1. Realitas ekonomi yang berkembang di Indonesia masih jauh dari perwujudan ekonomi kerakyatan sesuai amanat kontitusi, utamanya sila-sila dalam Pancasila dan Pasal 33 UUD 1945. Bahkan yang terjadi adalah pengabaian amanat konstitusi, termasuk dengan mengamandemen Penjelasan Pasal 33 UUD 1945, -terakhir dengan disahkannya UU Penanaman Modal-, yang ternyata berakhir dengan masih tingginya tingkat pengangguran (10,2 juta jiwa), kemiskinan (35 juta jiwa), ketimpangan ekonomi, dan kerusakan ekologis (lingkungan). Hal ini terjadi dalam kerangka dominasi jaringan modal internasional terhadap penguasaan faktor-faktor produksi (mineral/pertambangan dan perbankan) dan keterjebakan ekonomi Indonesia pada utang luar negeri (debt-trap), sehingga memunculkan pola hubungan (antarpelaku) ekonomi yang tidak setimbang dan cenderung eksploitatif-sub-ordinatif, baik dalam lingkup domestik maupun internasional.
2. Berbagai indikasi faktual yang mendukung pernyataan di atas di antaranya adalah:
1). Privatisasi BUMN (Indosat, Telkom, Semen Gresik) dan aset-aset strategis (mineral tambang, migas, air, dan hutan) nasional telah mengakibatkan beralihnya penguasaan tampuk produksi dari negara (rakyat) ke korporasi asing. Padahal kedua tampuk produksi tersebut terkait erat dengan hajat hidup orang banyak, prospektif (profitable), dan telah dikelola dengan banyak menyedot anggaran negara (subsidi).
2) Korporasi besar (MNC) menguasai dan mengelola berbagai sumber daya strategis (yang menguasai hajat hidup orang banyak- sekitar 80%) di berbagai daerah dengan kontraprestasi yang sangat minimal terhadap daerah tersebut. Di tengah pengurasan besar-besaran SDA, yang sebagian merusak lingkungan, rakyat kecil di daerah tetap saja miskin dan makin tercerabut dari mode produksi (sumber penghidupan) mereka (hutan, sungai, ikan, dan kebun).
3) Pekerja di Indonesia masih berada pada kondisi (taraf) kesejahteraan yang rendah. Penghasilan (upah) yang mereka terima nilainya kurang dari 5% total nilai omzet perusahaan seluruh Indonesia. Sebagian besar hasil produksi (penjualan) dinikmati oleh top management, pemegang saham (shareholder-asing), dan elit perkotaan yang bisnisnya dibiayai dari dukungan dana perusahaan (iklan).
4) Meluasnya kepemilikan asing dan dominasi korporasi berakibat besarnya aliran uang ke luar (negative net tranfer). Aliran uang keluar ini bersumber dari hak sosial ekonomi pekerja, eksploitasi aset (SDA) di daerah, dan aset strategis (BUMN) nasional yang mengalir ke pemegang saham (shareholder) asing, di tambah lagi dengan beban bunga dan pokok utang luar negeri yang dibayar per tahun dengan seperempat APBN.
3. Peranan ekonomi rakyat dan koperasi dalam penguasaan faktor-faktor produksi sangat minimal, tidak sebanding dengan sumbangannya dalam penyerapan tenaga kerjanya. Bahkan peranannya berangsur-angsur kian terpinggirkan seiring arus globalisasi ekonomi yang telah merombak mode produksi menjadi wujudnya yang kian kapitalistik-liberal dewasa ini. Kondisi ini ditunjukkan dengan peranan terhadap PDB dan pangsa pasar (share) dari UMKM yang jauh lebih rendah dibanding Usaha Besar Konglomerasi (UBK) seperti tabel di bawah ini:
4. Pelaku UMKM yang berjumlah 40,1 juta atau 99,8% dari total pelaku ekonomi rakyat hanya menikmati 39,8% dari proses produksi (PDB) dibanding UBK yang sebesar 60,2%. Pada saat yang sama mereka hanya mendapat 20% pangsa pasar yang 80%-nya sudah dikuasai UBK. Ketimpangan lain ditunjukkan dalam sumbangannya untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Segelintir unit usaha besar tersebut merupakan "mesin" pertumbuhan yang memberi andil 83,6 persen atas laju perekonomian Indonesia. Padahal lapangan pekerjaan lebih banyak tercipta di sektor UMKM ini. Situasi ini membuktikan bahwa pertumbuhan ekonomi tinggi tidak akan berarti banyak bagi kesejahteraan rakyat (kemiskinan dan pengangguran) seperti yang ditunjukkan selama dua tahun terakhir ini.
5. Pemerintahan SBY-Kalla dan teknokrat ekonominya masih tersandera oleh paradigma dan kebijakan ekonomi rezim-rezim sebelumnya. Mereka tetap saja bicara dan mengejar pertumbuhan ekonomi tinggi dan investasi skala besar (asing). Persis yang dipikir dan dikejar rezim Orba yang hendak direformasi. Pemerintah lebih sigap menyediakan infrastruktur-infrastruktur yang diperlukan korporat besar, termasuk giat mengembangkan basis-basis produksi berskala besar, ketimbang secara konsisten menerapkan agenda-agenda demokratisasi ekonomi (pemberdayaan ekonomi rakyat). Pasar rakyat berhadapan dengan maraknya pembangunan super-mall, sementara investasi oleh ekonomi rakyat dipandang sebelah mata karena silaunya pada investasi asing. Undang-Undang yang ramah investor asing pun dipersiapkan sepertihalnya RUU Penanaman Modal dan RUU Transportasi.
6. Marjinalisasi peran negara, yang sudah lebih dulu dilakukan terhadap peran ekonomi rakyat, dilakukan melalui desakan penghapusan subsidi untuk kepentingan publik. Dalam perspektif ekonomi neoliberal, barang-barang dan jenis-jenis pelayanan publik harus ditranformasikan menjadi barang (pelayanan) privat. Hal ini untuk mengalihkan kekuasaan (kedaulatan) sebesar-besar pada pasar, yang didominasi jaringan modal internasional. Oleh karena itu, berbagai jenis proteksi, utamanya subsidi dan tarif harus dihapuskan. Tak heran jika kini biaya pendidikan dan kesehatan menjadi makin mahal, walaupun ada "iming-iming" berbagai skema jaminan sosial.
7. Mengaca pada sejarah kepentingan modal internasional di atas, kiranya dapat dipahami bahwa liberalisasi ekonomi yang sudah, sedang atau akan terjadi ,seperti dalam aspek nilai tukar, rezim devisa, perdagangan, pertanian, dan sebentar lagi pendidikan, adalah bagian dari strategi untuk mengokohkan hegemoni kekuasaaan (kepentingan) jaringan modal internasional. Dan menjadi jelas bahwa amandemen pasal 33 UUD'45, privatisasi BUMN (Indosat, Semen Gresik, dan Telkomsel), privatisasi pengelolaan sumber daya air, dan liberalisasi migas (kenaikan harga BBM dan beroperasinya korporat migas di sektor hilir) tidak lain adalah cerita lanjutan dari dominasi neoliberalisme (neo-imperialisme) dalam kebijakan ekonomi pemerintah.
8. Muara agenda neoliberal adalah beralihnya tampuk produksi dari negara ke korporat, sama sekali bukan ke rakyat banyak (masyarakat). Pola produksi dan konsumsi nasional pun makin dibentuk oleh kebebasan (kekuatan) pasar internasional, sehingga tidak lagi menerima prioritas (pengutamaan) kepentingan nasional. Bangsa kita digiring untuk sekedar menjadi bangsa konsumen (menikmati produk murah-sesaat) atau paling banter menjadi "bangsa makelar" (menjual produk asing-impor), yang melupakan upaya membangun industri nasional dan kewirausahaan berbasis ekonomi rakyat dan sumber daya lokal. Parahnya lagi bangsa kita kembali hanya akan menjadi bangsa kuli yang tunduk dan melayani pihak (bangsa) asing.
9. Kebijakan neoliberal membuat nasib rakyat kecil (penduduk miskin) tetap saja belum terangkat, bahkan cenderung makin merosot. Hal ini diindikasikan dengan tingkat kemiskinan yang justru meningkat dari sebesar 16,7 % di tahun 2004 menjadi 17,75 pada tahun 2006. Tingkat pengangguran pun justru meningkat dari sebesar 9,86% pada tahun 2004 menjadi 10,84% pada tahun 2005. Pada saat yang sama ketimpangan pendapatan pun meningkat yang diindikasikan dengan rasio gini yang sebesar 0,28 pada tahun 2002 menjadi sebesar 0,34 pada tahun 2005. Kondisi ini menegaskan kekeliruan dan kegagalan kerangka kebijakan neoliberal yang berorientasi pertumbuhan ekonomi melalui peranan modal besar (asing). Pertumbuhan ekonomi yang meningkat dari sebesar 4,6% sepanjang 2001-2004 menjadi sebesar 5,6% pada tahun terbukti tidak berkorelasi signifikan dengan pengurangan pengangguran dan kemiskinan karena bertumpu pada investasi padat modal yang setiap peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 1% hanya dapat menyerap 200.000-250.000 tenaga kerja.
10. Nilai Tukar Petani sekarang merupakan yang terendah sejak 10 tahun terakhir. Kondisi ini ditunjang dengan kebijakan pemerintah yang kontradiktif dengan agenda tersebut, seperti halnya pengurangan subsidi pupuk, impor beras, daging, dan buah-buahan. Pada saat yang sama kesejahteraan buruh industri juga merosot, di mana upah buruh industri riel juga tumbuh negatif selama satu tahun terakhir. Kemerosotan sektor riil, yang juga merupakan dampak liberalisasi migas yang berimplikasi pada kenaikan harga BBM industri, nampak pada merosotnya Indek Produksi Padat Karya, seperti tekstil sebesar 11%, pakaian jadi sebesar 13%, dan barang dari logam sebesar 10%. Dalam pada itu, resistensi buruh terhadap rencana pemerintah untuk mengamandemen UU Ketenagakerjaan mengindikasikan inkonsistensi pemerintah dalam melakukan perbaikan iklim ketenagakerjaan.
11. Merosotnya kualitas (kehancuran) lingkungan hidup yang telah berlangsung sejak era Orde Baru hingga kini akibat over-eksploitasi terindikasikan dengan berbagai bencana (seperti banjir, tanah longsor, dan kebakaran hutan), pencemaran air, sungai, dan udara. Ketidakberdayaan pemerintah untuk menjalankan agenda-agenda peningkatan kualitas lingkungan hidup dan pengelolaan sumber daya alam terkait dengan liberalisasi pengelolaan SDA di mana banyak aset-aset SDA yang dikuasai oleh modal asing dan domestik melalui kontrak-kontrak karya.
12. Indikasi merosotnya kualitas (moral) manusia Indonesia akibat terlalu berorientasi hanya pada pertumbuhan ekonomi (materialistik) yang sekaligus mengindikasikan dominasi (hegemoni) budaya Barat adalah massifnya degradasi moral dan sosial yang tercermin dengan menjamurnya aktivitas bisnis hiburan malam dan di kota-kota besar dan sudah merambah di sebagian wilayah-wilayah perdesaan, erotisme yang dibungkus media hiburan, dan pola perilaku (termasuk berpakaian) anak-anak muda yang sama sekali abai dengan kaidah agama dan norma kesopanan. Kondisi ini menunjukkan tidak seriusnya (ketidaklberdayaan) pemerintah dalam merealisasikan agenda pembangunan karakter bangsa (character building).
13. Makin jelas bahwa kegagalan pembangunan adalah refleksi dari kegagalan ideologis. Bukan saja perspektif neo-liberal telah menjebak cara berpikir pemerintah yang makin parsial-reduksionistik, melainkan juga telah menggiring kita untuk meyakini kebenaran dan kesahihan tampilan (indikator) pembangunan ekonomi konvensional. Keterpurukan ekonomi rakyat saat ini menguak betapa indikator-indikator kemajuan ekonomi konvensional yang diulas dalam kacamata pemerintah memiliki banyak kelemahan mendasar. Indikator tersebut ternyata tidak serta merta relevan dan cukup untuk menggambarkan kesejahteraan ekonomi rakyat kecil. Bahkan indikator-indikator tersebut juga tidak cukup mampu memberi rupa kondisi perekonomian nasional yang sesungguhnya.
14. Secara umum sumbangan APBN yang hanya sebesar 21,3% dari PDB membuktikan masih lemahnya peranan pemerintah dalam perekonomian nasional. Terlebih karena setiap tahun pemerintah mempunyai kewajiban membayar cicilan pokok dan bunga utang luar negeri yang kurang lebih menguras sepertiga (30%) pengeluaran APBN. Hal ini tercermin dalam pengeluaran fungsi pelayanan umum sebesar 8,7% dan merupakan yang terbesar di tahun 2006 yang ternyata tidak menggambarkan realitas alokasi yang sesungguhnya. Hal ini karena di dalam fungsi alokasi itulah berisi alokasi pembayaran cicilan pokok dan bunga utang luar negeri tersebut.
15. Ketidakberdayaan dan lemahnya komitmen pemerintah SBY-Kalla juga nampak pada pengeluaran yang paling langsung berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan rakyat yang tidak meningkat secara signifikan dari tahun 2005 ke 2006. Pengeluaran untuk fungsi kesehatan dan perlindungan sosial sama sekali tidak mengalami perubahan, sedangkan pengeluaran untuk pendidikan sumbangannya terhadap PDB hanya meningkat 0,1%. Kondisi ini jelas sangat jauh dari realisasi tugas negara untuk melindungi segenap bangsa Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan memajukan kesejahteraan umum. Lebih lanjut ini merupakan kegagalan pemerintah dalam mengelola kekayaan nasional yang diamanatkan dalam Pasal 33 UUD 1945. Hal ini dapat terjadi karena jerat utang luar negeri, dominasi korporasi asing, korupsi, lemahnya supremasi hukum, dan dampak liberalisasi ekonomi di berbagai sektor.
16. Di balik itu, seringkali disain kebijakan yang terkait dengan politik anggaran pemerintah justru menjadi acuan pelaksanaan agenda pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Hal ini misalnya terjadi pada kebijakan untuk menjual aset-aset BUMN (privatisasi) dan kenaikan harga BBM pada tahun 2005 yang semata-mata "mengejar setoran" untuk membiayai defisit APBN karena utang luar negeri dan tekanan modal internasional. Beban pembayaran bunga untuk utang dalam negeri sebesar Rp 42,3 trilyun dan bunga untuk utang luar negeri sebesar Rp 24,4 trilyun. Untuk bunga saja sebesar Rp 65,7 trilyun. Pembayaran cicilan utang pokok dalam negeriyang jatuh tempo sebesar Rp 21,2 trilyun dan luar negeri sebesar Rp 44,4 trilyun. Pembayaran cicilan utang pokok seluruhnya sebesar Rp 65,5 trilyun. Beban utang seluruhnya sebesar Rp 131,2 trilyun.
17. Bertolak dari realitas dan masalah struktural perekonomian Indonesia di atas maka sudah saatnya pemerintah bersama-sama dengan rakyat kembali ke jalur yang benar dengan menunaikan amanat konstitusi dan kembali pada agenda reformasi sosial untuk menegakkan demokrasi ekonomi (ekonomi kerakyatan) sebagai basis perekonomian nasional dan bagian yang tidak terpisahkan dari proses demokratisasi politik Indonesia.
Rabu, 01 Juni 2011
REALITAS EKONOMI KEKINIAN: APA YANG TIDAK BERUBAH?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
manipestasi kedaulatan ekonomi rakyat indonesia apabila pemerintah menyandarkan perekonomian negara pada ekonomi kerakyatan, bukan pada liberal maupun neo-liberal...
BalasHapusKang fiyan tiyasa nyuhunken no WA tanapi pin BBM ?
BalasHapusSalam wanoh abdi pery tipaliham tasik (soekapura).
Hatur nuhun