Saya melihat semua reaksi dan respon tidak ada ke hulu sama sekali, semuanya ke hilir.
Ada metabolisme yang tidak benar. Dalam keadaan orang sakit, makanan yang enak menjadi tidak enak.
Jadi bangsa sakit itu, berbuat apapun menjadi keburukan. Yang terpenting negara ini tidak memenuhi syarat. Seperti nasi berasal dari padi, beras, kemudian diliwet menjadi nasi. Nah negara itu ada racikannya. Negara ini tidak memenuhi syarat, karena tidak ada denotasi. Saat ini yang berlaku konotatif.
Apa contohnya?
Misalnya, mana negara dan mana pemerintah, kewenangan negara dan pemerintah tak jelas. Di Indonesia, belum ada pengertian antara negara dan pemerintah. Misalnya, istana gedung negara atau pemerintah? Gedung DPR itu gedung negara atau DPR. Pegawai kabupaten taat pada bupati atau tidak?
Dalam konstitusi yang benar, baik atasan maupun bawahan taat pada UU. Kalau aturan beda, ibarat sepakbola kalau sudah tak menentu, bukan sepakbola lagi namanya.
Kalau pakai metafor sepakbola, yang dibiayai rakyat polisi, jaksa dan hakim, terus kok ada KPK. Kalau ada KPK harus ada skors dulu pada pemain lama. Apalagi kalau kena kartu merah, tidak bisa main lagi, kesebalasan-ketigabelasan. Yang jelas, kalau pemainnya salah harus dikeluarkan.
Contoh lainnya?
Polisi itu sipil sipil atau militer? Kalau sipil tidak di dalam kabinet kenapa tidak di bawah
Kemendagri? Banyak yo kebo, sapi, yang ga jelas, itu di wilayah konstitusi dan birokrasi, wilayah budaya lebih konotatif lagi. Mana agama mana bukan sudah tidak mengerti mana bedanya.
Lalu dari semua itu, kaitannya dengan fenomena tawuran saat ini?
Kalau ada tawur dan bentrok sangat wajar, karena orang tidak percaya apa yang dihadapinya, dipikir nasi ternyata bukan. Dipikir sapi ternyata kebo, dipikir pemeritah ternyata bukan.
Kalau tidak percaya maka hancur, kalau tidak percaya pada dua yang lain, menteri tidak percaya sama Dirjen dan seterusnya, ya mesti bentrokA apalagi mereka tidak percaya dengan dua yang lain yakni Tuhan dan dirinya sendiri. [mdr]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar