Dalam hal ini patut diketengahkan peran dari IMF. IMF kiranya dapat digambarkan sebagai Kopasus-nya globalisasi. IMF disebut juga sebagai `Advance-Guard' (pasukan garis depan) WTO. Mengapa? Karena WTO dan IMF mempunyai tujuan yang sama, yaitu perdagangan bebas. Untuk itu IMF akan selalu bergerak cepat mendahului perjanjian-perjanji an yang diatur WTO. Ini nampak dalam isi Letter of Intent yang memintakan diadakannya liberalisasi perdagangan lebih cepat dan penurunan tarif drastis ketimbang yang dituntut di WTO. Seluruh liberalisasi yang tercakup di dalam LoI, mendahului komitmen di dalam WTO.
Paket kebijakan yang disodorkan IMF kepada Indonesia adalah paket standard yang diberlakukan di berbagai negara lainnya yang mendapatkan SAP. Paket tersebut terdiri dari komponen-komponen berikut ini:
1. Mengembalikan mekanisme pasar bebas sebagai penentu pembentukan harga barang dan jasa dan sebagai proses pengalokasian sumber-sumber ekonomi ke tingkat yang optimal, atau disebut allocative efficiency.
2. Swastanisasi seluas-luasnya dalam ekonomi. Ini berarti penguasaan pemerintah dalam aset ekonomi dan keterlibatan pemerintah dalam kegiatan ekonomi, termasuk pembangunan prasarana publik, akan diminimumkan.
3. Pelaksanaan kebijakan moneter dan fiskal yang kontraktif dengan tujuan mencegah meningkatnya inflasi. Kebijakan moneter yang kontraktif berbentuk pengetatan kredit dan pengenaan tingkat bunga yang relatif tinggi sebagai akibat liberalisasi keuangan. Kebijakan fiskal yang kontraktif mengambil bentuk pengurangan atau penghapusan subsidi.
4. Segala bentuk proteksi dihapuskan dan liberalisasi impor dilaksanakan demi menimbulkan daya saing dan efisiensi unit-unit ekonomi domestik. Liberalisasi impor dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan Putaran Uruguay.
5. Memperbesar dan memperlancar arus masuk investasi asing dengan fasilitas yang lebih luas dan liberal ke seluruh sektor ekonomi dalam berbagai skala investasi (kecil, menengah dan besar). Ketentuan-ketentuan yang membatasi pemilikan asing dihapuskan sehingga dominasi pihak asing dalam pemilikan sosial unit-unit ekonomi, baik di sektor swasta maupun di sektor publik harus dibenarkan atas dasar landasan ideologi globalisasi modal, pertukaran dan produksi (internationalizati on of capital, exchange and production).
6. Butir-butir lain-lain, yang sudah lama direkomendasikan oleh orang Indonesia sendiri, seperti pembubaran BPPC, penghapusan larangan membeli dan menyewa kapal-kapal bekas (terutama untuk pencarian ikan), penghapusan monopoli BULOG dalam komoditi-komoditi tertentu, penghapusan paksaan kepada petani untuk menanam tebu, pencabutan fasilitas pajak maupun jaminan kredit untuk proyek Mobnas, dan penghapusan dukungan pemerintah untuk proyek IPTN. Sritua Arief menyatakan bahwa ini adalah standar neo-liberal yang berlawanan dengan kepentingan rakyat Indonesia.
Pertama, Allocative efficiency, di tengah kepincangan yang menyolok dalam distribusi pendapatan dan kekayaan, maka mekanisme pasar akan mengakomodasikan preferensi orang-orang kaya. Ini artinya sumber-sumber ekonomi akan dialokasikan untuk memproduksi barang-barang mewah atas korban produksi barang-barang kebutuhan pokok.
Kedua, apa yang disebut privatisasi, menurut Sritua, mengandung unsur ideologis yang sangat berbahaya, karena dimaksudkan terjadi perubahan distribusi kekayaan dan kekuasaan politik untuk memperkuat posisi kelompok kaya, kalangan bisnis besar dan para penghisap dan pemupuk rente ekonomi atas korban masyarakat bawah. Terjadi situasi self-reinforcing antara jaringan kekuasaan ekonomi dengan jaringan kekuasaan politik. Masuknya unsur-unsur asing berkolaborasi dengan para kompradornya di Indonesia akan menjerumuskan Indonesia kembali menjadi negeri koloni asing.
Ketiga, kebijakan moneter yang bertujuan untuk mencegah peningkatan inflasi seolah terdapat "excess demand" dalam ekonomi Indonesia menjadi paradoksal dengan kebijakan fiskal yang justru mendorong inflasi melalui kenaikan biaya.
Keempat, dalam hal liberalisasi impor, IMF pura-pura tidak tahu bahwa negara-negara di dunia ini ada yang kuat dan yang lemah. Yang kuat menjadi price maker, dan yang lemah menjadi price taker.
Contohnya, produk-produk pertanian asing yang masuk ke negara-negara berkembang diproduksi dalam skala besar sehingga menimbulkan manfaat skala ekonomi yang tinggi, sementara produk pertanian di negara-negara berkembang masih diproduksi secara kecil-kecilan sehingga belum meraih manfaat skala ekonomi. Tentu saja dalam situasi ini, produk-produk pertanian domestik akan kalah bersaing dengan produk-produk dari negara maju. Apalagi di negara maju mereka masih terus memperoleh subsidi secara terselubung. Kelima, dalam hal arus masuk investasi asing, maka Indonesia tidak bisa melarang jika orang asing memperkuli pengukir-pengukir perabot Jepara, memperkuli penenun-penenun tenunan Bali, dan memperbudak pembuat-pembuat keramik gabah di Kasongan.
Permintaan IMF untuk menghapus larangan investor asing memasarkan sendiri produk-produknya, akan berarti mempersempit kesempatan kalangan domestik dalam kegiatan jasa distribusi. Sritua juga melihat ada butir-butir IMF yang mengenai program-program pemerataan dan pengentasan kemiskinan. Akan tetapi pengalaman pelaksanaan paket IMF di seluruh Negara berkembang menunjukkan bahwa pelaksanaan program-program ini sangat tidak efektif, karena tetap berdasar pada strategi redistribution from growth. Hal ini tidak untuk memecah tembok-tembok struktur monopoli dan oligopoli, melainkan malahan akan memperkokoh dan memperluas struktur tersebut selama unsur-unsur asing diikutsertakan secara substansial. Demikianlah kritik tajam dari Sritua. Di lain pihak, dana pinjaman yang diorganisir IMF sebesar US$ 43 milyar, disebutkan sebagian besar akan digunakan untuk membiayai defisit perkiraan berjalan dalam neraca pembayaran. Ini artinya, menurut Sritua, sebagian besar akan digunakan untuk membiayai kepentingan asing dalam impor, repatriasi keuntungan investasi asing, bunga hutang luar negeri, dan jasa-jasa asing lainnya. Jadi hutang ini kembali dinikmati oleh pihak asing dan beban nya ditanggung rakyat Indonesia. Ini sama dengan penggunaan pinjaman dari ADB untuk Indonesia sebesar US$ 1,5 milyar, di mana sebesar US$ 1,4 milyar harus digunakan untuk impor. Kata Sritua, "Sungguh ketololan luar biasa jikalau pemerintah Indonesia mengucapkan `matur nuwun' atau `hatur nuhun' kepada IMF". Demikian pula keadaan yang sama berlaku untuk pinjaman CGI. Adalah naif pernyataan yang menyatakan bahwa seluruh pinjaman akan masuk menjadi penerimaan dalam APBN dan akan dikonversikan ke Rupiah sehingga Rupiah membanjir. Sebagaimana diketahui ada tiga komponen pokok dalam pinjaman CGI, yaitu pinjaman program, technical assistance dan pinjaman untuk memperkuat cadangan devisa. Pinjaman program terdiri dari nilai barang-barang keperluan proyek yang diimpor dari Negara kreditor, di mana nilai sebenarnya kita tidak tahu. Technical assistance adalah nilai jasa-jasa asing, yaitu para konsultan asing yang bergentayangan di Indonesia dan pembayaran atas jasa-jasa para birokrat asing yang mengelola pinjaman. Sedangkan pinjaman untuk memperkuat cadangan devisa masuk menjadi cadangan pinjaman (borrowed reserve) di Bank Indonesia dan terbenam di sana. Arti ini semua, katanya, adalah Indonesia kembali di bawah kekuasaan asing! Dengan memahami kritik Sritua atas IMF, makin jelas bahwa IMF mempunyai kepentingannya sendiri atas Indonesia, dengan justifikasi SAP-LoI yang seolah-olah mau menyelamatkan Indonesia dari krisis, nyatanya mau melakukan rekolonialisasi. Dalam kenyataannya reputasi dan legitimasi IMF sebenarnya sudah turun rendah sekali. IMF sudah lama dikritik, sejak developmentalisme, dan kini dengan neo-liberalismenya. Kritik tersebut disampaikan bukan saja dari kalangan negara berkembang, akan tetapi bahkan dari kalangan masyarakat di negara maju sendiri. Menurut catatan Development GAP pada tahun 1998, sebuah Ornop yang berbasis di Washington, sejak 20 tahun terakhir IMF telah merawat pasien-pasiennya sebanyak 83 negara dengan program SAP. Hasilnya malah menimbulkan banyak masalah. Pengangguran meningkat, ekonomi semakin tidak merata, kemiskinan meningkat, harga-harga naik, produksi pangan per-kapita turun, hutang meningkat, pajak mencekik, subsidi untuk orang miskin dihapuskan, dan negara tidak lagi melayani rakyatnya, karena BUMN-BUMN strategis diswastanisasi. Jadi Indonesia adalah pasiennya yang terakhir yang kini sedang sekarat, justru karena mendapat perawatan. Indonesia adalah negara terbesar kedua yang mendapat paket penyelamatan ekonomi IMF setelah Rusia. Dan kedua negara ini sekarang menjadi contoh jelas dari kegagalan operasi penyelamatan IMF yang tidak berkesudahan hingga kini.
Contoh paling jelas dari tidak becusnya IMF sebenarnya datang langsung dari kritik Kongres Amerika sendiri, yaitu lewat Komisi Meltzer (dipimpin oleh ekonom Alan Meltzer) yang di tahun 1998 telah mengkritik kecerobohan IMF dalam menjalankan peran penyelamatnya di dalam krisis Asia. Kongres Amerika telah mengkritik adanya peran IMF yang mengakibatkan terjadinya krisis utang tersebut. Malahan beberapa anggota Kongres mempertanyakan kembali perlu tidaknya keberadaan IMF. Bahkan studi internal di dalam tubuh IMF sendiri telah mengkritik keras kebijakan IMF karena penanganannya yang salah atas krisis di Meksiko dan Indonesia. Studi ini tidak pernah dikeluarkan kepada publik oleh IMF, bahkan juga tidak kepada Kongres Amerika. Kritik pedas bahkan datang dari seorang kepala ekonomi Bank Dunia yang sekaligus juga pernah sebagai kepala penasehat ekonomi presiden Clinton, yaitu Joseph Stiglitz. Secara terbuka Stiglitz dalam sebuah majalah konservatif The New Republic menyerang kebijakan IMF dalam menangani krisis, yang dikatakannya hanya memakai resep yang itu-itu juga dalam menangani krisis Asia. Bahkan secara sinis, Stiglitz menyebut mereka memakai cara "copy" dan "paste" saja dalam membuat kebijakannya, yaitu mengambil saja mentah-mentah resep di negara lain untuk dipaksakan digunakan di negara lainnya lagi. Bahkan karena kesalnya ia pada orang-orang IMF yang keras kepala dan tidak mau dinasehati, ia menyebut mereka sebagai para ekonom kelas dua atau tiga yang lebih bodoh dari para ekonom pemerintahan yang ditanganinya. Pantas Stiglitz kini sangat tidak disukai oleh IMF dan kemudian dikeluarkan dari Bank Dunia karena menggoncang status-quo multilateralisme. Akan tetapi ternyata bukan hanya Stiglitz saja yang punya pandangan demikian. Kini bahkan ekonom terkemuka dari Universitas Columbia, Jagdish Bhagwati, seorang penyeru pasar bebas yang utama, bahkan ikut menyatakan keberatannya terhadap IMF. Kontrol modal yang selalu menjadi benteng kebijakan IMF kini dikritik oleh Bhagwati, yang menyatakan bahwa krisis Asia tidak bias lepas dari hilangnya kemampuan negara-negara tersebut dalam mengontrol pinjaman-pinjaman jangka pendek yang luar biasa besarnya. Krisis Asia terutama karena tiadanya kontrol modal, katanya. Kritik bertubi-tubi terhadap IMF, juga datang tidak lain dari sebuah universitas kondang di Amerika, Harvard Institute of International Development, yaitu lewat dedengkotnya, Jeffrey Sachs dan Steve Radelet. Mereka juga menyatakan kritik yang serupa. Bahkan Sahcs sangat tajam mengkritik IMF dengan kata-katanya, "penyakit typhus yang membawa resesi dari satu negara ke negara lain" Bahkan kini serangan paling tajam datang langsung dari ekonom pengemuka globalisasi itu sendiri, yaitu Paul Krugman, yang kemudian menulis di majalah Fortune tentang perlunya kembali ke restriksi (kekangan) atas nilai tukar, yang kemudian diadopsi oleh Malaysia.
Bukti apalagi yang dibutuhkan oleh IMF mengenai kegagalannya? Bukti yang paling nyata adalah apa yang kini terjadi antara IMF dengan Indonesia. Kasus Indonesia sebenarnya merupakan kasus kuat dari begitu serampangnya dan begitu tidak bertanggungjawabnya IMF terhadap sebuah negara. Theo Toemion dari Fraksi PDIP telah lama menyerang kegagalan IMF ini, yang sayangnya kurang didengar oleh para ekonom dan politisi kita. Khususnya geng mafia Berkeley dari Universitas Indonesia yang sangat pro-IMF lewat Sadli dan Emil Salim. Begitu pula kini dilanjutkan oleh generasi mudanya, ekonom-ekonom UI seperti Sri Mulyani yang adalah `darling'nya IMF (istilah dari Bung Hartojo Wignjowijoto) serta Faisal
Basri yang penganut neo-liberal. Merekalah penjaga-penjaga kepentingan IMF di Indonesia. Apalagi setelah pemerintahan Gus Dur tidak lagi memakai mereka karena perbedaan visi.
Kritik paling pedas buat IMF datang dari HMT Oppusunggu, lewat gugatannya kepada IMF di bukunya "Berhentilah Bicara, Seruan Bagi Ekonom Indonesia". Ia bahkan telah membawa IMF ke pengadilan internasional (International Court of Justice) di Den Hague, Belanda. Menurutnya IMF telah melakukan kejahatan moneter dan malpraktek moneter terhadap Indonesia. IMF ditudingnya telah menyetir berbagai tindakan Bank Indonesia yang justru memicu krisis yang tidak berkesudahan di Indonesia. IMF adalah aktor intelektual dari kejahatan moneter Bank Indonesia. Oppusunggu menduga, justru ada udang di balik batu dari semua tindakan IMF tersebut, yaitu menjalankan "beggar-thy- neighbour policy", yaitu kebijakan yang menjerat suatu negara kepada kemiskinan terus menerus sehingga tergantung kepadanya.
Hal ini sama dengan apa yang ditulis oleh Jeffrey Winters di Kompas (14 April 2001). Winters justru menduga ada sesuatu yang mencurigakan dari operasi IMF di Indonesia. Dia menyatakan adanya otokritik Dewan Eksekutif IMF bulan lalu terhadap pendekatan yang dilakukan IMF dalam menerapkan conditionalities (persyaratan- persyaratan) . Akan tetapi petunjuk tersebut tidak berlaku untuk Indonesia. Mengapa? Winters menjawab, karena IMF khawatir terbongkarnya segala kebobrokan yang terjadi di Bank Indonesia dapat berakibat negatif bagi kewibawaan IMF. Ini adalah jawaban yang jelas dari kekisruhan yang terus terjadi di BI. Oppusunggu dan Winters bisa mencium adanya skandal di BI yang dibekingi IMF, yang sebenarnya juga skandal politik Golkar. Karena itulah pemerintahan Gus Dur diserang lebih dulu, dan Sayhril Sabirin dijadikan seolah-olah sebagai pahlawan. Runyamnya IMF adalah juga karena runyamnya politik Indonesia.
Kemacetan Undang-Undang Bank Sentral tidak lain karena IMF tidak rela cengkeramannya terhadap BI dikurangi. Sebenarnya itulah pula sebabnya sejak September 2000 lalu IMF tidak juga mau mencairkan dananya yang 400 juta dollar, karena IMF terus menekankan kepentingannya atas Bank Indonesia, yang merupakan kunci juga bagi control modal. Tidak salah kalau pemerintah Indonesia masih terus berdebat agar pemerintah punya kuasa atas BI. Rizal Ramli juga menyatakan agar IMF tak lagi mengulangi kesalahan masa lalunya di tahun 1997, yaitu dengan terapi moneter yang salah (Kompas, 15 April 2001). Nampaknya pemerintah sedang mencoba bertahan dari berbagai manuver IMF yang terus mau menancapkan kukunya di Indonesia.
Kini saatnya orang-orang Indonesia menyadari bahwa IMF-lah yang sesungguhnya merupakan biang keladi krisis Indonesia. Sejak Oktober 1997 (terbitnya Letter of Intent) hingga April 2001 IMF tidak juga mendatangkan kesembuhan. Artinya IMF sebenarnya sudah gagal. Percuma menyandarkan pada IMF. Alih-alih menyembuhkan, nyatanya IMF telah memotong-motong badan pasiennya, hingga kita sekarat luar biasa. Utang yang bertambah US$ 43 milyar tidak jatuh ke rakyat Indonesia, tapi untuk membayar kreditor asing dan utang kroni-kroni Suharto untuk menjadi beban rakyat Indonesia. Sayangnya orang Indonesia selalu dikibuli oleh ekonom-ekonom kesayangan IMF yang terus menerus bilang supaya patuh pada IMF dan kehendak pasar; kalau tidak ada IMF, maka matilah ekonomi kita. Jadi seperti budak saja, sudah diinjak kepalanya masih merasa bersyukur. Nampaknya kita sebagai bangsa Melayu sudah kalah harga diri ketimbang Malaysia, yang dengan penuh martabat menolak bantuan IMF dan terbukti berhasil keluar dari krisis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar