Tanpa melakukan koreksi struktur dan jalan ekonomi tersebut, maka kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah akan cenderung tidak pro-rakyat.
Hal inilah yang rupanya tidak diakui oleh rezim pemerintahan SBY-JK yang dalam upayanya meyakinkan tiadanya pilihan selain menaikkan harga BBM menyampaikan alasan-alasan yang tidak disertai dengan data dan fakta yang lengkap (terbuka). Mengapa?
Pertama, alasan bahwa tanpa menaikkan BBM maka APBN akan "jebol" terkesan mengada-ada. Kenaikan harga minyak internasional selain menambah pengeluaran untuk pembelian impor BBM sebenarnya juga menambah penerimaan negara dari ekspor dan pajak dari minyak.
Data APBN-P 2008 menunjukkan bahwa kenaikan harga minyak dunia selain menambah besaran "subsidi" BBM dari Rp. 45,8 T menjadi Rp. 126,8 T (naik Rp. 81 T) juga menambah PPH migas dari Rp. 41.6 T menjadi Rp. 53,6 T, pajak ekspor dari Rp. 4,0 T menjadi Rp. 11,1 T, dan Penerimaan Minyak Bumi dari Rp. 84,3T menjadi sebesar Rp. 149 T. Total perkiraan kenaikan penerimaan negara adalah sebesar Rp. 84 T. Ini yang tidak pernah dijelaskan pemerintah.
Kedua, alasan bahwa subsidi BBM lebih banyak dinikmati orang-orang kaya sehingga perlu dihapus cenderung dicari-cari. Pelaku usaha transportasi rakyat, industri kecil, dan nelayan juga merupakan konsumen terbesar BBM. Dalam struktur ekonomi yang timpang dan kolonialistik seperti di atas memang hampir semua layanan publik sepertihalnya jalan tol, jasa kepolisian, dan belanja publik lainnya akan lebih banyak dinikmati orang-orang kaya, bahkan termasuk keberadaan pemerintah itu sendiri. Apakah pemerintah dengan begitu perlu dihapuskan?
Dalam logika barang publik maka akses didapat dengan biaya sama karena yang membedakan adalah besaran pajak (progresif) yang harus dibayar orang-orang kaya dalam jumlah makin besar. Lagi pula, mengapa pemerintah tidak menghapus subsidi ke bank-bank yang jelas-jelas milik orang kaya yang dibayar sebesar Rp.40 T/tahun melalui oblikasi rekap?
Ketiga, alasan bahwa harga bensin premium di Indonesia terlalu murah dibanding negara lain pun terkesan menutup-nutupi fakta. Harga bensin di Venezuela hanya Rp 460/liter, di Saudi Arabia Rp 1.104/liter, di Nigeria Rp 920/liter, di Iran Rp 828/liter, di Mesir Rp 2.300/liter, dan di Malaysia Rp 4.876/liter. Rata-rata pendapatan per kapita di negara-negara tersebut lebih tinggi dari kita. Sebagai contoh Malaysia sekitar 4 kali lipat dari negara kita.
Sementara itu, AS dan Cina yang importer minyak terbesar dan ketiga di dunia tetapi harga minyak di AS cuma Rp 8.464/liter sementara Cina Rp 5.888/liter.. Padahal penduduk kedua negara lebih besar dari Indonesia (Cina penduduknya 1,3 milyar). Indonesia meski premium cuma Rp 4.500 (yang akan dinaikkan jadi Rp 6.000/liter) namun harga Pertamax mencapai Rp 8.700/liter. Lebih tinggi dari harga di AS. Padahal UMR di Indonesia cuma US$ 95/bulan sementara di AS US$ 980/bulan (nizaminz, 2008).
Keempat, alasan bahwa harga BBM yang terlalu murah telah memicu pemborosan konsumsi BBM di Indonesia terlalu dipaksakan. Data statistik menunjukkan untuk konsumsi minyak per kapita di Indonesia menempati urutan 116 di bawah negara Afrika seperti Namibia dan Botswana dengan 1,7 barrel per tahun (0,7 liter per hari). Untuk jumlah keseluruhan, Indonesia yang jumlah penduduknya terbesar ke 4 di dunia hanya menempati peringkat 17. (ibid).
Kelima, alasan bahwa pemerintah tidak memiliki opsi lain dalam "menyelamatkan APBN" selain menaikkan harga BBM pun terlalu lemah. Tersedia berbagai opsi untuk itu sepertihalnya penghapusan utang haram rezim korup dan diktator (odious debt) yang telah menguras seperempat APBN, pencabutan pembayaran bunga obligasi rekap, penetapan pajak progresif, dan penyelamatan aset-aset (SDA) negara yang dicuri.
Keenam, alasan bahwa dampak negatif kenaikan harga BBM dapat dieliminasi dan melalui penyaluran BLT sungguh terlalu naif. Belajar dari tahun 2005, BLT tidak ada kaitannya dengan pengurangan kemiskinan karena BLT sekedar diupayakan untuk meredam resistensi rakyat miskin. Selain nilai tambah ekonominya yang tidak lagi signifikan (kalah dengan makin beratnya ongkos hidup), nilai tambah sosial-kulturalnya sama sekali tidak berasa. Lagi-lagi rakyat miskin dipaksa "mengemis-ngemis" sekedar untuk mengharap belas kasihan Pemerintah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar