Lihatlah struktur produksi minyak Indonesia. Sebagian besar kontrol migas Indonesia hari ini berada di tangan segelintir korporasi asing, yang menguasai 85,4% dari 137 konsesi pengelolaan lapangan migas di Indonesia, sekaligus menduduki 10 besar produsen minyak di Indonesia.
Penguasaan minyak oleh korporasi asing ini telah melemahkan kontrol negara terhadap alokasi produksi, biaya produksi, cost recovery, dan tingkat harga minyak. Akibatnya pemenuhan kebutuhan domestik yang sekiranya dapat menstabilkan harga domestik tidak lagi menjadi utama. Indonesia memang mengimpor BBM sebesar 302,599 barel/hari pada tahun 2007. Tetapi pada saat yang sama minyak kita pun dijual ke luar negeri sebanyak 348.314 barel/hari (ESDM, 2008).
Sementara itu, biaya produksi minyak di Indonesia membengkak hingga 9 dollar AS per barrel. Padahal di Malaysia hanya sekitar 3,7 dollar AS per barrel dan di North Sea yang paling sulit pun juga hanya sekitar 3 dollar AS per barrel. Di samping itu, cost recovery menjadi kian meningkat dan hampir mencapai 30% pada tahun 2007.
Kontrol minyak oleh pasar (korporasi?) pada akhirnya diwujudkan melalui "pemaksaan" penentuan harga minyak internasional di New York Merchantile Exchange. Padahal hampir tidak ada minyak Indonesia yang diperdagangkan di sana, bahkan volume transaksi di pasar minyak tersebut hanya meliputi 30% transaksi minyak dunia (Kwik, 2007).
Akibatnya harga minyak tidak lagi di bawah kendali akal sehat dan negara yang berdaulat.
Harga diciptakan untuk memaksakan keuntungan maksimum bagi korporasi minyak, yang hingga kini keuntungannya telah mencapai US$ 123 milyar atau setara dengan Rp 1.131 Trilyun.
Kolonisasi ini kian dikukuhkan melalui kepatuhan (keterpaksaan?) menteri-menteri ekonom neoliberal rezim pemerintahan SBY-JK dalam menjalankan agenda-agenda Konsensus Washington.
Naiknya harga BBM merupakan implikasi dilakukannya liberalisasi, privatisasi, pengahapusan subsidi, dan deregulasi migas yang menjadi pilar agenda tersebut. Jalan ekonomi neoliberal inilah yang memaksa diperkecilnya peran Pemerintah dan Pertamina, berubahnya BBM dari barang publik ke barang privat, dilepasnya harga BBM ke mekanisme pasar (penghapusan subsidi), dan masuknya korporat swasta dalam bisnis migas hingga sektor hilir.
Menyusul kenaikan harga BBM pada 2005 lalu, beberapa pemodal asing mulai menancapkan kukunya dalam bisnis eceran BBM di Indonesia.
Sejauh ini, jaringan SPBU mereka masih terbatas dalam wilayah Jabodetabek. Tetapi dalam jangka panjang, mereka jelas ingin mengepakkan sayapnya ke seluruh penjuru Indonesia.
Bagi perusahaan multinasional, harga BBM bersubsidi adalah musuh besar yang harus secepatnya disingkirkan. Sebagai perusahaan multinasional, mereka menjual BBM sesuai dengan standar harga internasional. Jika Pertamina masih tetap menjual BBM dengan harga bersubsidi, bagaimana mungkin mereka dapat memperluas jaringan SPBU-nya? (Baswir, 2008).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar