Rabu, 01 Juni 2011

KETERJAJAHAN EKONOMI INDONESIA


Penjahahan baru (neokolonialisme) terhadap ekonomi Indonesia, yang sudah disinyalir Bung Karno pada pidatonya di Konperensi Asia Afrika (KAA) tahun 1955, merupakan proses yang masih (terus) berlangsung hingga hari ini. Fakta-fakta dan analisis pendukung tesis ini dapat kita temukan dengan melacak perjalanan historis perekonomian Indonesia pasca naiknya rezim Orde Baru pada tahun 1966. Pelacakan ini akan berguna untuk menjelaskan hakekat (latar belakang) berbagai fenomena ekonomi aktual, termasuk kaitannya dengan tumbuh-suburnya mal di kota-kota besar di Indonesia.

Penetrasi modal internasional, yang menandai fase baru penjajahan ekonomi Indonesia dimulai sejak liberalisasi ekonomi tahun 1967. Kita dapat merujuk tulisan John Pilger, jurnalis Australia yang tinggal di Inggris, yang dalam bukunya The New Rulers of The World (Verso, 2002) mengulas fakta dibalik peristiwa ekonomi-politik tersebut. Pilger yang merujuk analisis dokumen historis Jeffrey Winters dan Brad Sampson mengungkap latar belakang diadakannya Konperensi Jenewa (Swiss) pada tahun 1967 yang disponsori oleh Time-Life Corporation.

Konperensi yang disebutnya sebagai "pertemuan merancang pengambilalihan Indonesia" itu diikuti oleh korporat raksasa Barat dan ekonom-ekonom top Indonesia yang dikenal sebagai "Berkeley Mafia". Konperensi 3 hari itu kemudian berbuah "kaplingisasi" kekayaan alam di Indonesia oleh jaringan modal internasional. Freeport mendapat bagian gunung tembaga di Papua Barat, Konsorsium Eropa menguasai nikel di Papua Barat, Alcoa menerima bagian terbesar bouksit di Indonesia, dan kelompok perusahaan Amerika, Jepang, dan Perancis mendapat hutan-hutan tropis di Sumatera, Papua Barat, dan Kalimantan.

Penetrasi melalui penguasaan faktor-faktor produksi strategis nasional itu, kemudian dikukuhkan melalui penetrasi finansial dalam bentuk utang luar negeri yang dimulai tahun 70-an. Dalam hal ini, kita perlu merujuk John Perkins yang dalam bukunya Confessions of an Economic Hit Man (Berret-Koehler, 2004), menulis "pengakuan dosa" sebagai mantan "agen" ekonomi Pemerintah (AS). Dalam kurun waktu 1971-1980, tim Perkins telah "menjerumuskan" beberapa negara Asia dan Amerika Selatan seperti Panama, Equador, Colombia, Iran, termasuk Indonesia (sebagai "korban pertamanya"), dalam kubangan (jebakan) utang luar negeri dan ketergantungan politik-ekonomi kepada korporat dan pemerintah AS.

Perkins yang berpredikat sebagai "perusak ekonomi" atau "Economic Hit Man" (EHM), mengemban dua misi, yaitu memastikan bahwa utang luar negeri yang diberi akan digunakan untuk membiayai proyek-proyek konstruksi raksasa milik perusahaan konsultan Perkins dan korporat-korporat AS, dan kemudian "membangkrutkan" ekonomi Indonesia agar selamanya tunduk pada kreditor. Proyek-proyek raksasa yang menjebak Indonesia dalam perangkap utang ini didisain untuk memenuhi kepentingan-kepentingan ekonomi-politik mereka, seperti tersedianya pangkalan militer, suara di PBB, akses atas minyak, dan akses terhadap sumber daya alam lainnya.

Penjajahan ekonomi bermode dominasi modal asing dan jeratan utang luar negeri telah menampakkan wajah penderitaan rakyat akibat ketidakadilan ekonomi dan eksploitasi yang luar biasa. Sritua Arief (2000) mengungkap bahwa pada setiap US $ 1 invstasi asing, net tranfer revenue yang disedot ke luar negeri adalah sepuluh kali lipatnya (US 10$). Mubyarto (2005) pun mensinyalir bahwa rasio konsumsi per kapita dengan PDRB per kapita menunjukkan fakta adanya "derajat penghisapan" ekonomi Indonesia sebesar 57%. Artinya, hanya 43% nilai PDRB yang dinikmati rakyat di daerah, selebihnya "dihisap" ke kota-kota besar termasuk dibawa ke luar negeri. Di saat yang sama, pembayaran utang luar negeri sebesar RP 140 trilyun per tahun telah menguras sepertiga anggaran belanja negara. Ekonomi Indonesia pun tetap menyisakan utang luar negeri sebesar US$ 80 milyar, yang juga harus dibayar dengan ketertundukan untuk melaksanakan agenda-agenda ekonomi-poltiitk negara-negara (lembaga) asing seperti CGI, IMF, dan Bank Dunia

Penetrasi dan kontrol oleh modal internasional mudah dilakukan melalui meluasnya penerapan liberalisasi ekonomi di berbagai bidang. Mengaca pada sejarah kepentingan modal internasional di atas, kiranya dapat dipahami bahwa liberalisasi ekonomi yang sudah, sedang atau akan terjadi (seperti dalam aspek nilai tukar, rezim devisa, perdagangan, pertanian, dan sebentar lagi pendidikan) adalah bagian dari strategi untuk mengokohkan hegemoni kekuasaaan (kepentingan) mereka. Dan menjadi jelas bahwa amandemen pasal 33 UUD'45, privatisasi BUMN (Indosat, Semen Gresik, dan Telkomsel), privatisasi pengelolaan sumber daya air, dan liberalisasi migas (kenaikan harga BBM dan beroperasinya korporat migas di sektor hilir) tidak lain adalah cerita lanjutan dari episode yang tema besarnya tetap sama, ialah : penjajahan ekonomi Indonesia.

Nah, kiranya jelas kemudian diskursus pro-kontra pendirian mal tidak dapat dilepaskan dari analisis relasi kuasa nasional-global tersebut. Negara yang secara struktural ekonominya terjajah tidak akan pernah optimal dalam berpihak untuk memberdayakan ekonomi rakyatnya. Tanpa mal sekalipun, keberadaan ekonomi rakyat termasuk pedagang kecil yang beroperasi di pasar tradisional (pasar tradisional), akan makin terpinggirkan oleh sistem dan struktur ekonomi yang timpang dan bias pemodal besar. Menjamurnya mal hanyalah cerita lanjutan dari terjadinya proses penguasaan (pembentukan) mode ekonomi nasional yang pro-modal internasional. Pertanyaannya adalah, apa kepentingan ekonomi-politik modal internasional (kapitalisme global) dibalik tumbuh-suburnya mal di Indonesia?.

Mal dan Ekspansi Kapitalisme Global
Samir Amin (2003) mengurai tiga karakteristik yang inheren dan eksis dalam diri kapitalisme, yaitu akumulasi kapital, eksploitasi, dan ekspansi pasar. Naluri intrinsik kapitalisme global adalah menguasai faktor-faktor produksi (aset-aset strategis) dan memupuk rente ekonomi, yang dilakukan melalui ekploitasi faktor-faktor produksi (SDA dan tenaga kerja). Setelah itu, ia pun harus mampu menguasai pasar yang terkait dengan sistem alokasi dan permintaan barang dan jasa yang diproduksi. Hanya dengan itu maka mereka bisa survive dan bereproduksi. Dengan demikian, agenda utama kapitalisme global adalah memastikan mode produksi (mode of production), mode alokasi (mode of allocation), dan mode konsumsi (mode of consumption) di setiap negara di dunia tercipta untuk melayani kepentingan dan melanggengkan kekuasaan mereka.

Proses (gejala) itulah yang terjadi dalam perekonomian Indonesia pasca kolonialisme. Setelah berhasil menguasai dan mengeksploitasi tambang, hutan, perkebunan, dan faktor-faktor produksi strategis nasional lainnya untuk memenuhi kebutuhan pasar internasional (negara asal), maka kini mereka makin agresif untuk menguasai pasar barang dan jasa domestik melalui disain kebijakan ekonomi global yang memudahkan ekspansi pasar mereka.2 Dalam kontek inilah maka mereka memerlukan "outlet pemasaran" yang berfungsi sebagai media penetrasi pasar dan mesin pencipta (budaya) konsumsi yang mewujud dalam bentuk-bentuk mal atau hypermarket. Untuk memuluskan langkah mereka, kolaborasi dengan modal domestik dan penguasa lokal pun dilakukan.

Manipulasi kesadaran (hegemoni) dilakukan dengan menyebarluaskan impian indah untuk terus mempertinggi pertumbuhan ekonomi daerah. Masyarakat diyakinkan hanya dengan cara inilah penduduk dapat bekerja, peluang bisnis (pemasaran produk) makin terbuka, dan kebutuhan mereka dapat terpenuhi. Dan teori usang trickle down-effect-pun dibangkitkan kembali. Dengan mode-mode seperti ini rakyat dianggap hanya berhak sekedar untuk menikmati efek rembesan ke bawah pembangunan (aktivitas bisnis besar), itupun kalau ada. Cita-cita demokrasi ekonomi pun makin menjauh dari kenyataan.

Lapangan kerja yang tercipta melalui investasi skala besar (asing) tidaklah sebanding dengan return (net transfer) yang mereka dapatkan dan ekses dektruktif yang ditimbulkan. BKPM melaporkan dari 70% modal asing/lokal hanya mampu menyerap 10-16% angkatan kerja yang ada (Ningsih, 2005). ILO pun memaparkan bahwa 65% penduduk Indonesia bergiat di sektor informal, sedangkan 35% saja yang bekerja di sektor formal. Hal ini diperkuat temuan Sri-Edi Swasono yang menyebutkan kontribusi (share) kegiatan ekonomi rakyat terhadap penciptaan lapangan kerja adalah sebesar 99,4%. Demikian, tepat kiranya pembangunan mal-mal akan meningkatkan pengangguran karena matinya pasar tradisional (Baswir, 2005). Alih-alih menciptakan kesempatan kerja secara signifikan, mal-mal ini justru makin memarginalisasi peranan rakyat sekedar sebagai "kelas pekerja " alias melakukan "neokulinasi".

Demikian, logika utama (main-idea) yang mendasari pembangunan mal adalah perlunya ekspansi pasar untuk mendukung ekspansi kapital yang telah dilakukan melalui instrumen pasar modal dan pasar uang (valas). Kekuasaan modal internasional (plus domestik) akan langgeng manakala mereka berhasil menguasai (mengontrol) setiap sendi-sendi perekonomian nasional. Mulai dari sektor hulu hingga sektor hilit, dari faktor-faktor produksi, distribusi, hingga konsumsi masyarakat, dan akhirnya mereka mampu menciptakan mode of production dan mode of consumption dalam kerangka sistem ekonomi kapitalis-liberal. Dalam kerangka inilah pemberdayaan ekonomi rakyat (pasar tradisional) makin kehilangan urgensi dan relevansinya.

Pelibatan pelaku ekonomi rakyat (produsen dan pedagang kecil) dalam aktivitas bisnis mal diperlukan sekedar untuk melegitimasi (mengukuhkan) mode ekonomi yang ada dan mengeliminasi resistensi mereka. Ekonomi rakyat tetap hanya ditempatkan sebagai sub-sistem dari sistem besar kapitalisme-global dengan daya tawar dan term of trade yang makin melemah. Pada titik inilah maka demokrasi ekonomi telah berubah menjadi korporatokrasi. Tampuk produksi beralih kontrolnya dari negara ke korporat, sama sekali bukan ke rakyat banyak (masyarakat), yang mengakibatkan pola produksi dan konsumsi nasional makin dibentuk oleh kekuatan modal internasional, sehingga tidak lagi menerima prioritas (pengutamaan) kepentingan nasional. Mal lebih melayani kelompot bermodal (orang kaya), sehingga makin memupus terbangunnya sociocoherence dan sociosolidarity.

Tumbuhnya mal di bawah hegemoni kapitalisme global inilah yang menggiring bangsa kita untuk sekedar menjadi bangsa konsumen (menikmati produk murah-sesaat) atau paling banter menjadi "bangsa makelar" (menjual produk asing-impor). Kita pun alpa untuk membangun industri nasional dan kewirausahaan berbasis ekonomi rakyat dan sumber daya lokal. Bangsa ini hanya diposisikan sebagai faktor produksi (buruh) dan pasar bagi produk mereka. Makin menyedihkan ketika ungkapan Dr Helfferich bahwa bangsa Indonesia hanya akan menjadi bangsa kuli dan kulinya bangsa-bangsa lain kembali terbukti. Dalam perspektif inilah maka hegemoni kapitalisme-global, di mana ekspansi mal merupakan unsur intrinsiknya, melakukan penjajahan ekonomi, yang di berwujud neokulinisasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar