan debagai prinsip hukum, melainkan budaya.
Ada 'manusia wajib', artinya orang yang orang lain tak mau kehilangan dia, karena dia baik dan dicintai. Ada 'manusia sunat', di mana orang merasa eman kalau nggak ada dia, meskipun tidak menggebu-gebu mempertahankannya. Ada 'manusia mubah' atau 'manusia halal', yakni yang wujuduhu ka'adamihi, ada dia kita nggak untung, nggak ada dia kita nggak rugi. Ada 'manusia makruh', di mana orang merasa lebih baik nggak ada dia daripada direpoti olehnya.
Terakhir yang paling gawat: 'manusia haram'. Orang bersikeras agar dia tak ada, agar dia dijatuhkan dari kursinya, agar ia diadili dan dihukum, bahkan didoakan agar segera mati. Bahkan kalau ada orang mati, lainnya menyesal: "Kok bukan si Anu itu yang dipanggil Tuhan..."
Namun harus dicatat, 'manusia wajib' di mata manusia, belum tentu sama di mata Allah. 'Manusia haram' di pandangan manusia, belum pasti Tuhan berpandangan demikian.

***
Seseorang, umpamanya Soeharto, yang dalam proses sejarah tiba pada posisi "diharamkan" oleh banyak orang, dalam berbagai ungkapan selalu digelari dengan idiom-idiom itu: iblis, setan, monster, dajjal, fir'aun. Bahkan tokoh Agama seperti Pak Amin Rais menyebutnya Fir'aun Jawa.
Pak Harto secara eksplisit mengeluh kepada saya tentang gelar dari Pak Amin itu. "Hati saya ngresulo", katanya.
Saya coba menjawab seadil mungkin secara ilmu maupun empirik:
"Pak Amin tentu memiliki hujjah atau argumentasinya sendiri dengan penyebutan itu. Dan itu urusan Pak Amin dengan dirinya sendiri dan dengan Tuhan. Pada hakekatnya hanya luthf (kelembutan pandangan) Allah yang paling mampu dengan detail menakar berapa prosentase kefir'aunan hambaNya. Adapun manusia, sejauh-jauh prestasinya hanyalah perjuangan untuk berendah hati di dalam kesadaran bahwa setiap hamba Allah yang bernama manusia memiliki potensi kefir'aunan dan potensi ke-Musa-an atau ke-Muhammad-an di dalam dirinya masing-masing. Dengan kata lain, Fir'aun, Musa, Muhammad, Malaikat dll. bisa kita pahami sebagai potensialitas kejiwaan pada diri manusia, dan tidak harus merupakan oknum atau pribadi. Ketika Musa diperintahkan oleh Allah agar mendatangi Fir'aun untuk menanyakan apakah RajaLela itu mau membersihkan diri atau tidak -- bisa kita maknai bahwa potensi Musa kita mendatangi potensi Fir'aun kita sendiri untuk menyampaikan tawaran
gratis dari Allah itu. Jadi sekarang masalahnya kembali kepada Pak Harto sendiri. Seberapa serius Pak Harto menggali potensi dirinya sendiri dan mencoba mengukur berapa kadar kefir'aunan Pak Harto, dan sudah lahirkan Musa yang akan melawan kefir'aunan itu, meskipun dulu bayi Musa (bayi lelaki, alias kejantanan dan kehormatan rakyat) Pak Harto kejar-kejar untuk dibunuh sehingga sang bayi dihanyutkan ke sungai....tapi kemudian mencengkeramkan tangan kebenarannya ke leher Pak Harto".
***
Saya dan kita semua bisa ikut menakar Soeharto: berapa benarnya, berapa salahnya, mana baiknya, mana buruknya. Di level mana saja benar salah baik buruknya itu: level moral, level hukum formal, level ilmiah, level kultural, atau apapun. Sambil wanti-wanti kepada diri sendiri melalui firmah Allah: "Janganlah kebencianmu kepada seseorang membuatmu bersikap tidak adil".
Akan tetapi bisa jadi hasil penilaian kita tidak seratus persen sama dengan al-lathif, Yang Maha Lembut itu. Yang kita ketahui hanya satu, yang tak kita ketahui tak terhingga jumlahnya. The real judge adalah Allah swt. Kita mungkin tidak pernah siap untuk melihat dan menerima kenyataan bahwa seseorang yang 'kita nikmati dalam kebencian' dan kita sebut iblis, ternyata bisa juga ingin memperbaiki diri. Lebih tidak siap lagi membayangkan bahwa ia bertobat. Kita memerlukan orang jahat tetap sebagai orang jahat, demi kelegaan hati kita. Kita katakan kepada diri kita sendiri: "Pak Harto itu pengiiin banget lho masuk neraka! Sehingga dia terus mengincar untuk berkuasa, terus menggalakkan kerusuhan...."
***
Pokoknya Pak Harto harus kita pertahankan sebagai satu-satunya simbol iblis di Indonesia, sehingga kita yang dulu ikut aktif dalam sistem iblis itu selama berpuluh-puluh tahun bisa terbebas dari tudingan. Kita langgar persepsi ilmiah bahwa keiblisan Orde Baru itu kolektif, mustahil individual: kita pertahankan cara pandang ini dengan segala cara.
Tetapi tidak saya persoalkan apakah pemakaian kata-kata iblis dlsb. itu berangkat dari hubungan-kesadaran, sampai ke etimologi dan teologi, ataukah sekedar pinjam istilah. Sebagaimana Pancasila dan UUD-45 menyebut kata 'Tuhan' dan 'Allah' bisa jadi sekedar oper idiom, karena kemudian di dalam praksis kehidupan bernegara kita tidak lagi penting apakah Tuhan dan Allah dijadikan rujukan utama atau tidak bagi kemungkinan makhraj (solusi) dari masalah-masalah yang menimpa.
Sesungguhnya sangat menarik untuk membicarakan iblis, lengkap dari perspektif ilmu fisika, biologi, teologi dan budaya. Misalnya bahwa suku cadang kemakhlukan kita ini sama dengan iblis, setan, malaikat, batu, dan apapun saja makhluk Tuhan. Hanya saja speed molekular-nya berbeda, komposisi dan aransemen keatomannya berbeda, sehingga karakter chromosome-nya juga lain, termasuk hak dan kewajiban yang diberikan oleh Penciptanya juga tak sama -- sehingga habitat dan perilaku, alias kebudayaan dan peradabannyapun berbeda.
Yang paling menarik kali ini adalah bahwa ternyata kita di Indonesia sama sekali tidak butuh iblis....
***
Cobalah kita kuliti sejumlah perbedaan antara kita dengan iblis, umpamanya. Sebagaimana beda kita dengan binatang sangat jelas: kalau macan sudah makan kambing dan kenyang, maka ia bisa tidur damai dengan ratusan kambing, sampai ia lapar kembali dan memakan hanya seekor lagi seperti di-sunnah-kan olehNya.
Sementara kita, meskipun sudah punya lima proyek besar, masih terus sanggup menyikat puluhan proyek lain -- sehingga hancurlah Orde Baru. Manusia dipinjami kemerdekaan dan demokrasi, dan ia mengerjakannya belum tentu dengan kedewasaan dan nurani kemanusiaan, malah kebanyakan dengan nafsu dan unbounded posessiveness: rasa ingin memiliki yang tak ada batasnya.
Semoga rencana-rencana kekuasaan, melalui sekian banyak partai-partai politik, tidak bermuatan hal semacam itu. Kalau orang bertanya: partai politik itu ingin kebaikan atau kemenangan? Ataukah ingin kemenangan untuk memperjuangkan kebaikan? Kalau yang terasa dominan adalah napsu untuk menang, maka adanya muatan semacam itu sangat kita kawatirkan.
Semoga kemenangan PKB adalah kemenangan seluruh rakyat Indonesia. Semoga kemenangan PDI Perjuangan, PAN, atau Golkar atau apapun, hanya punya satu arti: ialah kemenangan seluruh rakyat Indonesia. Kalau kemenangan parpol adalah hanya kemenangan parpol itu sendiri, akan tetap celakalah nasib rakyat. 
Keserakahan, nafsu, rasa serba tak cukup, watak api -- itu jelas watak utama iblis yang diajarkan kepada manusia. Dan ajaran itu tidak hanya bisa merasuk ke jiwa Soeharto, tapi juga bisa ke Wagimin, Megawati, Tukijo, Amin Rais, organisasi dan kumpulan-kumpulan, atau apapun. Bahkan niat baikpun bisa menjelma jadi napsu.
Cukup banyak bukti bahwa di negeri ini kita tak memerlukan ajaran iblis lagi untuk 'sekedar' berlaku rakus kepada dunia. Sehingga, sebagaimana Adam melorot derajatnya dari sorga ke bumi, kitapun melorot izzah (kehormatan) kebangsaan kita dari kemewahan ke krismon dan kristal (krisis total). Kita kutuk penjarahan oleh rakyat sesudah sekian puluh tahun kita ajari mereka menjarah. Kita laknat kerusuhan oleh rakyat sementara terus menerus kita rusuhi hati mereka, pikiran mereka, telinga mereka, dengan kerusuhan mulut dan sistem budaya kita.
***
Iblis tidak pernah merasa dirinya benar, dirinya baik, dirinya suci. Sementara kita memiliki kecenderungan yang sangat besar untuk merasa benar, merasa baik dan merasa suci -- sehingga orang lain yang kita tuduh harus bertobat -- itupun kita larang ia bertobat. Padahal kita ketakutan setengah mati kalau ia tidak bertobat sehingga mengamuk.
Dalam hal melarang manusia bertobat, kita sama dengan iblis. Tapi dalam hal memahami konsep tobat, iblis unggul dari kita. Kita tidak tahu bahwa pertobatan kepada Allah dipersyarati oleh keberesan masalah dengan sesama manusia. Artinya kalau punya hutang, harus bayar dulu; kalau bersalah, dihukum dulu oleh manusia, baru Allah membuka pintu ampunannya. Kita tidak tahu itu, sedang iblis tahu persis.
Iblis, sesudah menggoda manusia dan menjerumuskannya agar dibakar oleh kobaran api dari dalam napsunya sendiri, berkata kepada Tuhan: "Wahai Tuhan, sesungguhnya aku sendiri takut kepadaMu...". Sementara pada kita sangat sedikit indikator bahwa kita takut kepada Tuhan. Kita berani mengabaikan pembelaan Tuhan atas rakyat kecil. Kita bisa mendustai mereka berpuluh tahun.
Kita bahkan sanggup menyalurkan bantuan makanan kepada rakyat sambil mencopetnya. Kita tega mengumum-umumkan obsesi pribadi kita akan kekuasaan di depan rakyat yang sangat mengalami kesulitan hidup. Kita bisa dengan ringan menutup telinga bahwa bagi rakyat hanya tiga hal yang prinsip: hidup aman, sembako murah, bisa menyekolahkan anak.
Tentang presidennya siapa, silahkan mau Kirun mau Timbul. Dalam hatinya rakyat berpedoman: yang penting bukan 'siapa'nya, melainkan apa produk positifnya untuk kesejahteraan rakyat. Mohon bikin metodologi riset atau jajag pendapat yang bertanggung jawab terhadap kandungan substansial kemauan rakyat banyak, bukan hanya omongan beberapa puluh orang di sekitar kantor kita.

***
Iblis dan setan, sesombong-sombongnya mereka, setakabur-takaburnya mereka, seratus persen sadar bahwa mereka melakukan kejahatan dan perusakan. Mungkin karena itu tidak kepada iblis dan setan, melainkan kepada manusia, Tuhan memberi peringatan: "Janganlah engkau membuat kerusakan di muka bumi", dan manusia menjawab dengan congkak: "O, tidak, yang kami lakukan ini adalah perbaikan..."
Kalau Tuhan menyebut "orang-orang yang membangun", kita merasa itu pasti kita. Kalau Tuhan bilang "orang-orang yang merusak", kita yakin merekalah yang dimaksud oleh Tuhan itu. Yang buruk pasti mereka, yang baik pasti kita.
Padahal manusia dijadikan mandataris kehidupan alam semesta dengan argumentasi bahwa manusia itu dholuman jahula. Lalim dan bodoh. Artinya, manusia sanggup menjadi pemimpin karena modal utamanya adalah rasa bersalah telah berbuat lalim, belum bisa menolong orang lain, sehingga ia senantiasa mendorong diri untuk berbuat sebaik-baiknya. Modal utamanya adalah sanggup merasa bodoh, tidak pinter, tidak unggul dari siapapun -- sehingga ia selalu berendah hati untuk belajar.
Last but not least, tidak ada ceritanya masyarakat iblis dan setan bertengkar satu sama lain, sebagaimana kita manusia selalu dan terus menerus bertengkar memperebutkan khayal masing-masing, mempertahankan benernya sendiri (kefir'aunan) terus menerus, memerlukan kehinaan saudaranya sendiri untuk mendapatkan kejayaan, membutuhkan kehancuran sesama manusia untuk memperoleh yang ia sangka kehormatan.
Walhasil Indonesia benar-benar tidak butuh iblis atau setan, sebab potensialitas keiblisan, kesetanan dan kefir'aunan kita, pada sejumlah hal, sudah melebihi setan, iblis dan fir'aun yang asli. Mudah-mudahan saya keliru.

PEMILU, GOLPUT, FATWA

TULISAN ini sekadar mengandaikan bahwa fatwa ulama benar-benar 'nimbrung' ke dalam urusan pemilu, pilkada, dan golput dari segala sisi dan kemungkinannya.

Bagi mereka yang serius mempertimbangkan halal-haram dalam menjalani kehidupan, jangankan soal golput, sesendok makanan sebelum masuk mulut dihitung dulu seluruh faktornya sampai sah disebut halal. Beli sebotol air, benda airnya itu sendiri mungkin tak ada masalah, tapi perusahaan apa produsernya, bagaimana asal usul keuangannya, posisinya dalam konstelasi keusahaan masyarakat luas 'menyakiti' pihak lain atau tidak.

Identifi kasi dan analisis menuju kepastian halal mungkin bisa lebih luas, detail, dan ruwet daripada itu. Maka Indonesia yang berpenduduk mayoritas muslim memerlukan 'label haram' bukan 'label halal'. Di negara-negara yang muslimnya minoritas memerlukan 'label halal' karena di belakangnya terdapat asumsi bahwa makanan dan minuman umumnya 'belum tentu halal'. Tapi di negara mayoritas muslim asumsinya adalah makanan minuman 'umumnya halal' sehingga yang dibutuhkan adalah 'label haram'.

Pekerjaan utama rakyat Indonesia sejak lima tahun terakhir ini adalah pergi ke kotak pemilihan, dari level lokal, regional, sampai nasional untuk menentukan sesuatu yang entah mereka pahami dan kuasai masalahnya atau tidak. Tahun 2009 adalah kulminasi dari 'profesi' massal itu. Maka benar-benar diperlukan kejelasan dari apa yang Ketua MPR Hidayat Nur Wahid tempo hari pernah menganjurkan. Yakni agar Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa haram bagi golput. Itu telah disahkan dalam Ijtimak Fatwa Ulama III MUI di Padang Panjang, Sumatra Barat, akhir pekan lalu. Rakyat Indonesia dan umat Islam pada umumnya kariernya tidak sukses dan penghidupannya miskin. Kalau bisa, jangan ditambahi dengan kepastian 'masuk neraka' hanya karena 2 menit masuk kotak pemilu atau tidur di rumah karena ogah ke arena pemilihan.

KRITERIA KEPEMIMPINAN

Dalam terminologi yang sederhana, wacana utama kriteria kepemimpinan sekurang-kurangnya harus melingkupi tiga dimensi: kebersihan hati, kecerdasan pikiran, serta keberanian mental.

Jika pemimpin hanya memiliki kebersihan hati saja, misalnya, tanpa didukung kecerdasan intelektual dan keberanian, maka kepemimpinannya bisa gampang stagnan. Begitu pula sebaliknya.

Jika pemimpin hanya memiliki kecerdasan belaka tanpa didukung kebersihan hati dan keberanian, maka jadinya seperti di 'menara gading' alias monumen yang bukan hanya tanpa makna, tapi juga nggangguin kehidupan rakyatnya. Apalagi, jika pemimpin hanya memiliki keberanian saja tanpa kebersihan hati dan kecerdasan, maka akan menjadikan keadaan semakin kacau dan buruk.
Sebenarnya, kriteria kepemimpinan sama persis dengan kriteria manusia biasa atau orang kebanyakan, Kalau omong tentang pemimpin, sebaiknya jangan muluk-muluk. Berpikir sederhana saja.

Misalnya. syarat menjadi suami.
Pertama, harus manusia. 
Kedua, harus laki-laki.
Baru yang ketiga, keempat, dan seterusnya.

Syarat suami harus manusia itu banyak tak diperhatikan orang, padahal jelas banyak suami berlaku seperti ia bukan manusia. Bertindak hewaniah kepada istrinya, juga kepada orang lain. Bukankah menjadi manusia itu sendiri saja sudah sedemikian sukarnya? Kenapa kita punya spontanitas untuk mentertawakan dan meremehkan bahwa syarat menjadi suami itu harus manusia?

Jadi, syarat menjadi Presiden atau Lurah itu ya sedehana saja: harus manusia. Sebab ratusan juta rakyat di muka bumi sengsara dalam berbagai era sejarahnya, gara-gara pemimpin negaranya berlaku tidak sebagaimana manusia, padahal semua orang sudah menyepakati bahwa ia manusia. Bukankah perilaku kebinatangan itu sebenarnya peristiwa jamak dan 'rutin' dalam konstelasi perpolitikan dan kekuasaan? Juga persaingan ekonomi?

Dulu saya bangga hanya ada istilah political animal dan economic animal, tidak ada cultural animal. Saya bersombong yang punya kecenderungan kebinatangan hanya pelaku politik dan ekonomi, kebudayaan tidak. Tapi ternyata itu salah. Cultural animal juga bukan main banyaknya. Termasuk di bidang kesenian, hiburan, informatika dll. Mungkin sekali termasuk saya sendiri.

Kemudian syarat menjadi suami yang kedua adalah harus laki-laki. Ternyata banyak suami berlaku tidak laki-laki. Ia jantan ketika di ranjang, tapi tidak dalam mekanisme politik rumah tangga, tidak di dalam pergaulan. Betapa banyaknya lelaki yang ternyata betina, yang berlaku tidak fair, curang, culas, suka mengincar, menyuruh bikin kerusuhan supaya nanti dia yang jadi pahlawan, merancang membakar gedung parlemen supaya bisa bikin dekrit, dan lain sebagainya.

Meskipun, dari sudut ideologi pembelaan kaum perempuan, saya tidak mantap dengan etimologi dan filosofi kebahasaan kita.
Kenapa orang yang jujur kita sebut jantan, yang pengecut kita sebut betina atau perempuan. Bukankah kejantanan yang dimaksud di situ bisa juga dilakukan oleh wanita? Bisa saja ada lelaki betina dan perempuan jantan. Jadi yang dimaksud pemimpin harus laki-laki bukan dalam pengertian fisik, melainkan dalam pengertian kepribadian. Tolonglah ada gugatan kepada Pusat Bahasa.

TEOKRASI ISLAM SEBAGAI PERSOALAN ILMU DAN SEBAGAI PERSOALAN POLITIK

Ijtihad Khilafah ke Tajribah /Amaliah Padi rnenjadi beras menjadi nasi. Dari Tafsir ke ilmu menuju ke ideologi membentuk sisemisasi dan strukturisasi
Fenomena-fenomena dinamis (dinamika ijtihad/ pencarian/kreativitas ilmu dan peradaban manusia): Daulah - Qaryah - Baldah - Negara atau formula republik, kerajaan serta model penerapan kedaulatan yang lain.

Sejumlah Proyeksi
Skema konsep khilafah di atas adalah "sumur" yang sesungguhnya bisa ditimba untuk berbagai keperluan, kepentingan sehingga penguraian maknanya bisa merupakan rakitan yang berbeda-beda sesuai dengan konteks yang diperlukan.

Untuk kebutuhan tema yang kita bicarakan dalam forum ini, barangkali beberapa proyeksi di bawah ini perlu untuk kita ketahui bersama:

Moralitas Khilafah
Allah atau apapun Ia disebut, merupakan asal muasal segala eksistensi, segala wujud, segala kedaulatan, segala kasih sayang, segala kesantunan dan kepengasuhan. Kehidupan segala makhluk secara kosmologis (dan karena itu akhirnya secara filosofis dan teologis) tidak punya kemungkinan lain kecuali mengacu kembali kepadaNya (ilaihi roji'un).

Manusia tidak sanggup dan tidak pemah menciptakan atau mengadakan dirinya sendiri. Manusia tidak pernah menyelenggarakan eksistensinya atau "perpindahannya dare tiada menuju ada". Manusia hanya effek, atau produk, atau hasil karya dari inisiatif agung Penciptanya.

Oleh karena itu adalah suatu kebenaran ilmiah bahwa manusia tidak pernah memiliki sesuatu, melainkan hanya dipinjami sesuatu, diwarisi sesuatu, dalam batas dan penjatahan yang ditentukan oiehNya.

Jika kita berbicara tentang konsep pemilikan kedaulatan atau pemilikan alarm misainya: itulah ilmu dan realitas hakikinya. Hanya Allah "Tuan Tanah Sejati", dan hakNya absolut untuk itu semua. Juga hanya Ia "Raja Sejati", dan raja-raja yang lain hanya berkedaulatan relatif dan pinjaman.

Hak dan kewajiban manusia dalam mengelola perwarisan itu disebut khilafah, yang diterapkan dalam etos ijtihad, tajribah dan atau amaliah.

Keda-ulatan atau kekuasaan atau hak kepemimpinan tidak dimandatkan oleh Allah kepada manusia secara berdiri sendiri (ilah, malik), melainkan besertaan dengan pemandatan kasih sayang, kepengasuhan dan kesantunan (rabb, rahrnan, rahim).
Adapun kekuatan, kegagahan dan keperkasaanNya ('aziz, jabbar, mutakabbir) pun dimandatkan kepada manusia dengan perimbangan sifat-sifat terpercaya, menenteramkan, mengamankan, menjamin pemenuhan janji (qudus, salam, mu'min, muhaimin).

Bahkan kepenciptaan atau kreativitas Allah dipinjamkan secara terbatas beriringan dengan kesediaan menata, memproporsikan, mengorganisasikan, mensistemisasikan, serta menyempumakannya dengan keindahan (khaliq, bari', mushawwir) (bahasa Jawanya: mamayu hayuning bhawana).
Keseluruhan proses penyelenggaraan khilafiah itu berakar pada watak 'alim-ul ghaib. Ini merupakan informasi tentang keterbatasan manusia. Merupakan dorongan untuk keajegan menc2ri ilmu. Merupakan anjuran agar berenda_h hati. Merupakan kritik atau pengingat agar para mandataris kedaulatanNya tidak terjebak oleh "tuhan dunia" yang wadag.
Akar yang lain adalah watak rahman ("cinta pribadi", kasih Allah sebagai diriNya sendiri yang "berjarak" dengan manusia: konsep ahad) dalam posisi berimbang dengan watak rahim ("cinta universal", kasih Allah dalam konteks penyatuan, kemenyatuan dan kebersatuanNya dengan manusia) (: konsepsi wahid, yakni yang ditempuh manusia melalui proses tauhid yakni mengarahkan dirinya, kenendaknya, perllaku pnbadmya, pilihan sistem nilai sosialnya, hukum kemasyarakatan dan kenegaraannya, agar menyatu, sama dan searah dengan kehendak Allah).
(Emha Ainun Nadjib/ "Nasionalisme Muhammad" - Islam Menyongsong Masa Depan / Sipress / 1995 / PadhangmBulanNetDok)