Rabu, 01 Juni 2011

DAULAT RAKYAT, BUKAN DAULAT PASAR

Jaring-jaring yang ditebar sudah sedemikian memperdaya pemerintahan, konstitusi, dan pendidikan kita. Mampukah bangsa kita keluar dari jerat kulinisasi yang sepertinya tiada akhir ini? Tentu butuh kemauan keras dan keberanian untuk menegaskan kembali jati diri bangsa kita sebagai bangsa yang bermartabat, berdaulat, dan penuh percaya diri. Kita sudah berkomitmen bahwa rakyat-lah yang berdaulat, tidak saja di bidang politik, tetapi juga di bidang ekonomi. Oleh karena itu, kulinisasi harus diakhiri dengan memperjuangkan agenda-agenda demokrasi ekonomi dan menghidup-hidupkan (kembali) nasionalisme ekonomi setidaknya melalui empat ranah berikut :

Pertama, di ranah politik-ekonomi, kita seharusnya mewaspadai agenda globalisasi-pasar bebas yang terbukti bermuara pada pengalihan tampuk produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak ke tangan korporat (asing). Privatisasi BUMN strategis harus dihentikan, begitu juga dengan liberalisasi perdagangan (impor) yang merugikan pelaku ekonomi rakyat, khususnya petani dan industri kecil dalam negeri. Seharusnya kita belajar dari negara-negara maju seperti halnya AS, Inggris, dan Jepang yang begitu protektif terhadap petani mereka. Pasar bebas memang hanyalah non-sense belaka. Benar ungkapan Joan Robinson bahwa "the very nature of economics is rooted in nationalism". Dan jangan lupa, negosiasi utang LN tetap perlu dilakukan hingga ke arah pemotongan utang.

Kedua, di ranah konstitusi-regulasi, kita perlu meninjau kembali amandemen UUD '45, khususnya terhadap Pasal 33, yang telah membelokkan agenda demokratisasi ekonomi (melalui gerakan koperasi), ke arah korporatokrasi (neo-kulinisasi). Munculnya UU Air, Listrik, dan Migas tidak terlepas dari kontek ini. Mahkamah Konstitusi hendaknya menjadi "penjaga gawang" demokrasi ekonomi, sehingga tidak meloloskan setiap Undang-Undang yang beraroma privatisasi hajat hidup orang banyak dan bertendensi menggusur daulat rakyat menjadi daulat pasar. Pasal 33 pun harus dikembalikan sesuai aslinya.

Ketiga, di ranah paradigma ekonomi, perlu ada revolusi cara berpikir (mind-set) ekonomi kita yang sejauh ini terlalu silau (terhegemoni?) dan bias pada ideologi dan ajaran-ajaran ekonomi konvensional-Barat. Pembaruan ilmu ekonomi perlu dilakukan agar makin sesuai dengan ideologi, sistem nilai, dan sistem sosial-budaya bangsa. Ilmu ekonomi khas Indonesia pun perlu terus digali dan dikembangkan berdasar kenyataan ekonomi riil (real-life economy) yang dihadapi ekonomi rakyat Indonesia. Kita perlu alternatif dari paham ekonomi yang menjadi arus utama saat ini. Ekonomi Pancasila, yang digagas Prof. Mubyarto sebagai ideologi dan ilmu ekonomi alternatif berjati diri Indonesia patut dikaji lebih mendalam oleh pemikir ekonomi.

Keempat, di ranah pendidikan, kita perlu mereformasi pendidikan ekonomi dengan menempatkannya sebagai bagian integral proses ideologisasi untuk memberdayakan peserta didik secara ideologis, sosial-kultural dan politik-ekonomi. Untuk itu, pendekatan yang digunakan mestinya tidak lagi positivistik-monodisiplin, melainkan normatif-multidisiplin. Pendidikan ekonomi harus mampu menghidupkan kajian-kajian ekonomi-politik, ekonomi-sosiologi, ekonomi-sejarah, ataupun ekonomi-antropologi. Metode pengajaran yang digunakan hendaknya metode hadap masalah (problem-posing education), bukan lagi metode bank (banking-education). Pendidikan ekonomi diarahkan untuk berorientasi dan berpihak pada ekonomi rakyat Indonesia.

Nah, kinilah saatnya tak perlu ragu bersikap untuk menentukan nasib dan masa depan bangsa kita sendiri. Tidak ada bangsa manapun yang dapat maju, sejahtera dan demokratis dengan membiarkan rakyatnya diperkuli dalam tatanan ekonomi yang eksploitatif dan subordinatif. Marilah kita mulai bersama agenda-agenda di atas dengan berlandaskan tekad kuat untuk 'menolak menjadi kuli di negeri sendiri".


 

Pasar bebas makin merajai denyut malam di kota-kota besar, tak terkecuali di Jogja. Pasar bebas, yang dipuja kaum neoliberal, menjelma di tempat-tempat hiburan malam, dari kelas elit sampai kelas jelata. Pemodal yang selalu bergairah memburu rente bertemu manusia-manusia "lapar", yang setiap keinginannya mesti dipenuhi. Kebebasan menjadi dewa bagi perilaku ekonomi yang makin meminggirkan Tuhan. Tidak ada kamus etika, moral, dan norma dalam cara meraup uang dan media meneguk kepuasan bagi mereka.

Pasar bebas menumbuhkan klub malam yang menjadi ajang menghamburkan uang. Ia lah yang mampu mematok harga aqua Rp 7.500, air es Rp 9.000, bir Rp 25.000, di klub yang relatif "murahan". Ia juga lah yang memiliki keperkasaan mengobral sambil mengeksploitasi perempuan. Tubuh, suara, dan gerakan dinominalkan dalam geliat sexy dancer, kontes rok mini, dan semacamnya. Semua demi menuruti "kebutuhan manusia yang tak terbatas", sehingga terus dan terus mencari sarana pemuasan pribadi. Tak peduli makin menjadi Machiavelis.

Jogja masih kota budaya dan kota pendidikan, namun pasar bebas tidak peduli hal itu. Dia terus saja mengepakkan sayap hegemoninya. Bahkan makin ahli menyelinap di ruang-ruang kelas dan mengisi otak-otak penuntut ilmu dengan ajarannya. Ia selalu meyakinkan bahwa manusia adalah makhluk ekonomi (homo economicus) yang harus mengejar kepentingannya sendiri. Kita diajarkan untuk meraup laba sebanyak-banyaknya dengan terus bersaing sebebas-bebasnya.

Pasar bebas memojokkan Jogja yang makin mengalami hipokrisi alias berkepribadian ganda. Pendidikan dimajukan namun perilaku ekonomi dibebaskan. Pagi kuliah moral, yang dicampaknya di bak sampah ketika masuk klub malam. Begitu juga, budaya diagung-agungkan tapi hedonisme makin tumbuh subur. Etika dilestarikan namun ekonomisme dipeluk makin erat. Sampai kapan kita bertahan dengan kontradiksi-kontradiksi ini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar