Rabu, 01 Juni 2011

EKONOMI NEOLIBERAL

Pergantian rezim pasca Pemilu di Indonesia tidak pernah diikuti dengan perubahan Tim Ekonomi yang masih saja sekedar penerus Mafia Berkeley yang menganut jalan ekonomi neoliberal. Di awal jalan, kebijakan yang ditempuh setiap rezim pemerintahan selalu condong pada jalan Konsensus Washington, yaitu penerapan deregulasi, liberalisasi, privatisasi, dan penghapusan subsidi.

Pilihan jalan liberalisasi dilakukan pada hampir semua sektor vital ekonomi nasional. Setelah liberalisasi keuangan dan perdagangan, liberalisasi pertanian dilakukan dengan membuka kran impor beras seluas-luasnya. Akibatnya bukan saja petani lokal yang terpukul, tetapi ketergantungan pangan kepada pihak luar dan korporasi asing yang bergerak di sektor pertanian pun juga kian besar.

Tidak cukup hanya itu, liberalisasi migas pun dipaksakan melalui penyerahan harga BBM pada mekanisme pasar (pengurangan subsidi), keleluasaan ekspansi korporasi migas asing, dan kenaikan harga BBM sebagai klimaksnya. Tak pelak, sektor riil mengalami kemunduran dan terparah dialami industri dan pertanian rakyat.

Pesta jaringan modal internasional kiranya makin lengkap dengan dilanjutkannya skema penggadaian aset-aset strategis dan penjualan (privatisasi) perusahaan nasional (BUMN). Tak kurang dilepasnya ladang migas Cepu oleh pemerintah SBY-JK makin memerosotkan derajat kebangsaan ekonomi kita.
Proses ini terus berjalan, dan diharapkan akan terus berjalan di masa yang akan datang. Oleh karenanya, jalan deregulasi-lah yang juga dilanjutkan hingga rezim SBY-JK. Keleluasaan ekspansi modal internasional untuk menguasai kekayaan Indonesia tidak cukup dilegalisasi melalui UU Sumber Daya Air dan UU Migas, tetapi juga disempurnakan dengan UU Penanaman Modal yang disahkan Maret 2007 yang lalu.

Di arus jalan neoliberal ini pulalah bangsa kita tidak mampu berbuat banyak dalam membuat alternatif kebijakan utang luar negeri. SBY-JK membuat terobosan dengan membubarkan CGI, tetapi tidak cukup konsisten untuk menahan agar bangsa kita tidak lagi berutang ke luar negeri. Debt Outstanding pemerintah justru naik dari 74,66 milyar US Dollar (2002) menjadi 81,23 milyar US Dollar (triwulan III 2007). Belum lagi obligasi (SUN) yang rajin dijual setiap tahunnya ke pasar internasional. Alhasil pendarahan APBN terus berlangsung karena seperempatnya digunakan hanya untuk membayar cicilan bunga dan pokok utang luar negeri

Hal ini aneh mengingat tersedianya banyak modal domestik di Indonesia. Pada tahun 2006 total dana simpanan seluruh Bank Umum di Indonesia sebesar Rp. 1.199 trilyun. Sementara yang disalurkan sebagai kredit baru sebesar Rp. 723,72 trilyun (60,3%). Jumlah simpanan bentuk SBI bank umum. per Desember 2006 sebesar Rp 343,455 triliun, meningkat pada Februari 2007 menjadi Rp. 364,11 triliun (28,6% dari total simpanan). Jumlah simpanan BPD se-Indonesia pada tahun 2007 sebesar Rp. 129,63 trlyun, yang sebesar 34,52 trilyun disimpan dalam SBI Bank Indonesia (26,6%) (Koran Sindo, 2007). Dana murni Pemda di instrumen Bank Indonesia sendiri sekitar Rp. 43 trilyun (ibid).
Di tengah jalan, stabilitas ekonomi makro kiranya belum mewujud pada kemandirian dan kedaulatan ekonomi nasional. Alih-alih itu, jalan ekonomi neoliberal yang ditempuh melalui deregulasi, liberalisasi, dan privatisasi selama ini kian mengarahkan kondisi (struktur) perekonomian Indonesia ke dalam proses "asingisasi".
Demikian kegelisahan bersama kita. Jalan ekonomi neoliberal yang diterapkkan hingga rezim SBY-JK saat ini telah tidak dapat dibedakan secara jelas dengan jalan ekonomi kolonial (neokolonialisme). Jalan ekonomi neoliberal yang senantiasa ditempuh pemerintah telah mengembalikan hegemoni modal internasional yang telah coba dirubuhkan oleh Bapak Pendiri Bangsa.

Kuatnya arus de-nasionalisasi ekonomi selama ini telah membentuk kembali susunan ekonomi Indonesia di bawah dominasi korporasi asing (pemodal internasional) yang kini menguasai 85,4% konsesi pertambangan migas, 70% kepemilikan saham di Bursa Efek Jakarta, dan lebih dari separuh (50%) kepemilikan perbankan di Indonesia (Forum rektor Indonesia, 2007).

Menyedihkan memang. 85,4 persen dari 137 konsesi pengelolaan lapangan migas di Indonesia masih dikuasai oleh korporasi asing, yang juga menduduki 10 besar produsen migas di Indonesia. Chevron Pacific (AS) berada di urutan pertama diikuti Conoco Phillips (AS), Total Indonesie (Prancis), China National Offshore Oil Corporation (Tiongkok), Petrochina (Tiongkok), Korea Development Company (Korea Selatan), dan Chevron Company (Petro Energy, 2007).
Sementara itu, delapan di antara 10 besar produsen gas di tanah air pun dikuasai asing. Total E&P Indonesie menempati peringkat pertama dengan total produksi gas mencapai 2.513 juta kaki kubik per hari dan Pertamina diperingkat kedua dengan total produksi 948,9 mmscfd (Investor Daily, 2007).

Di sisi lain, jalan ekonomi neoliberal SBY-JK telah kian menjauh dari perwujudan demokrasi ekonomi. Ketimpangan struktural ekonomi Indonesia justru kian melebar. Pelaku ekonomi rakyat (UMKM) Indonesia yang pada tahun 2006 berjumlah 48,9 juta (99,9%) hanya menikmati 37,6% "kue produksi nasional", sedangkan minoritas pelaku usaha besar (0,1%) justru menikmati 46,7%-nya pada tahun yang sama. Hasil produksi yang dinikmati usaha besar (korporasi) ini naik 3,6% dibanding tahun 2003 yang sebesar 43,1%.

Data perbankan menunjukkan bahwa per Juli 2007, 1.380 Trilyun dana pihak ketiga di bank 80%-nya dikuasai 1,82% pemegang rekening (Kuncoro, 2007). Rekening bernilai di atas 100 juta dengan total nilai 85% Dana Pihak Ketiga (DPK) hanya terdiri dari sekitar 1,5% rekening. Bahkan yang bernilai di atas 1 milyar hanya terdiri dari 0,14% rekening, yang menguasai lebih dari 50% DPK (Rizki, 2007).

Sementara itu, dalam konteks makro-daerah, sentralisasi fiskal tetap berlangsung di tengah pelaksanaan otonomi daerah dan masih besarnya derajat ketimpangan ekonomi antardaerah. Hal ini ditunjukkan dengan Rasio PAD terhadap APBD di Kabupaten/Kota 5 tahun setelah Otonomi Daerah (2006) yang sebesar 6,80%, justru turun dari sebesar 10,31% pada tahun 1999/2000 (Kuncoro, 2008).

Ketergantungan fiskal daerah kepada pemerintah pusat terjadi bersamaan dengan sentralisasi ekonomi (perbankan, media, korporasi) di pusat bisnis dan kekuasaan (Baswir, 2007).

Apakah hasil pilihan jalan tersebut membawa kesejahteraan dan kedaulatan rakyat Indonesia? Bukankah tidak maju sebuah bangsa sebelum menghapus betul sifat kolonial yang ada dalam tubuh ekonomi-politiknya?

Di ujung jalan, telah terjadi kemerosotan kesejahteraan rakyat, meluasnya ketimpangan, kehancuran lingkungan, dan degradasi moral (nilai sosial) yang menunjukkan kepada kita bagaimana dahsyatnya daya rusak ekonomi neoliberal yang telah menguras kekayaan SDA yang melimpah ruah di Indonesia.

Jalan ekonomi neoliberal telah meningkatkan kemiskinan dari sebesar 16,7 % di tahun 2004 menjadi 17,75% pada tahun 2006. Tingkat pengangguran pun juga meningkat dari sebesar 9,86% pada tahun 2004 menjadi 10,84% pada tahun 2005. Pada saat yang sama ketimpangan pendapatan pun meningkat yang diindikasikan dengan rasio gini yang sebesar 0,28 pada tahun 2002 menjadi sebesar 0,34 pada tahun 2005.

Kue nasional yang dinikmati oleh kelompok 40% penduduk termiskin turun dari 20,92 tahun 2002 menjadi 19,2 pada tahun 2006. Ironisnya, yang dinikmati oleh 20% kelompok terkaya naik dari 44,7% menjadi 45,7% pada tahun yang sama. Hingga akhir 2007 ini, jumlah pengangguran pun masih sekitar 10,55 juta jiwa atau 9,75%, sedangkan angka kemiskinan masih bertengger sekitar 34,2 juta orang atau 17,3%, jauh dari target yang ditetapkan SBY-JK. Sebuah paradoks di negeri yang sangat kaya SDA!

Sementara itu, Nilai Tukar Petani sekarang merupakan yang terendah sejak 10 tahun terakhir. Pada saat yang sama kesejahteraan buruh industri juga merosot, di mana upah riel buruh industri juga tumbuh negatif selama satu tahun terakhir. Kemerosotan sektor riil nampak pada merosotnya Indek Produksi Padat Karya, seperti tekstil sebesar 11%, pakaian jadi sebesar 13%, dan barang dari logam sebesar 10% (Forum Rektor Indonesia, 2007).
Kehancuran lingkungan hidup yang memakan korban jiwa terus berlansung akibat over-eksploitasi terindikasikan dengan berbagai bencana (seperti banjir, tanah longsor, dan kebakaran hutan), pencemaran air, sungai, dan udara. Ketidakberdayaan pemerintahan SBY-JK untuk mengelola lingkungan terkait dengan liberalisasi SDA di mana banyak aset-aset SDA yang dikuasai oleh modal asing dan domestik melalui kontrak-kontrak karya.

Hal ini belum termasuk kehancuran moral, akhlak, dan kohesi sosial bangsa Indonesia karena ketertundukan pada spirit materialisme dan individualisme yang diusung ekonomi neoliberal. Mal-mal dan tempat hiburan malam berkembang sebagai upaya untuk menguasai pasar (konsumen) yang harus dilucuti atribut kearifan lokal, nasionalisme, dan keber-agamaan-nya

Angka-angka statistik kiranya tidak akan menggambarkan kepedihan nasib rakyat miskin yang merasakan kian susahnya hidup saat ini. Visualisasi kepedihan ini berupa busung lapar, gizi buruk, kaum miskin tak bertempat tinggal, stress massal, sekolah rusak, dan seabreg masalah sosial ekonomi lain di alam Indonesia yang sudah 62 tahun merdeka.

Sebuah paradoks luar biasa di negeri kaya SDA ini yang (masih) harus mengalami nasib yang menyedihkan berupa krisis minyak tanah, krisis listrik, krisis pangan, krisis modal, dan berbagai harga kebutuhan pokok (migor, susu, dan kedelai) yang makin membumbung tinggi. Biaya hidup terus meningkat dan untuk banyak rumah tangga (miskin) menjadi makin tak terjangkau lagi.
Bagaimana keluar dari jalan buntu selama ini?

Jalan baru ekonomi-politik adalah sebuah keniscayaan bagi bangsa Indonesia. Jalan baru ini kiranya jelas harus diikuti dengan kepemimpinan baru dan kehadiran tim ekonomi baru pasca Pemilu 2009 yang dapat memutus mata rantai (siklus) ekonomi neokolonial (neoliberal) di Indonesia.
Jalan baru ini bukan sekedar menunjukkan mimpi ekonomi Indonesia di masa depan, melainkan jalan mana yang perlu ditempuh untuk mewujudkannya. Sebagai pedoman adalah "Jalan Baru Pendiri bangsa" yang sudah diletakkan 62 tahun yang lalu dan kita sia-siakan hingga hari ini.

Jalan itu ditekadkan untuk mengeluarkan Indonesia dari jalan lama 3,5 abad di bawah cengkeraman kolonialisme. Jalan baru segera disusun dan secara jelas dituangkan ke dalam UUD 1945 yang disahkan sehari setelah proklamasi. Agenda jalan baru tersebut adalah menghapus dominasi kolonialis (asing) dalam struktur ekonomi Indonesia yang ditunjukkan dengan segelintir elit bangsa Belanda (Eropa) yang menguasai banyak sumber daya Indonesia, bangsa Timur Asing yang menguasai jalur distribusi, dan mayoritas massa pribumi (ekonomi rakyat) Indonesia di lapisan terbawah.

Jalan itu ditumpukan pada tiga pilar utama, yaitu demokratisasi perekonomian melalui koperasi, penguasaan negara atas cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak, dan penguasaan negara atas bumi, air, dan kekayaan alam yang ada di Indonesia. Ketiga pilar ini kemudian diamanatkan dalam Pasal 33 ayat 1-3 UUD 1945.

Jalan inilah yang dengan perjuangan keras telah membuahkan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing, yang 6 tahun pasca proklamasi masih berkuasa atas perusahaan listrik, kereta api, telekomunikasi, perkebunan, dan tambang minyak di Indonesia. Jalan ini pulalah yang membawa bangsa Indonesia mampu duduk sejajar bangsa adidaya dan bahkan mampu menjadi pelopor perjuangan anti-kolonialisme bagi negara- negara baru merdeka di Asia-Afrika.

Jalan baru ini dapat ditempuh melalui banting stir paradigma dan kebijakan ekonomi nasional yang telanjur bercorak neoliberal. Berbagai agenda strategis manifes nasionalisme dan demokrasi ekonomi yang saat ini perlu diseriusi di antaranya adalah penghapusan utang luar negeri, nasionalisasi penguasaan SDA, penghentian privatisasi dan liberalisasi ekonomi, revitalisasi koperasi sejati, demokratisasi keuangan, demokratisasi perusahaan, dan reformasi agraria.

Konsepsi beragam agenda tersebut sudah tersedia dan sebagian telah diperjuangkan oleh berbagai elemen masyarakat sipil pada berbagai level. Hanya saja sebagian besar masih berada pada taraf pinggiran dan membutuhkan konsolidasi dan mobilisasi gerakan yang lebih intensif. Pada posisi inilah perlu konsolidasi dan penyemaian realisasi agenda-agenda yang terbingkai dalam jalan baru anti-neokolonialisme kepada khalayak yang lebih luas. Konsolidasi basis gerakan ekonomi kerakyatan yang didukung kaum intelektual-progresif inilah yang kiranya menentukan efektifitas realisasi jalan baru Indonesia.

Kini siapa yang dapat diharapkan memikul kembali panji-panji demokrasi ekonomi yang diamanatkan konstitusi? Sementara jangan tanya pemerintah dan DPR lah. Alih-alih mengoreksi ketimpangan struktural ini, mereka justru telah menyediakan stempel bagi tegaknya hegemoni korporatokrasi (asing).
Baru 9 bulan yang lalu mereka mengesahkan Undang-Undang No 25/2007 tentang Penanaman Modal yang makin memberi keleluasaan bagi pemodal asing untuk mengeruk kekayaan Indonesia. Rasanya ini adalah puncak prestasi (kemenangan) paham individualism

Selama beberapa pemerintah tahun setia mengerjakan proyek privatisasi BUMN dan aset strategis nasional (air, migas, dan hutan) dan liberalisasi (perdagangan, pertanian, dan pendidikan). Bukankah itu semua yang sangat tidak boleh terjadi dalam alam pemikiran demokrasi ekonomi?
Bagaimana dengan pegiat koperasi? Rasanya saya tidak akan banyak komentar, kecuali atas kenyataan bahwa kebanyakan mereka "mendiamkan" proses de-nasionalisasi dan korporatokrasi ini terjadi.

terjadinya perluasan dominasi asing terhadap kepemilikan perusahaan di Indonesia. Sebanyak 70% saham di Pasar Modal, termasuk di dalamnya 50% lebih saham perbankan, telah dikuasai pemodal asing. Kondisi ini akan berimplikasi pada penyedotan surplus perusahaan keluar negeri (net transfer), melemahnya posisi tawar pekerja, dan ketergantungan terhadap modal asing. Pada saat yang sama relasi produksi makin timpang dan tidak demokratis. Pengambilan keputusan dan kontrol perusahaan makin di luar jangkauan partisipasi pekerja karena dilakukan oleh pemilik modal yang berada jauh di luar negeri.

Pemerintah dan DPR belum menampakkan keberpihakan (komitmen) nyata. Justru produk hukum dan kebijakan yang kurang sejalan dengan agenda tersebutlah yang dibuat. Misalnya saja, liberalisasi ekonomi dan privatisasi (kontra-demokratisasi) yang diminta Bank Dunia, IMF, dan korporasi transnasional telah dipenuhi melalui pembuatan UU Sumber Daya Air, UU Migas, UU BUMN, UU Penanaman Modal, dan UU Perkeretaapian. UU yang relevan semisal UU Perseroan Terbatas dan UU Pasar Modal pun kiranya tidak mengarah pada ESOP dan demokratisasi perusahaan. Kemudian pemerintah makin gencar melakukan privatisasi BUMN dan aset strategis nasional yang praktiknya selama ini menyebabkan konsentrasi kepemilikan perusahaan pada pemodal besar (asing).

Komitmen pemegang saham umumnya baru sebatas pemberian saham kepada beberapa lapis atas manajemen perusahaan. Pada sisi pekerja pun kiranya masih muncul kegamangan terhadap perjuangan ESOP. Saham untuk pekerja seolah masih berupa mimpi karena tuntutan mereka akan upah yang layak pun masih jauh panggang dari api. Banyak pekerja yang berpikir "masih untung dapat pekerjaan di saat jutaan orang masih menganggur". Terlebih tekanan pemilik perusahaan makin mengancam kelangsungan pekerjaan mereka melalui pemberlakuan sistem kontrak, outsourcing, dan rencana sistem upah fleksibel. Kepemilikan saham seolah masih dianggap barang mewah, tak terjangkau oleh pekerja Indonesia.

Rakyat kecil pun masih berkutat dengan pendapatan pas-pasan, sulit mencari pekerjaan, dan ongkos hidup yang makin mahal. Tak pernah disadarkan pada mereka bahwa hal itu bertalian erat dengan struktur ekonomi timpang berupa dominasi kapital asing yang merupakan warisan sistem ekonomi kolonial. Hal itu terjadi di tengah eksploitasi migas yang ternyata berakibat sumber daya yang dihisap keluar (net transfer) dan alat produksi yang tidak lagi kita kuasai sebagai penyebab riil kemiskinan dan pengangguran.


 

Proporsi hasil migas yang dinikmati rakyat (negara) pun akan tidak memadai karena produksi yang dibawah kendali perusahaan asing menyebabkan kontrol biaya dan output produksi sulit dilakukan. Padahal patokan yang dipakai dalam kontrak bagi hasil adalah laba operasi, bukannya total penerimaan. Sehingga meski pemerintah mendapat bagian 85% namun nilainya akan menjadi kecil karena besarnya biaya operasional yang menjadi hak perusahaan asing.


Begitulah, sejarah nasionalisasi adalah sejarah pertarungan kekuasaan dan kepentingan, yang seringkali diarahkan oleh ideologi tertentu. Mengubah relasi kekuasaan dan ideologi tidaklah semudah memahamkan perlunya nasionalisasi. Nasionalisasi adalah prasyarat kembalinya kedaulatan bangsa dalam mengatur perekonomian. Negara akan leluasa mengelola produksi dan distribusi migas –yang juga dikelola oleh perusahaan asing- untuk kepentingan nasional (rakyat banyak). Penerimaan negara dan partisipasi produksi (kesejahteraan) rakyat dengan begitu niscaya meningkat.


Mengingat dominasi asing yang memiskinkan dan mengoyak martabat dan kedaulatan bangsa, maka "banting stir" haluan ekonomi harus dilakukan. Dan dalam keadaan pimpinan nasional belum berkemauan politik, maka perubahan mestilah dilakukan dari bawah. Massa-rakyat yang kesadaran dan kemauannya sudah muncul itulah yang akan mendorong pemerintah dan DPR untuk berkemauan seperti mereka.


 

Dana yang dikorupsi tidak pernah dikembalikan oleh koruptor ke negara. Meski yang bersangkutan sudah menjalani hukuman. Namun demikian, dana yang telah dikorupsi tersebut justru dibebankan kepada rakyat yang harus membayarnya dengan pajak tidak langsung.

''Pendapatan negara berkembang lebih banyak berasal dari pajak tidak langsung, seperti pajak penjualan. Jadi setiap kita membeli barang, tidak ubahnya mengganti dana yang sudah dikorupsi,'

Tentu saja saja para pembayar pajak mulai dari ibu-ibu pembeli sabun colek dan mie instant. Anak-anak yang membeli permen. Mahasiswa yang membeli pulsa HP,

Selama ini isu kemiskinan masih merupakan komoditas politis yang masih memiliki nilai jual dalam setiap percaturan suksesi kepemimpinan. Kemelaratan rakyat menjadi salah satu item yang paling banyak diangkat dalam kampanye-kampanye dan perebutan kekuasaan di Indonesia. Sekaligus menjadi agenda yang paling jarang mendapat perhatian serius pasca "drama" suksesi "kepemimpinan" berakhir. Layar telah dibuka dengan hingar-bingar janji dan sumpah meyakinkan yang tidak jarang diiringi "suap" politik dan lantas ditutup dengan penyelesaian yang tidak jelas juntrungnya, dimana semua omongan bisa saja menguap bersama panasnya belahan bumi tropis.

Menurut catatan Biro Pusat Statistik (BPS) per Maret 2007, di Indonesia masih terdapat rakyat miskin dalam hitungan sekitar 30 juta warga negara atau berada pada prosentase 13 %. Jika dilihat dari nominal dan prosentase maka angka ini hanya terlihat kecil, hanya sekitar sepersepuluh dari jumlah rakyat Indonesia. Namun perlu diingat, BPS menetapkan bahwa penduduk yang disebut miskin diantaranya adalah yang memiliki penghasilan di bawah Rp 5.500,00/ hari/ orang atau sekitar Rp 167.000,00/bulan/orang. Dengan standar yang hampir serupa pada Maret 2009 dapat dicatat bahwa 32,53 juta jiwa penduduk Indonesia (14,15 %) adalah penduduk miskin. Bisa dibayangkan dengan konsumsi sebesar Rp 5.500,00 per hari maka bagaimana kondisi masyarakat miskin tersebut hari ini? Makanan jenis apa yang mampu dikonsumsi oleh rakyat pada level ini? Seberapa lama mereka akan mampu bertahan hidup?

Penetapan standar kemiskinan yang bersifat demikian merupakan sebuah kamuflase belaka. Potret kemiskinan yang sebenarnya merupakan fenomena gunung es. Lebih banyak fakta yang berusaha disembunyikan dari pada yang terungkap, sekedar untuk memelihara sebuah "citra" semu. Pada Maret 2010 ini pun, standar yang digunakan tidak terlalu banyak berubah. Sementara kondisi perekonomian secara mikro dan makro telah mengalami pergeseran yang signifikan. Fenomena kemiskinan ini akan terlihat berbeda jika diukur dengan standar yang digunakan oleh World Bank. Bank Dunia menetapkan bahwa salah satu kriteria penduduk miskin adalah mereka yang memiliki penghasilan di bawah 2 dolar/ hari atau dalam kurs saat ini adalah sekitar Rp 19.000,00/hari. Dengan menggunakan standar ini maka total penduduk miskin di Indonesia akan melonjak berada di atas 43 % dari seluruh jumlah penduduk atau mendekati angka 100 juta jiwa. Sudah banyak dimaklumi, World Bank merupakan salah satu gurita perekonomian kapitalis tingkat dunia. Keberadaan lembaga ini merupakan perpanjangan tangan dari hegemoni lobby zionisme, sebuah gerakan ideologis yang dengan kejam telah mendalangi genocida terhadap warga Palestina. Namun dilihat dari sisi manapun, rupanya, penetapan standar kemiskinan yang dilakukan oleh World Bank dalah "lebih manusiawi" daripada ukuran yang menjadi pijakan pemerintah Indonesia.

Belum lagi jika standar penentapan angka kemiskinan yang digunakan sebagai alat ukur didasarkan pada konsepsi Islam, maka potret kemiskinan di Indonesia akan semakin menampakkan wajah yang coreng moreng. Rasulullah Muhammad saw telah menetapkan bahwa seseorang baru bisa disebut kaya apabila memiliki harta simpanan pasca dikurangi konsumsi sebesar 50 dirham atau setara 148, 75 gram perak atau setara dengan 21,25 gram emas. Angka 50 dirham ini merupakan harta dalam bentuk stock yaitu harta yang benar-benar dimiliki, tidak termasuk aset seperti rumah dan sandang. Kedua hal tersebut sudah harus terpenuhi sebelumnya. Standar ini secara otomatis juga menjadi garis pembatas bagi standar kemiskinan.  Namun demikian pemilik kekayaan di atas 50 dirham, yang berarti batas seseorang dianggap kaya ini, tidak serta merta kemudian dapat dikenai kewajiban untuk menyangga keuangan publik. Zakat dalam Islam baru diwajibkan pada saat kekayaan mencapai angka 200 dirham yaitu empat kali di atas garis kemiskinan atau senilai dengan 85 gram emas. Dengan demikian jarak dari 50 sampai 200 dirham merupakan masyarakat mandiri yang tidak diwajibkan zakat atau tidak ikut menanggung keuangan publik namun juga tidak berhak atas dana kemiskinan. Jika masyarakat dibagi dalam 6 (enam) standar deviasi, maka masyarakat dengan kekayaan 0-50 dirham merupakan rakyat miskin, 51-200 dirham adalah empat bagian masyarakat mandiri,  dan satu bagian di atas 200 dirham adalah kelompok kaya. Dengan demikian kekayaan perorangan sebesar 50-200 dirham ini merupakan standar interval untuk survival kelurga. Keluarga dengan kepemilikan kekayaan demikian belum dikenai kewajiban untuk memikul keuangan negara melalui zakat. (Setiaji, 2005: 28-30). Dengan berkaca pada standar Rasulullah saw ini, maka berada diposisi angka berapakah tingkat kemiskinan di Indonesia ? (Harga 1 gram emas 22 karat saat ini sekitar Rp 290.000,00).

Berbeda dengan sistem keuangan kapitalisme, Islam menetapkan bahwa keuangan negara disangga oleh kelompok pemilik kekayaan di atas nishab zakat atau setara di atas 85 gram emas dengan terus menumbuhkan kemandirian dan pengembangan ekonomi bagi kalangan menengah ke bawah. Secara sederhana, golongan ekstrim kaya bertanggung jawab untuk menanggung beban sosial golongan ekstrim miskin dan ditengah-tengah antara kedua golongan tersebut terdapat kalangan masyarakat mandiri. Di pihak lain, ekonomi kapitalis menyangga kehidupan negara dengan memberikan pembebanan yang lebih besar kepada rakyat kelas menengah ke bawah. Secara umum dalam masyarakat kapitalis, golongan pemilik modal dibebani dengan pajak dengan prosentase yang lebih rendah dibandingkan rakyat kelas menegah ke bawah. Alasannya adalah untuk menarik penanaman modal yang lebih besar dan menjaga stabilitas perekonomian. Dalam perekonomian kapitalis, untuk menjaga agar tidak terjadi gejolak sosial yang memungkinkan terjadinya kondisi chaos, maka dilakukan kebijakan berupa penggelontoran dana-dana sosial, seperti bantuan kemiskinan, beras miskin, dana pengaman sosial, bantuan kesehatan, dan lain sebagainya. Namun demikian harga yang harus dibayar oleh masyarakat kapitalis terlalu besar, terutama terkait dengan akibat dari dampak eksploitasi manusia sebagai faktor atau mesin ekonomi dan sistem free-fight-liberalism yang berjalan.

Untuk memahami model perekonomian kapitalis secara simulatif, ada sebuah PC-game menarik buatan Electronic Arts yang mampu menggambarkan mekanismenya secara bagus dan representatif. Jika pembaca adalah seorang penikmat game maka tidak ada salahnya anda mencoba memainkan SIM CITY 4. Dalam permainan ini anda akan berperan menjadi seorang wali kota yang memiliki kewenangan mengatur kota mulai dari penyediaan dan penataan lahan untuk pertanian, perumahan, perdagangan, dan kawasan industri. Juga mengatur kebutuhan rakyat akan sistem transportasi, keamanan, listrik, dan ketersediaan air bersih. Instrumen pembiayaan sebuah kota yang digunakan dalam permainan ini adalah berupa pemasukan dari pajak, retribusi, dan penanaman modal dari luar. Dalam pengaturan pajak terjadi pembedaan strata sosial dalam pemenuhan kewajiban terhadap pemerintah kota. Pemukim kaya baik dari kalangan industri, komersial, maupun masyarakat menanggung beban pajak dengan prosentase yang lebih ringan dibandingkan rakyat kelas menengah ke bawah. Fungsinya dari kebijakan ini adalah untuk menarik para pemukim kaya dan investor bersedia memberikan kontribusi dengan membangun infrastruktur dan instrumen perekonomian di wilayahnya. Sementara itu rakyat kelas menengah ke bawah, yang dalam game simulasi menjadi warga dengan kuantitas yang dominan, tetap akan tertarik untuk menjadi pemukim dengan adanya daya tarik kota berupa ketersediaan lapangan pekerjaan, mimpi kehidupan yang lebih layak, dan janji-janji kesuksesan bersama kota yang sedang tumbuh menjadi kawasan metropolitan. Meskipun demikian prosentase pajak yang harus ditanggung oleh penduduk kelas menengah ke bawah adalah lebih besar dari kalangan penduduk elit. Demikianlah hal yang sama juga  berlaku dalam dunia kapitalis dan liberal, dimana "penindasan" merupakan salah satu deret prestasi yang seolah menjadi bagian dari kepanjangan nama lengkapnya.  

Pemberdayaan masyarakat dengan memberikan solusi baru bagi masyarakat penting dilakukan. Sikap Rasulullah terhadap seorang peminta-minta pantas ditempatkan sebagai sumber inspirasi utama. Suatu hari seorang lelaki berkunjung hendak meminta bantuan material untuk memenuhi kebutuhan konsumsi keluarganya kepada Nabi. Nabi melihat bahwa lelaki itu masih memiliki fisik yang kuat. Lelaki itu juga menegaskan bahwa ia masih memiliki sejumlah harta yang bisa dijual. Maka Rasulullah kemudian memerintahkan lelaki itu untuk menjual hartanya dan hasilnya digunakan untuk membeli sebuah kapak serta sisanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan kelurganya. Singkat cerita, lelaki tersebut akhirnya memiliki mata pencaharian sebagai penjual kayu bakar. Ia bukan lagi seorang "peminta-minta" dan dengan demikian martabatnya dapat dipelihara dihadapan sesamanya. Islam juga menekankan sisi lain yang lebih signifikan dalam pemeliharaan martabat manusia di hadapan Allah, yaitu ketakwaan. Konsep yang terakhir ini akan banyak berpengaruh dalam mewujudkan aset mentalitas dan moralitas bagi model pengentasan kemiskinan. Dengan demikian, model-model pengentasan kemisikinan yang mampu menempatkan martabat manusia untuk berjalan tanpa menyeleweng dari fithrah penciptaan secara menyeluruh harus senantiasa diupayakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar