Rabu, 01 Juni 2011

IPM DAN KETIMPANGAN

Sebuah berita "kecil" beberapa hari yang lalu hadir di sela-sela pembicaraan "besar" elit politik dan ekonomi kita : Indek Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia berada di peringkat 112 dari 175 negara yang menjadi sampel survey United Nation Development Program (UNDP). Timbul pertanyaan apakah berita ini telah secara serius ditanggapi? Apakah data-data beserta implikasinya ini lebih penting dibanding tarik ulur anggaran dewan-eksekutif di daerah tentang dana pensiun, dana asuransi, dan macam-macam tunjangan kesejahteraan pejabat lainnya?

Apakah juga kondisi manusia Indonesia menurut UNDP tersebut lebih krusial dibanding rencana pembayaran BLBI, privatisasi BUMN, rekapitalisasi perbankan, dan tarik ulur kepentingan politik-ekonomi di tingkat pusat?. Jika jawabannya tidak maka kita perlu menggugat kembali, apa yang diinginkan negara kita dengan tujuan nasional pembangunannya, di bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Tidakkah seperti yang diamanatkan oleh konstitusi bahwa tujuan pembangunan nasional kita adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya?. Kini kita lihat hasilnya, negara kita masih tertinggal sekedar hanya memenuhi kebutuhan dasar manusianya untuk menikmati pendidikan, kesehatan, dan kemampuan membeli barang kebutuhan sehari-hari.

Salah arah-kah pembangunan kita sehingga pendirian gedung-gedung mewah, infrastruktur ekonomi, rumah sakit dan sekolah-sekolah elit di pusat-pusat kota dapat berbarengan dengan banyaknya balita yang kurang gizi atau bahkan bergizi buruk serta banyaknya wanita subur yang menderita resiko kekurangan energi kronis (Khudori, 2003). Di satu sisi banyak warga negara yang gemar pesta, bergaya hidup glamour, hedonis, namun di sisi lain masih banyak anak-anak yang putus sekolah atau tidak tertampung di sekolah yang ada hingga sebagian terpaksa menghabiskan masa kecilnya di jalanan, berbaur dengan asap penyakit.

Ironis memang jika Indonesia diposisikan sebagai negara peringkat 112 HDI dunia. Indonesia memang negara yang pemerintah dan sebagian masyarakatnya miskin (terjerat hutang dan senantiasa mendatangkan hutang baru) namun pejabat pemerintahnya, elit ekonomi, dan politiknya sangat jauh sekedar untuk dikatakan hidup sederhana. Peringkat IPM Indonesia tersebut hanya menggambarkan bahwa ketimpangan dan ketidakadilan distribusi hasil pembangunan masih terjadi di negeri reformasi ini. Hal itu juga menunjukkan bahwa pembangunan manusia Indonesia secara utuh dan menyeluruh belum sepenuhnya diprioritaskan oleh para pengambil kebijakan politik-ekonomi kita.

Dapat dipahami bahwa kondisi kemiskinan dari 38,39 juta orang yang merupakan 19% dari penduduk total tahun 2003 (Hari Sabarno, 2003) tidak cukup menjadi perhatian besar bagi negara besar seperti Indonesia. Program-program yang ditujukan untuk mengurangi kemiskinan masih belum menyentuh aspek pembangunan manusia bagi penduduk miskin yang ada.

Amartya Sen dalam bukunya "Development as Freedom" mengutarakan bahwa penyebab kemiskinan dan keterbelakangan adalah persoalan aksesibilitas. Akibat keterbatasan dan ketertiadaan akses maka manusia mempunyai keterbatasan (bahkan tak ada pilihan) untuk mengembangkan hidupnya, kecuali menjalankan apa terpaksa saat ini yang dapat dilakukan (bukan yang seharusnya bisa dilakukan). Akibatnya potensi manusia untuk mengembangkan hidupnya menjadi terhambat (Bambang Ismawan, 2002).

Berpijak pada konsep pemenuhan kebutuhan dasar manusia, akses terhadap pemenuhan kebutuhan sehari-hari (dalam wujud daya beli), akses terhadap fasilitas kesehatan yang murah dan memadai, serta akses untuk menikmati setiap jenjang pendidikan adalah prasyarat minimal bagi tercapainya kesejahteraan masyarakat. Pemikiran ini sudah jauh-jauh hari dirumuskan oleh founding father kita, yang dituangkan dalam UUD 1945, landasan konstitusi tertinggi kita. Masih ingatkah kita dengan pasal 29, pasal 31, pasal 33, dan pasal 34 UUD 1945 (yang diamandemen menjadi UUD 2002)?.

Pasal-pasal tersebut telah jelas dan tegas mengamanatkan bahwa akses terhadap penghidupan yang layak, termasuk kesehatan dan pendidikan adalah hak setiap warga negara. Bahkan kondisi ideal yang diatur hukum kita adalah bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara, tentu saja dengan penekanan pada kewajiban pemerintah, baik di pusat maupun daerah.

Pembangunan selama 58 tahun tidak bisa dipungkiri telah membawa kemajuan yang berarti, khususnya di bidang sarana-prasarana sosial dan ekonomi. Telah banyak rumah sakit, puskesmas, sekolah, dan pusat-pusat kegiatan ekonomi dibangun. Namun sayangnya pembangunan ini tidak diikuti dengan persebaran akses secara merata ke seluruh lapisan masyarakat di Indonesia. Fenomena ketimpangan akses adalah kondisi awal yang menimbulkan kondisi berikutnya yaitu kemiskinan masyarakat. Akses sosial terhadap kesehatan dan pendidikan adalah milik mereka yang berpunya (the have) karena prasyarat memanfaatkannya adalah daya beli (uang) yang sulit dipenuhi oleh mereka yang "the have not", atau dalam istilah strukturalis, golongan kelas bawah (underclass).

Daya beli kelompok masyarakat ini sudah dihabiskan untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka, yaitu pangan, sandang, dan papan (kalau memungkinkan). Mujur bagi mereka, pemerintah dan sebagian masyarakat masih memiliki cukup kepekaan sosial untuk memperhatikan mereka dengan merancang program-program bertajuk penanggulanganan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar