Kemiskinan di Indonesia selama ini terjebak ke dalam dua pendekatan yang berjalan terpisah:
1. Pendekatan secara birokratik / akedemik-statistik yang berusaha membuat "peta kemiskinan" sebelum merasa cukup layak untuk melakukan sesuatu. Ini biasanya dilanjutkan dengan upaya membuat program-program dan proyek-proyek "pengentasan kemiskinan."
2. Pendekatan mobilisasi massa kelompok miskin yang berusaha membuat "tekanan" kepada birokrasi pemerintah untuk melakukan apa yang sepatutnya dikerjakan untuk mengentaskan kemiskinan.
Sebagai dua titik ujung dari spektrum permasalahan, tercatat pendekatan yang menggabungkan keduanya, dalam berbagai variasi,
Birokrasi pemerintah, LSM, komunitas akar-rumput, pakar dan akademisi, lembaga multi-lateral dan bi-lateral, dalam berbagai programnya satu dan lain mewarnai kegiatannya dan masuk dalam salah satu kategori di atas.
Keduanya tercatat tidak efektif, sebab kalau tidak maka kondisi kemiskinan di perkotaan Indonesia tentunya mengalami perbaikan, dan ternyata justru sebaliknya.
Hal ini harus dikoreksi.
Kelemahan pokok dari pendekatan yang berjalan selama ini adalah: kepentingan rakyat miskin tidak secara sungguh-sungguh terwakilkan dan menjadi agenda politik, serta dijalankan dalam roda pemerintahan dan kehidupan sosial-ekonomi di masyarakat.
Pemerintah (termasuk lembaga keuangan internasional yang mensponsori program dan proyeknya) sibuk dengan birokrasi proyek dan menjaga "akuntabilitas" (yang sering kali artinya adalah: korupsi dengan cara yang lebih canggih dan lolos dari jeratan KPK), habis waktu untuk menjaga mekanisme birokrasi proyek yang akhirnya kehilangan substansi untuk benar-benar menyelesaikan masalah yang dihadapi. Situasi ini selalu dapat diatasi dengan membuat rekomendasi di akhir proyek untuk "melakukan studi lanjutan dan pendalaman" sebelum berani memberikan solusi. Situasi ini sering dijadikan bulan-bulanan kritik dan lontaran amarah dari kelompok LSM dan kalangan politik yang ber-"oposisi."
Di lain pihak, partai-partai politik, baik yang sedang berkuasa, atau pernah berkuasa sebelumnya, dan yang ingin berkuasa, masing-masing sibuk dengan upaya rekayasa pemenangan suara, tak sempat lagi membaca apalagi memahami "peta kemiskinan" (kalaupun itu ada). Perwakilan partai dalam Dewan Perwakilan tentu saja juga cerminan dari ketidak-tahuan atau ketidak-mampuan memahami masalah yang dihadapi (dengan asumsi bukan karena "ketidak-pedulian"), apalagi mampu memberikan solusi untuk diperjuangkan dalam agenda politik di tingkat nasional ataupun daerah. Para wakil partai yang dikirim duduk dalam kabinet dan mengambil posisi lembaga publik, juga sama saja, buta-huruf dengan permasalahan kemiskinan rakyat yang dihadapi.
Ini semua diperburuk dan dilator-belakangi oleh mentalitas feodal yang masih kental melekat dalam budaya masyarakat kita, mengganggap sudah sepantasnya bahwa "menjadi rakyat adalah miskin" dan "menjadi penguasa tentu harus lebih kaya." Budaya feodal ini tidak hanya menjadi nilai yang dipercaya dan diyakini oleh para bos baru dan pengusa lama yang sekarang bergabung dalam satu jajaran (meskipun terkadang mereka berseteru dan bersaing), tetapi juga sedihnya masih kental dan belum terbebaskan dalam tradisi beberapa kelompok rakyat miskin.
Secara struktural nilai-nilai feodalisme baru (dan lama) ini saling mengikat dan melanggengkan hubungan "majikan dan hamba" atau "kawula dan gusti" dalam berbagai wujudnya di bermacam organisasi sosial dan organisasi politik, termasuk ke birokrasi pemerintah, dan bahkan ke organisasi bisnis (yang seharusnya lebih rasional).[i]
Sudah saatnya kita bekerja dan mengambil tindakan, lupakan mereka para pencundang tersebut.
Saatnya kini menetapkan Agenda Politik Sosialis kita.
1. Jangan lagi kita membuang waktu untuk membahas, berseminar, dan berbirokrasi dengan program "pengentasan kemiskinan" yang disebutkan oleh para birokrat-feodal dan politisi-feodal yang menjual kemiskinan sebagai komoditi politik mereka.
2. Jangan lagi kita percaya pada ideologi ekonomi pasar neo-liberal yang menjanjikan adanya "keseimbangan" permintaan dan penawaran untuk menyelesaikan kemiskinan rakyat. Rakyat miskin selalu dalam posisi di bawah yang tidak punya posisi tawar.
3. Jangan pula kita percaya bahwa kemiskinan bisa langsung dihapuskan dengan melakukan sejumlah demonstrasi, mobilisasi massa, apalagi melakukan anarki, penjarahan dan kekerasan. Justru kondisi ini akan memperburuk keadaan dan akhirnya rakyat miskin sendiri yang paling dirugikan dan menjadi korban, dan semakin memperkuat kedudukan penguasa yang lalu mempunyai alasan untuk "mengendalikan keadaan." Sejarah telah membuktikan, sejumlah huru-hara di negara ini tidak pernah berakhir dengan memperbaiki keadaan, bahkan sebaliknya.
4. Jangan kita kaum miskin merasa diri kita rendah dan miskin. Kemiskinan ini adalah akibat perbuatan mereka, akibat dari kebodohan penguasa dan politisi yang sok-bisa mengatur negara ini. Merekalah yang "miskin" secara kecerdasan dan moralitas, yang mengakibatkan kesusahan hidup dari mayoritas rakyat.
5. Sudah saatnya kita, kaum miskin, yang tersingkir, yang tertindas, yang terabaikan, melakukan tindakan dan membuat agenda kerja kita.
Dipilih beberapa program yang bersifat strategis, untuk melepaskan diri dari kungkungan hubungan ketergantungan ekonomi pada "sistem pasar" yang terbukti gagal, melalui:
a. Program swa-sembada karbohidrat, dengan menanam tanaman pokok sehari-hari: padi, jagung, sagu, singkong.
b. Program swa-sembada protein, dengan membudi-dayakan sumber-sumber protein: kedelai, ikan air tawar, hasil laut.
c. Program peningkatan pendapatan dengan memproses hasil-hasil budidaya menjadi komoditi perdagangan yang dibutuhkan banyak pihak. Diutamakan untuk berdagang atau bertukar/barter dengan sesama Komunitas Sosialis di tempat lain, termasuk secara internasional.
d. Program perbaikan gizi bagi ibu-ibu hamil, ibu menyusui dan anak balita.
e. Program kesehatan dengan pendekatan pencegahan, dengan memanfaatkan pengetahuan lokal, pengobatan tradisional, dan juga pengobatan moderen secara benar (tanpa menjadi korban industri farmasi).
f. Program pendidikan yang berdasar peningkatan budi pekerti, kecerdasan, berpikir kritis, dan keterampilan tepat guna di lingkungan masing-masing. Dibangun pemahaman baru bahwa pendidikan bukan hanya mengejar ijazah, apalagi untuk menjadi birokrat-feodal baru.
g. Program teknologi tepat guna untuk meningkatkan efisiensi dan daya guna dalam penggunaan energi, perumahan, transportasi, ekonomi rumah tangga, dan lainnya.
h. Kesemua program di atas adalah sekaligus membuka peluang lapangan kerja secara bermartabat, dimana manusia dihargai karena karya dan kerjanya, bukan karena status sosialnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar