Dari sudut seni dan budaya, ya seperti melihat orang pilek. Tidak hanya memfokuskan pada hidung saja karena hidung hanya output-nya. Tapi, harus dicari pusat masalah pilek itu ada di mana. Termasuk, jika kita melihat Indonesia dalam konteks seni budaya Tidak bisa dijadikan pedoman karena seni budaya itu hanya ouput.
Jadi, di mana sebenarnya pokok persoalan yang terjadi?
Pokok persoalan bangsa ini ada di ideologi dan konstitusi yang dipilih. Seperti orang mau masak, kan harus jelas. Mau masak pakai model Barat, pakai cara Jawa, atau mau meneruskan masakan tradisional. Itu harus diperbaiki. Itu masalah kita.
Kita mau demokrasi murni atau mau kontinuasi dari bentuk dan formula kekuasaan sebelumnya? Kita tidak transformatif. Maunya meloncat saja. Tiba-tiba demokrasi, tiba-tiba Pilkada.
Saya menilai Pilkada langsung tidak ada gunanya. Wong orang belum tahu cara memilih kok. Tahunya masuk kotak. Kriterianya tidak ngerti, apalagi parameternya. Jadi, demi 'Tuhan' yang bernama 'demokrasi Yang Maha Esa' itu, kita buang duit banyak sekali.
Artinya, ada masalah dalam pilihan konstitusi kita?
Orang bebas memilih itu penting. Tapi, itu bisa mencelakakan orang yang belum bisa memilih. Seperti bayi dibebaskan, ia memilih yang nggak benar.
Demokrasi itu penting sekali bagi mereka yang punya kemampuan memilih. Bagi orang yang tidak punya kemampuan memilih, demokrasi akan mencelakakan.
Bagaimana Anda melihat 10 tahun reformasi?
Saya melihatnya bukan 10 tahun reformasi. Saya melihat saat ini kemampuan masyarakat menurun. Dulu, kalau seseorang mau mencalonkan diri sebagai lurah, mereka tidak menunjukkan muka. Cukup pakai lambang seperti padi, payung, kentongan. Sekarang tidak begitu. Pakai gambar orangnya.
Sekarang calon tidak punya malu, tidak tahu diri, tidak jelas tujuannya. Barang siapa punya modal, ia bisa tampil. Gitu kok dibilang maju. Maju cap opo?
Harusnya bagaimana?
Wah nggak tahu. Terserah. Saya tidak mau ngomong. Wong orang juga tidak mau mendengarkan kok. Pokoknya saat ini Indonesia sakit. Terserahlah.
Kalau mau sembuh, harus janji melakukan segala sesuatu dengan benar. Kalau mau sembuh, selalu ada jalan. Kalau mau bangkit, ada jalan. Tapi, apakah benar bangsa kita mau bangkit? Yang ada hanya upacara Kebangkitan Nasional.
Terhadap upaya yang dilakukan para elit saat ini seperti agamawan atau politikus, bagaimana Anda melihatnya?
Niat orang tidak bisa diklaim baik atau buruk, serius atau tidak. Yang bisa dijadikan indikator adalah output-nya. Saat ini yang ada hanyalah industri. Tidak ada negara.
Semua itu pasar. DPR pasar, eksekutif juga pasar. Orang mau ngapaian saja kan tujuannya mencari laba. Mau jadi anggota DPR, cari laba, dagang. Jadi ustadz, tujuannya juga dagang. Bahkan, ke masjid pun 'berdagang', ingin pahala, ingin surga.
Itu tidak apa-apa, monggo. Cuma jangan salahkan kita-kita. Jadi, kalau masak pecel, jangan menunggu soto Betawi.
Jadi, bisa dikatakan reformasi ini belum menghasilkan apa pun?
Dulu, makna reformasi adalah pokoknya Soeharto jatuh. Setelah Soeharto jatuh, mau ngapaian, tidak ada yang tahu sampai sekarang. Tidak ada yang berpikir kebangsaan, tidak ada yang berpikir bagaimana masa depan Indonesia.
Yang dipikirkan adalah bagaimana kelompok saya, nasib diri sendiri. Bukan berarti saya mengatakan sebegitu buruknya reformasi ini, tapi reformasi ini tidak fokus.
Kalau begitu, bagaimana nasib bangsa ini?
Saya melihat tidak ada siapa pun yang bisa menyelesaikan masalah bangsa ini. Mau pakai ilmu demokrasi, mau pakai ilmu keraton, tidak bisa.
Kalau dulu yang rusak hanya pemimpinnya, sekarang rakyatnya juga rusak. Mental rakyat kita sangat rusak, ya maling, culas, mata duitan. Dari tukang parkir sampai satpamnya juga rusak. [P1/I3]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar