Rabu, 01 Juni 2011

KONSEPSI SISTEM EKONOMI KERAKYATAN


  1. 1.1. Pengertian Sistem Ekonomi Kerakyatan
    Ekonomi kerakyatan (Demokrasi ekonomi) adalah sistem ekonomi nasional yang disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, di mana produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat (rakyat) dalam mengendalikan jalannya roda perekonomian (Baswir, 1993).
    1.2. Landasan Konstitusional Sistem Ekonomi Kerakyatan
    Sistem Ekonomi Kerakyatan merupakan sistem ekonomi yang mengacu pada amanat konstitusi nasional, sehingga landasan konstitusionalnya adalah produk hukum yang mengatur (terkait dengan) perikehidupan ekonomi nasional yaitu:
    1) Pancasila (Sila Ketuhanan, Sila Kemanusiaan, Sila Persatuan, Sila Kerakyatan, dan Sila Keadilan Sosial)
    2) Pasal 27 ayat (2) UUD 1945: "Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan".
    3) Pasal 28 UUD 1945: ""Kemerdekaan bersrikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tertulis dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang."
    4) Pasal 31 UUD 1945: "Negara menjamin hak setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan"
    5) Pasal 33 UUD 1945:
    1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan.
    2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
    3) Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
    6). Pasal 34 UUD 1945: "Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara."

    1.3. Substansi Sistem Ekonomi Kerakyatan
    Berdasarkan bunyi kalimat pertama penjelasan Pasal 33 UUD 1945, dapat dirumuskan perihal substansi ekonomi kerakyatan dalam garis besarnya mencakup tiga hal sebagai berikut.
    1. Partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam proses pembentukan produksi nasional. Partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam proses pembentukan produksi nasional menempati kedudukan yang sangat penting dalam sistem ekonomi kerakyatan. Hal itu tidak hanya penting untuk menjamin pendayagunaan seluruh potensi sumberdaya nasional, tetapi juga penting sebagai dasar untuk memastikan keikutsertaan seluruh anggota masyarakat turut menikmati hasil produksi nasional tersebut. Hal ini sejalan dengan bunyi Pasal 27 UUD 1945 yang menyatakan, "Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusian."
    2. Partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam turut menikmati hasil produksi nasional. Artinya, dalam rangka ekonomi kerakyatan, harus ada jaminan bahwa setiap anggota masyarakat turut menikmati hasil produksi nasional, termasuk para fakir miskin dan anak-anak terlantar. Hal itu antara lain dipertegas oleh Pasal 34 UUD 1945 yang menyatakan, "Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara." Dengan kata lain, dalam rangka ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi, negara wajib menyelenggarakan sistem jaminan sosial bagi fakir miskin dan anak-anak terlantar di Indonesia.
    3. Kegiatan pembentukan produksi dan pembagian hasil produksi nasional itu harus berlangsung di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Artinya, dalam rangka ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi, anggota masyarakat tidak boleh hanya menjadi objek kegiatan ekonomi. Setiap anggota masyarakat harus diupayakan agar menjadi subjek kegiatan ekonomi. Dengan demikian, walau pun kegiatan pembentukan produksi nasional dapat dilakukan oleh para pemodal asing, tetapi penyelenggaraan kegiatan-kegiatan itu harus tetap berada di bawah pimpinan dan pengawasan anggota-anggota masyarakat. Unsur ekonomi kerakyatan yang ketiga ini mendasari perlunya partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam turut memiliki modal atau faktor-faktor produksi nasional. Modal dalam hal ini tidak hanya terbatas dalam bentuk modal material (material capital), tetapi mencakup pula modal intelektual (intelectual capital) dan modal institusional (institusional capital). Sebagai konsekuensi logis dari unsur ekonomi kerakyatan yang ketiga itu, negara wajib untuk secara terus menerus mengupayakan terjadinya peningkatkan kepemilikan ketiga jenis modal tersebut secara relatif merata di tengah-tengah masyarakat. Negara wajib menjalankan misi demokratisasi modal melalui berbagai upaya sebagai berikut:
    1) Demokratisasi modal material; negara tidak hanya wajib mengakui dan melindungi hak kepemilikan setiap anggota masyarakat. Negara juga wajib memastikan bahwa semua anggota masyarakat turut memiliki modal material. Jika ada di antara anggota masyarakat yang sama sekali tidak memiliki modal material, dalam arti terlanjur terperosok menjadi fakir miskin atau anak-anak terlantar, maka negara wajib memelihara mereka.
    2) Demokratisasi modal intelektual; negara wajib menyelenggarakan pendidikan nasional secara cuma-cuma. Artinya, dalam rangka ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi, penyelenggaraan pendidikan berkaitan secara langsung dengan tujuan pendirian negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan tidak boleh dikomersialkan. Negara memang tidak perlu melarang jika ada pihak swasta yang menyelenggarakan pendidikan, tetapi hal itu sama sekali tidak menghilangkan kewajiban negara untuk menanggung biaya pokok penyelenggaraan pendidikan bagi seluruh anggota masyarakat yang membutuhkannya.
    3) Demokratisasi modal institusional; tidak ada keraguan sedikit pun bahwa negara memang wajib melindungi kemerdekaan setiap anggota masyarakat untuk berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat. Secara khusus hal itu diatur dalam Pasal 28 UUD 1945, "Kemerdekaan bersrikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tertulis dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang." Kemerdekaan anggota masyarakat untuk berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat tersebut tentu tidak terbatas dalam bentuk serikat-serikat sosial dan politik, tetapi meliputi pula serikat-serikat ekonomi. Sebab itu, tidak ada sedikit pun alasan bagi negara untuk meniadakan hak anggota masyarakat untuk membentuk serikat-serikat ekonomi seperti serikat tani, serikat buruh, serikat nelayan, serikat usaha kecil-menengah, serikat kaum miskin kota dan berbagai bentuk serikat ekonomi lainnya, termasuk mendirikan koperasi.

    1.4. Ciri (Karakteristik) Sistem Ekonomi Kerakyatan
    1) Peranan vital negara (pemerintah). Sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 33 ayat 2 dan 3 UUD 1945, negara memainkan peranan yang sangat penting dalam sistem ekonomi kerakyatan. Peranan negara tidak hanya terbatas sebagai pengatur jalannya roda perekonomian. Melalui pendirian Badan-badan Usaha Milik Negara (BUMN), yaitu untuk menyelenggarakan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, negara dapat terlibat secara langsung dalam penyelenggaraan berbagai kegiatan ekonomi tersebut. Tujuannya adalah untuk menjamin agar kemakmuran masyarakat senantiasa lebih diutamakan daripada kemakmuran orang seorang, dan agar tampuk produksi tidak jatuh ke tangan orang seorang, yang memungkinkan ditindasnya rakyat banyak oleh segelintir orang yang berkuasa.
    2) Efisiensi ekonomi berdasar atas keadilan, partisipasi, dan keberlanjutan. Tidak benar jika dikatakan bahwa sistem ekonomi kerakyatan cenderung mengabaikan efisiensi dan bersifat anti pasar. Efisiensi dalam sistem ekonomi kerakyatan tidak hanya dipahami dalam perspektif jangka pendek dan berdimensi keuangan, melainkan dipahami secara komprehensif dalam arti memperhatikan baik aspek kualitatif dan kuantitatif, keuangan dan non-keuangan, maupun aspek kelestarian lingkungan. Politik ekonomi kerakyatan memang tidak didasarkan atas pemerataan, pertumbuhan, dan stabilitas, melainkan atas keadilan, partisipasi, dan keberlanjutan.
    3) Mekanisme alokasi melalui perencanaan pemerintah, mekanisme pasar, dan kerjasama (kooperasi). Mekanisme alokasi dalam sistem ekonomi kerakyatan, kecuali untuk cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, tetap di dasarkan atas mekanisme pasar. Tetapi mekanisme pasar bukan satu-satunya. Selain melalui mekanisme pasar, alokasi juga didorong untuk diselenggaran melalui mekanisme usaha bersama (koperasi). Mekanisme pasar dan koperasi dapat diibaratkan seperti dua sisi dari sekeping mata uang yang sama dalam mekanisme alokasi sistem ekonomi kerakyatan.
    4) Pemerataan penguasaan faktor produksi. Dalam rangka itu, sejalan dengan amanat penjelasan pasal 33 UUD 1945, penyelenggaraan pasar dan koperasi dalam sistem ekonomi kerakyatan harus dilakukan dengan terus menerus melakukan penataan kelembagaan, yaitu dengan cara memeratakan penguasaan modal atau faktor-faktor produksi kepada segenap lapisan anggota masyarakat. Proses sistematis untuk mendemokratisasikan penguasaan faktor-faktor produksi atau peningkatan kedaulatan ekonomi rakyat inilah yang menjadi substansi sistem ekonomi kerakyatan.
    5) Koperasi sebagai sokoguru perekonomian. Dilihat dari sudut Pasal 33 UUD 1945, keikutsertaan anggota masyarakat dalam memiliki faktor-faktor produksi itulah antara lain yang menyebabkan dinyatakannya koperasi sebagai bangun perusahaan yang sesuai dengan sistem ekonomi kerakyatan. Sebagaimana diketahui, perbedaan koperasi dari perusahaan perseroan terletak pada diterapkannya prinsip keterbukaan bagi semua pihak yang mempunyai kepentingan dalam lapangan usaha yang dijalankan oleh koperasi untuk turut menjadi anggota koperasi (Hatta, 1954, hal. 218)
    6) Pola hubungan produksi kemitraan, bukan buruh-majikan. Pada koperasi memang terdapat perbedaan mendasar yang membedakannya secara diametral dari bentuk-bentuk perusahaan yang lain. Di antaranya adalah pada dihilangkannya pemilahan buruh-majikan, yaitu diikutsertakannya buruh sebagai pemilik perusahaan atau anggota koperasi. Sebagaimana ditegaskan oleh Bung Hatta, "Pada koperasi tak ada majikan dan tak ada buruh, semuanya pekerja yang bekerjasama untuk menyelenggarakan keperluan bersama" (Ibid., hal. 203). Karakter utama ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi pada dasarnya terletak pada dihilangkannya watak individualistis dan kapitalistis dari wajah perekonomian Indonesia. Secara mikro hal itu antara lain berarti diikutsertakannya pelanggan dan buruh sebagai anggota koperasi atau pemilik perusahaan. Sedangkan secara makro hal itu berarti ditegakkannya kedaulatan ekonomi rakyat dan diletakkannya kemakmuran masyarakat di atas kemakmuran orang seorang.
    7) Kepemilikan saham oleh pekerja. Dengan diangkatnya kerakyatan atau demokrasi sebagai prinsip dasar sistem perekonomian Indonesia, prinsip itu dengan sendirinya tidak hanya memiliki kedudukan penting dalam menentukan corak perekonomian yang harus diselenggarakan oleh negara pada tingkat makro. Ia juga memiliki kedudukan yang sangat penting dalam menentukan corak perusahaan yang harus dikembangkan pada tingkat mikro. Perusahaan hendaknya dikembangkan sebagai bangun usaha yang dimiliki dan dikelola secara kolektif (kooperatif) melalui penerapan pola-pola Kepemilikan Saham oleh Pekerja. Penegakan kedaulatan ekonomi rakyat dan pengutamaan kemakmuran masyarakat di atas kemakmuran orang seorang hanya dapat dilakukan dengan menerapkan prinsip tersebut

    1.5. Tujuan dan Sasaran Sistem Ekonomi Kerakyatan
    Bertolak dari uraian tersebut, dapat ditegaskan bahwa tujuan utama penyelenggaraan sistem ekonomi kerakyatan pada dasarnya adalah untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia melalui peningkatan kemampuan masyarakat dalam mengendalikan jalannya roda perekonomian. Bila tujuan utama ekonomi kerakyatan itu dijabarkan lebih lanjut, maka sasaran pokok ekonomi kerakyatan dalam garis besarnya meliputi lima hal berikut:
    1. Tersedianya peluang kerja dan penghidupan yang layak bagi seluruh anggota masyarakat.
    2. Terselenggaranya sistem jaminan sosial bagi anggota masyarakat yang membutuhkan, terutama fakir miskin dan anak-anak terlantar.
    3. Terdistribusikannya kepemilikan modal material secara relatif merata di antara anggota masyarakat.
    4. Terselenggaranya pendidikan nasional secara cuma-cuma bagi setiap anggota masyarakat.
    5. Terjaminnya kemerdekaan setiap anggota masyarakat untuk mendirikan dan menjadi anggota serikat-serikat ekonomi.

    1.6. Operasionalisasi Sistem Ekonomi Kerakyatan
    Dalam rangka itu, agar reformasi sosial melalui penyelenggaraan ekonomi kerakyatan tidak hanya berhenti pada tingkat konsep, sejumlah agenda kongkret ekonomi kerakyatan harus segera diangkat kepermukaan. Dalam garis besarnya terdapat beberapa agenda pokok operasionalisasi sistem ekonomi kerakyatan yang perlu mendapat perhatian. Agenda-agenda tersebut adalah inti dari politik ekonomi kerakyatan dan merupakan titik masuk untuk menyelenggarakan sistem ekonomi kerakyatan dalam jangka panjang.
    1. Penghapusan sebagian utang luar negeri lama yang tergolong sebagai utang najis atau utang kriminal, dan penghentian pembuatan utang luar negeri baru untuk mengurangi tekanan terhadap neraca pembayaran dan untuk menggerakkan roda perekonomian nasional. Sebagian utang luar negeri lama perlu dihapus sebab pemberiannya tidak hanya ditengarai sarat dengan unsur manipulasi yang dilakukan oleh para kreditur, tetapi pemanfaatannya juga ditengarai cenderung diselewengkan oleh para pejabat yang berkuasa untuk memperkaya diri dan kelompok mereka sendiri. Sedangkan pembuatan utang luar negeri baru perlu dihentikan, sebab pembuatannya yang lebih banyak ditujukan untuk menjaga keseimbangan neraca pembayaran dan membangun berbagai proyek yang bersifat memfasilitasi penanaman modal asing di sini. Selain tidak bermanfaat bagi peningkatan kemakmuran rakyat, pembuatan utang luar negeri baru hanya akan menyebabkan semakin terpuruknya perekonomian Indonesia ke dalam perangkap utang.
    2. Peningkatan disiplin pengelolaan keuangan negara dengan tujuan untuk memerangi KKN dalam segala dimensi dan bentuknya. Salah satu tindakan yang perlu diprioritaskan dalam hal ini adalah penghapusan dana-dana non-bujeter yang tersebar secara merata pada hampir semua instansi pemerintah. Melalui peningkatan disiplin pengelolaan keuangan negara ini, diharapkan tidak hanya dapat diketahui volume pendapatan dan belanja negara yang sesungguhnya, tetapi pada saat yang sama, nilai tambah dari berbagai komponen keuangan negara itu terhadap peningkatan kualitas pelayanan publik dapat ditingkatkan pula.
    3. Penciptaan lingkungan berusaha yang kondusif terutama untuk menjamin terselenggaranya mekanisme alokasi secara berkepastian dan berkeadilan. Mekanisme alokasi yang berkepastian dan berkeadilan merupakan satu-satunya tata kelembagaan yang dapat diandalkan untuk menghindari terjadinya konsentrasi dan kesewenang-wenangan ekonomi oleh segelintir pengusaha besar. Dalam rangka itu, peranan negara dalam penyelenggaraan perekonomian nasional sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 UUD 1945, wajib dipertahankkan. Peranan ekonomi negara tidak hanya terbatas sebagai pembuat dan pelaksana peraturan. Melalui pengelolaan keuangan negara yang disiplin dan penyelenggaraan BUMN yang sehat, negara memiliki kewajiban dalam memenuhi hak-hak dasar ekonomi setiap warga negara.
    4. Peningkatan alokasi sumber-sumber penerimaan negara dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Hal ini terutama harus diselenggarakan dengan melakukan pembagian pendapatan (revenue and tax sharring), dan dengan melakukan demokratisasi BUMN melalui pengikutsertaan pemerintah daerah, karyawan BUMN, customer BUMN, koperasi, dan BUMD sebagai pemilik saham BUMN yang menggali sumberdaya alam yang terdapat di daerah. Dengan kepemilikan tersebut, secara otomatis warga masyarakat yang diwakili oleh pemerintah daerah yang bersangkutan akan turut menikmati bagian keuntungan dengan proporsi yang sama. Selain itu, melalui peran pengawasan DPRD, masyarakat akan memiliki peluang untuk secara langsung mengawasi sepak terjang BUMN yang bersangkutan. Pada level daerah perlu diupayakan demokratisasi BUMD melalui perluasan kepemilikan saham (share) BUMD oleh pekerja, pelanggan, koperasi, dan masyarakat luas lainnya.
    5. Pemenuhan dan perlindungan hak-hak dasar para pekerja serta peningkatan partisipasi para pekerja dalam penyelenggaraan perusahaan. Sesuai dengan amanat Pasal 27 ayat 2 UUD 1945, setiap warga negara Indonesia tidak hanya berhak mendapatkan pekerjaaan, tetapi juga berhak mendapatkan penghidupan yang layak berdasarkan kemanusiaan. Dalam rangka itu, peningkatan partisipasi pekerja dalam penyelenggaraan perusahaan (demokrasi di tempat kerja), adalah bagian integral dari proses pemenuhan dan perlindungan hak-hak dasar para pekerja tersebut. Hal ini setidak-tidak dapat dimulai dengan meningkatkan partisipasi para pekerja dalam penyelenggaraan perusahaan, dengan menyelenggarakan program kepemilikan saham oleh pekerja (employee stock option program).
    6. Pembatasan penguasaan lahan dan redistribusi pemilikan lahan pertanian kepada para petani penggarap. Penguasaan lahan pertanian secara berlebihan yang dilakukan oleh segelintir pejabat, konglomerat, dan petani berdasi sebagaimana berlangsung saat ini harus segera diakhiri. Sesuai dengan amanat Pasal 33 UUD 1945 dan Pasal 2 UUPA 1960, negara berhak mengatur peruntukan, penggunaan, persediaaan, dan pemeliharaan lahan pertanian bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hasil pengambilalihan lahan pertanian ini, ditambah dengan ribuan hektar lahan pertanian di bawah penguasaan negara lainnya, harus diredistribusikan kembali kepada para petani penggarap yang memang menggantungkan kelangsungan hidup segenap anggota keluarganya dari mengolah lahan pertanian.
    7. Pembaharuan UU koperasi dan pembentukan koperasi-koperasi sejati dalam berbagai bidang usaha dan kegiatan. Koperasi sejati tidak sama dengan koperasi 'persekutuan majikan' ala Orde Baru yang keanggotaannya bersifat tertutup dan dibatasi pada segelintir pemilik modal sebagaimana saat ini banyak terdapat di Indonesia. Koperasi sejati adalah koperasi yang modalnya dimiliki secara bersama-sama oleh seluruh konsumen dan karyawan koperasi itu. Dengan kata lain, koperasi sejati adalah koperasi yang tidak mengenal diskriminasi sosial, agama, ras, dan antar golongan dalam menentukan kriteria keanggotaannya. Dengan berdirinya koperasi-koperasi sejati, pemilikan dan pemanfaatan modal dengan sendirinya akan langsung berada di bawah kendali anggota masyarakat.
    8. Rekonstruksi (re-set up) kerangka makro dan indikator-indikator kemajuan riil rakyat Indonesia yang sesuai dengan kerangka Sistem Ekonomi Kerakyatan. Secara umum kerangka makro dan indikator penyelenggaraan ekonomi kerakyatan yang dapat dirumuskan meliputi:
    1). Indikator tujuan (kesejahteraan umum dan keadilan sosial): tingkat kemiskinan (konsumsi per kapita), tingkat pengangguran, tingkat ketimpangan pendapatan (indek gini), Indek Pembangunan Manusia, Genuine Progress Indicator (GPI), Nilai tukar petani, dan upah riil buruh.
    2). Indikator proses (demokratisasi ekonomi): proporsi kepemilikan faktor-faktor produksi (tanah, lahan, dan modal), Sumbangan ekonomi rakyat dan koperasi terhadap lapangan kerja dan PDB, sumbangan negara terhadap PDB, perusahaan yang menerapkan pola profit sharing dan kepemilikan saham oleh pekerja, net transfer keluar melalui repatriasi modal asing dan pembayaran cicilan pokok dan bunga utang luar negeri, proporsi APBN untuk kesejahteraan umum (pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial).
    3). Indikator pendukung (moneter dan fiskal): PDB, inflasi, nilai tukar, suku bunga, neraca pembayaran, cadangan devisa, suku bunga, pertumbuhan ekonomi, APBN, dan sebagainya.


    Sebagai penutup perlu dikemukakan bahwa peningkatan kesejahteraan rakyat dalam rangka sistem ekonomi kerakyatan tidak didasarkan pada paradigma lokomotif, melainkan pada paradigma fondasi. Artinya, peningkatan kesejahteraan rakyat dalam rangka sistem ekonomi kerakyatan tidak lagi bertumpu pada dominasi pemerintah pusat, pasar ekspor, modal asing, dan perusahaan konglomerasi, melainkan pada kekuatan pemerintah daerah, sumberdaya domestik, partisipasi para pekerja, usaha pertanian rakyat, serta pada pengembangan koperasi sejati, yaitu yang berfungsi sebagai fondasi penguatan ekonomi rakyat.
    Di tengah-tengah situasi perekonomian dunia yang dikuasai oleh kekuatan kapitalisme kasino seperti saat ini, kekuatan pemerintah daerah, sumberdaya dan pasar domestik, partisipasi para pekerja, usaha-usaha pertanian rakyat, serta jaringan koperasi sejati, sangat diperlukan sebagai fondasi tahan gempa keberlanjutan perekonomian Indonesia. Di atas fondasi ekonomi tahan gempa itulah selanjutnya sistem ekonomi kerakyatan yang berkeadilan, partisipatif, dan berkelanjutan akan diselenggarakan. Dengan melaksanakan ketujuh agenda ekonomi kerakyatan tersebut, mudah-mudahan bangsa Indonesia tidak hanya mampu keluar dari krisis, tetapi sekaligus mampu mewujudkan masyarakat yang adil-makmur sebagaimana pernah dicita-citakan oleh para Bapak Pendiri Bangsa.
    Yogyakarta, 30 Maret 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar