Rabu, 01 Juni 2011

Keluar Dari Jerat Imperium Finansial

Demikian, kerusakan yang menimpa manusia seringkali bermula dari upaya subversi finansial. Ambisi bankir internasional untuk menguasai dan mengatur dunia mendorong mereka untuk mengambilalih kekuasaan negara –setelah kekuasaan Tuhan-, tidak peduli dengan "isme" apa negara tersebut kemudian dijalankan.
Tetapi bagaimanapun subversi harus dihentikan. Semua negara berdaulat harus bersatu padu keluar dari subversif imperium finansial. Salah satu caranya adalah dengan mengembangkan tatanan ekonomi yang bebas riba. Kegiatan spekulasi (judi) di pasar uang dan pasar modal harus dihentikan melalui regulasi negara yang tegas dan memuliakan Tuhan.
Dalam konteks Indonesia perlu dilakukan penghapusan utang haram (odious debt) dan penghentian utang-utang baru. Selanjutnya perlu penegakan kedaulatan pangan, energi, reforma agraria, serta nasionalisasi aset strategis bangsa yang hingga saat ini masih didominasi pemodal internasional. UU/UU ekonomi sepertihalnya UU Migas, UU SDA, UU BUMN, UU Pelayaran, dan UU PM, yang cenderung berwatak "subversif" pun mendesak untuk ditinjau ulang.
Pada saat bersamaan, pendidikan ekonomi perlu dibebaskan dari hegemoni pemikiran neoliberal yang menjadikan intelektualnya sebagai "agen" modal internasional. Pendidikan harus dikembalikan jatidiri Ketuhanan dan Ke-Indonesiannya. Pun, hal ini perlu dibarengi dengan penghapusan dominasi "Mafia Berkeley" dalam kabinet ekonomi Indonesia.
Begitulah, kapan tumbangnya imperium finansial akan bergantung juga dari kuatnya keyakinan, keberanian, kebersatuan, dan usaha keras kita semua untuk mengubah nasib dan keadaan. Tetapi tentu saja semakin cepat semakin baik. Wallahu'alam.


 

Pergantian rezim pasca Pemilu di Indonesia tidak pernah diikuti dengan perubahan Tim Ekonomi yang masih saja sekedar penerus Mafia Berkeley yang menganut jalan ekonomi neoliberal. Di awal jalan, kebijakan yang ditempuh setiap rezim pemerintahan selalu condong pada jalan Konsensus Washington, yaitu penerapan deregulasi, liberalisasi, privatisasi, dan penghapusan subsidi.
Pilihan jalan liberalisasi dilakukan pada hampir semua sektor vital ekonomi nasional. Setelah liberalisasi keuangan dan perdagangan, liberalisasi pertanian dilakukan dengan membuka kran impor beras seluas-luasnya. Akibatnya bukan saja petani lokal yang terpukul, tetapi ketergantungan pangan kepada pihak luar dan korporasi asing yang bergerak di sektor pertanian pun juga kian besar.
Tidak cukup hanya itu, liberalisasi migas pun dipaksakan melalui penyerahan harga BBM pada mekanisme pasar (pengurangan subsidi), keleluasaan ekspansi korporasi migas asing, dan kenaikan harga BBM sebagai klimaksnya. Tak pelak, sektor riil mengalami kemunduran dan terparah dialami industri dan pertanian rakyat.
Pesta jaringan modal internasional kiranya makin lengkap dengan dilanjutkannya skema penggadaian aset-aset strategis dan penjualan (privatisasi) perusahaan nasional (BUMN). Tak kurang dilepasnya ladang migas Cepu oleh pemerintah SBY-JK makin memerosotkan derajat kebangsaan ekonomi kita.
Proses ini terus berjalan, dan diharapkan akan terus berjalan di masa yang akan datang. Oleh karenanya, jalan deregulasi-lah yang juga dilanjutkan hingga rezim SBY-JK. Keleluasaan ekspansi modal internasional untuk menguasai kekayaan Indonesia tidak cukup dilegalisasi melalui UU Sumber Daya Air dan UU Migas, tetapi juga disempurnakan dengan UU Penanaman Modal yang disahkan Maret 2007 yang lalu.
Di arus jalan neoliberal ini pulalah bangsa kita tidak mampu berbuat banyak dalam membuat alternatif kebijakan utang luar negeri. SBY-JK membuat terobosan dengan membubarkan CGI, tetapi tidak cukup konsisten untuk menahan agar bangsa kita tidak lagi berutang ke luar negeri. Debt Outstanding pemerintah justru naik dari 74,66 milyar US Dollar (2002) menjadi 81,23 milyar US Dollar (triwulan III 2007). Belum lagi obligasi (SUN) yang rajin dijual setiap tahunnya ke pasar internasional. Alhasil pendarahan APBN terus berlangsung karena seperempatnya digunakan hanya untuk membayar cicilan bunga dan pokok utang luar negeri
Hal ini aneh mengingat tersedianya banyak modal domestik di Indonesia. Pada tahun 2006 total dana simpanan seluruh Bank Umum di Indonesia sebesar Rp. 1.199 trilyun. Sementara yang disalurkan sebagai kredit baru sebesar Rp. 723,72 trilyun (60,3%). Jumlah simpanan bentuk SBI bank umum. per Desember 2006 sebesar Rp 343,455 triliun, meningkat pada Februari 2007 menjadi Rp. 364,11 triliun (28,6% dari total simpanan). Jumlah simpanan BPD se-Indonesia pada tahun 2007 sebesar Rp. 129,63 trlyun, yang sebesar 34,52 trilyun disimpan dalam SBI Bank Indonesia (26,6%) (Koran Sindo, 2007). Dana murni Pemda di instrumen Bank Indonesia sendiri sekitar Rp. 43 trilyun (ibid).
Di tengah jalan, stabilitas ekonomi makro kiranya belum mewujud pada kemandirian dan kedaulatan ekonomi nasional. Alih-alih itu, jalan ekonomi neoliberal yang ditempuh melalui deregulasi, liberalisasi, dan privatisasi selama ini kian mengarahkan kondisi (struktur) perekonomian Indonesia ke dalam proses "asingisasi".
Demikian kegelisahan bersama kita. Jalan ekonomi neoliberal yang diterapkkan hingga rezim SBY-JK saat ini telah tidak dapat dibedakan secara jelas dengan jalan ekonomi kolonial (neokolonialisme). Jalan ekonomi neoliberal yang senantiasa ditempuh pemerintah telah mengembalikan hegemoni modal internasional yang telah coba dirubuhkan oleh Bapak Pendiri Bangsa.
Kuatnya arus de-nasionalisasi ekonomi selama ini telah membentuk kembali susunan ekonomi Indonesia di bawah dominasi korporasi asing (pemodal internasional) yang kini menguasai 85,4% konsesi pertambangan migas, 70% kepemilikan saham di Bursa Efek Jakarta, dan lebih dari separuh (50%) kepemilikan perbankan di Indonesia (Forum rektor Indonesia, 2007).
Menyedihkan memang. 85,4 persen dari 137 konsesi pengelolaan lapangan migas di Indonesia masih dikuasai oleh korporasi asing, yang juga menduduki 10 besar produsen migas di Indonesia. Chevron Pacific (AS) berada di urutan pertama diikuti Conoco Phillips (AS), Total Indonesie (Prancis), China National Offshore Oil Corporation (Tiongkok), Petrochina (Tiongkok), Korea Development Company (Korea Selatan), dan Chevron Company (Petro Energy, 2007).
Sementara itu, delapan di antara 10 besar produsen gas di tanah air pun dikuasai asing. Total E&P Indonesie menempati peringkat pertama dengan total produksi gas mencapai 2.513 juta kaki kubik per hari dan Pertamina diperingkat kedua dengan total produksi 948,9 mmscfd (Investor Daily, 2007).
Di sisi lain, jalan ekonomi neoliberal SBY-JK telah kian menjauh dari perwujudan demokrasi ekonomi. Ketimpangan struktural ekonomi Indonesia justru kian melebar. Pelaku ekonomi rakyat (UMKM) Indonesia yang pada tahun 2006 berjumlah 48,9 juta (99,9%) hanya menikmati 37,6% "kue produksi nasional", sedangkan minoritas pelaku usaha besar (0,1%) justru menikmati 46,7%-nya pada tahun yang sama. Hasil produksi yang dinikmati usaha besar (korporasi) ini naik 3,6% dibanding tahun 2003 yang sebesar 43,1%.
Data perbankan menunjukkan bahwa per Juli 2007, 1.380 Trilyun dana pihak ketiga di bank 80%-nya dikuasai 1,82% pemegang rekening (Kuncoro, 2007). Rekening bernilai di atas 100 juta dengan total nilai 85% Dana Pihak Ketiga (DPK) hanya terdiri dari sekitar 1,5% rekening. Bahkan yang bernilai di atas 1 milyar hanya terdiri dari 0,14% rekening, yang menguasai lebih dari 50% DPK (Rizki, 2007).
Sementara itu, dalam konteks makro-daerah, sentralisasi fiskal tetap berlangsung di tengah pelaksanaan otonomi daerah dan masih besarnya derajat ketimpangan ekonomi antardaerah. Hal ini ditunjukkan dengan Rasio PAD terhadap APBD di Kabupaten/Kota 5 tahun setelah Otonomi Daerah (2006) yang sebesar 6,80%, justru turun dari sebesar 10,31% pada tahun 1999/2000 (Kuncoro, 2008). Ketergantungan fiskal daerah kepada pemerintah pusat terjadi bersamaan dengan sentralisasi ekonomi (perbankan, media, korporasi) di pusat bisnis dan kekuasaan (Baswir, 2007).
Apakah hasil pilihan jalan tersebut membawa kesejahteraan dan kedaulatan rakyat Indonesia? Bukankah tidak maju sebuah bangsa sebelum menghapus betul sifat kolonial yang ada dalam tubuh ekonomi-politiknya?
Di ujung jalan, telah terjadi kemerosotan kesejahteraan rakyat, meluasnya ketimpangan, kehancuran lingkungan, dan degradasi moral (nilai sosial) yang menunjukkan kepada kita bagaimana dahsyatnya daya rusak ekonomi neoliberal yang telah menguras kekayaan SDA yang melimpah ruah di Indonesia.
Jalan ekonomi neoliberal telah meningkatkan kemiskinan dari sebesar 16,7 % di tahun 2004 menjadi 17,75% pada tahun 2006. Tingkat pengangguran pun juga meningkat dari sebesar 9,86% pada tahun 2004 menjadi 10,84% pada tahun 2005. Pada saat yang sama ketimpangan pendapatan pun meningkat yang diindikasikan dengan rasio gini yang sebesar 0,28 pada tahun 2002 menjadi sebesar 0,34 pada tahun 2005.
Kue nasional yang dinikmati oleh kelompok 40% penduduk termiskin turun dari 20,92 tahun 2002 menjadi 19,2 pada tahun 2006. Ironisnya, yang dinikmati oleh 20% kelompok terkaya naik dari 44,7% menjadi 45,7% pada tahun yang sama. Hingga akhir 2007 ini, jumlah pengangguran pun masih sekitar 10,55 juta jiwa atau 9,75%, sedangkan angka kemiskinan masih bertengger sekitar 34,2 juta orang atau 17,3%, jauh dari target yang ditetapkan SBY-JK. Sebuah paradoks di negeri yang sangat kaya SDA!
Sementara itu, Nilai Tukar Petani sekarang merupakan yang terendah sejak 10 tahun terakhir. Pada saat yang sama kesejahteraan buruh industri juga merosot, di mana upah riel buruh industri juga tumbuh negatif selama satu tahun terakhir. Kemerosotan sektor riil nampak pada merosotnya Indek Produksi Padat Karya, seperti tekstil sebesar 11%, pakaian jadi sebesar 13%, dan barang dari logam sebesar 10% (Forum Rektor Indonesia, 2007).
Kehancuran lingkungan hidup yang memakan korban jiwa terus berlansung akibat over-eksploitasi terindikasikan dengan berbagai bencana (seperti banjir, tanah longsor, dan kebakaran hutan), pencemaran air, sungai, dan udara. Ketidakberdayaan pemerintahan SBY-JK untuk mengelola lingkungan terkait dengan liberalisasi SDA di mana banyak aset-aset SDA yang dikuasai oleh modal asing dan domestik melalui kontrak-kontrak karya.
Hal ini belum termasuk kehancuran moral, akhlak, dan kohesi sosial bangsa Indonesia karena ketertundukan pada spirit materialisme dan individualisme yang diusung ekonomi neoliberal. Mal-mal dan tempat hiburan malam berkembang sebagai upaya untuk menguasai pasar (konsumen) yang harus dilucuti atribut kearifan lokal, nasionalisme, dan keber-agamaan-nya
Angka-angka statistik kiranya tidak akan menggambarkan kepedihan nasib rakyat miskin yang merasakan kian susahnya hidup saat ini. Visualisasi kepedihan ini berupa busung lapar, gizi buruk, kaum miskin tak bertempat tinggal, stress massal, sekolah rusak, dan seabreg masalah sosial ekonomi lain di alam Indonesia yang sudah 62 tahun merdeka.
Sebuah paradoks luar biasa di negeri kaya SDA ini yang (masih) harus mengalami nasib yang menyedihkan berupa krisis minyak tanah, krisis listrik, krisis pangan, krisis modal, dan berbagai harga kebutuhan pokok (migor, susu, dan kedelai) yang makin membumbung tinggi. Biaya hidup terus meningkat dan untuk banyak rumah tangga (miskin) menjadi makin tak terjangkau lagi.
Bagaimana keluar dari jalan buntu selama ini?
Jalan baru ekonomi-politik adalah sebuah keniscayaan bagi bangsa Indonesia. Jalan baru ini kiranya jelas harus diikuti dengan kepemimpinan baru dan kehadiran tim ekonomi baru pasca Pemilu 2009 yang dapat memutus mata rantai (siklus) ekonomi neokolonial (neoliberal) di Indonesia.
Jalan baru ini bukan sekedar menunjukkan mimpi ekonomi Indonesia di masa depan, melainkan jalan mana yang perlu ditempuh untuk mewujudkannya. Sebagai pedoman adalah "Jalan Baru Pendiri bangsa" yang sudah diletakkan 62 tahun yang lalu dan kita sia-siakan hingga hari ini.
Jalan itu ditekadkan untuk mengeluarkan Indonesia dari jalan lama 3,5 abad di bawah cengkeraman kolonialisme. Jalan baru segera disusun dan secara jelas dituangkan ke dalam UUD 1945 yang disahkan sehari setelah proklamasi. Agenda jalan baru tersebut adalah menghapus dominasi kolonialis (asing) dalam struktur ekonomi Indonesia yang ditunjukkan dengan segelintir elit bangsa Belanda (Eropa) yang menguasai banyak sumber daya Indonesia, bangsa Timur Asing yang menguasai jalur distribusi, dan mayoritas massa pribumi (ekonomi rakyat) Indonesia di lapisan terbawah.
Jalan itu ditumpukan pada tiga pilar utama, yaitu demokratisasi perekonomian melalui koperasi, penguasaan negara atas cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak, dan penguasaan negara atas bumi, air, dan kekayaan alam yang ada di Indonesia. Ketiga pilar ini kemudian diamanatkan dalam Pasal 33 ayat 1-3 UUD 1945.
Jalan inilah yang dengan perjuangan keras telah membuahkan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing, yang 6 tahun pasca proklamasi masih berkuasa atas perusahaan listrik, kereta api, telekomunikasi, perkebunan, dan tambang minyak di Indonesia. Jalan ini pulalah yang membawa bangsa Indonesia mampu duduk sejajar bangsa adidaya dan bahkan mampu menjadi pelopor perjuangan anti-kolonialisme bagi negara- negara baru merdeka di Asia-Afrika.
Jalan baru ini dapat ditempuh melalui banting stir paradigma dan kebijakan ekonomi nasional yang telanjur bercorak neoliberal. Berbagai agenda strategis manifes nasionalisme dan demokrasi ekonomi yang saat ini perlu diseriusi di antaranya adalah penghapusan utang luar negeri, nasionalisasi penguasaan SDA, penghentian privatisasi dan liberalisasi ekonomi, revitalisasi koperasi sejati, demokratisasi keuangan, demokratisasi perusahaan, dan reformasi agraria.
Konsepsi beragam agenda tersebut sudah tersedia dan sebagian telah diperjuangkan oleh berbagai elemen masyarakat sipil pada berbagai level. Hanya saja sebagian besar masih berada pada taraf pinggiran dan membutuhkan konsolidasi dan mobilisasi gerakan yang lebih intensif. Pada posisi inilah perlu konsolidasi dan penyemaian realisasi agenda-agenda yang terbingkai dalam jalan baru anti-neokolonialisme kepada khalayak yang lebih luas. Konsolidasi basis gerakan ekonomi kerakyatan yang didukung kaum intelektual-progresif inilah yang kiranya menentukan efektifitas realisasi jalan baru Indonesia.
Kini peringatan 100 Tahun Kebangkitan Nasional perlu dijadikan momentum untuk menegaskan perlunya jalan baru bagi perekonomian Indonesia, yaitu (kembali ke) jalan demokrasi ekonomi (ekonomi kerakyatan) yang anti-neokolonialisme ekonomi Indonesia.

Rakyat kecil pun masih berkutat dengan pendapatan pas-pasan, sulit mencari pekerjaan, dan ongkos hidup yang makin mahal. Tak pernah disadarkan pada mereka bahwa hal itu bertalian erat dengan struktur ekonomi timpang berupa dominasi kapital asing yang merupakan warisan sistem ekonomi kolonial. Hal itu terjadi di tengah eksploitasi migas yang ternyata berakibat sumber daya yang dihisap keluar (net transfer) dan alat produksi yang tidak lagi kita kuasai sebagai penyebab riil kemiskinan dan pengangguran.


Beruntung kita punya segelintir pakar dan politisi yang masih percaya kemungkinan nasionalisasi. Secara yuridis-formal dan ekonomi-keuangan kiranya nasionalisasi memang masuk akal. UU Penanaman Modal masih patut dipertanyakan kesesuaiannya dengan substansi Pasal 33 UUD 1945 ayat 1-3. Ingat, Pemerintah dan DPR dinyatakan MK melanggar konstitusi ketika mengesahkan UU Ketenagalistrikan, sebagian isi UU Migas, kenaikan harga BBM (2005), dan terakhir anggaran pendidikan dalam APBN 2007.


Proporsi hasil migas yang dinikmati rakyat (negara) pun akan tidak memadai karena produksi yang dibawah kendali perusahaan asing menyebabkan kontrol biaya dan output produksi sulit dilakukan. Padahal patokan yang dipakai dalam kontrak bagi hasil adalah laba operasi, bukannya total penerimaan. Sehingga meski pemerintah mendapat bagian 85% namun nilainya akan menjadi kecil karena besarnya biaya operasional yang menjadi hak perusahaan asing.


Begitulah, sejarah nasionalisasi adalah sejarah pertarungan kekuasaan dan kepentingan, yang seringkali diarahkan oleh ideologi tertentu. Mengubah relasi kekuasaan dan ideologi tidaklah semudah memahamkan perlunya nasionalisasi. Nasionalisasi adalah prasyarat kembalinya kedaulatan bangsa dalam mengatur perekonomian. Negara akan leluasa mengelola produksi dan distribusi migas –yang juga dikelola oleh perusahaan asing- untuk kepentingan nasional (rakyat banyak). Penerimaan negara dan partisipasi produksi (kesejahteraan) rakyat dengan begitu niscaya meningkat.


Mengingat dominasi asing yang memiskinkan dan mengoyak martabat dan kedaulatan bangsa, maka "banting stir" haluan ekonomi harus dilakukan. Dan dalam keadaan pimpinan nasional belum berkemauan politik, maka perubahan mestilah dilakukan dari bawah. Massa-rakyat yang kesadaran dan kemauannya sudah muncul itulah yang akan mendorong pemerintah dan DPR untuk berkemauan seperti mereka.


Massa rakyat dapat mendesak pemerintah dan DPR untuk membuat undang-undang nasionalisasi perusahaan migas asing. Undang-undang ini akan menjadi alat negosiasi perihal kontrak-kontrak karya dengan perusahaan tersebut. Intinya adalah bagaimana peruntukan migas Indonesia sebesar-besar untuk kedaulatan negara dan kemakmuran rakyat Indonesia, yang masih diamanatkan Pasal 33 UUD 1945 dan justru hari ini dipraktekkan di Venezuela dan Bolivia.


Tak ada yang tahu mampu bertahankah nasionalisasi 'ala Chavez dan Moralez di tengah berbagai skenario yang berupaya meruntuhkan pengaruh mereka. Pun jika nasionalisasi dirancang di Indonesia, jelas upaya menghalanginya tidak akan kalah gencarnya. Bagaimana rakyat kian sadar akan segala resiko dan bersiap menghadapi dan memperjuangkannya akan menentukan nasibnya ke depan. Masih sekedar mimpi atau akan benar-benar menjadi kenyataan? Wallahu'alam.


 

Tanpa sempat terbendung lagi pemerintah dan DPR akhirnya mengesahkan UU Penanaman Modal (UU PM). Peristiwa historis ini nyaris tidak mendapat ekspose yang memadai. Bahkan makin tenggelam di tengah mencuatnya isu laptop DPR/DPRD, interpelasi resolusi Iran, kasus helikopter Bukaka, dan penangkapan pelaku terorisme.


Norena Heertz pun benar dalam bukunya "The Silent Takeover (London, 2001)". bahwa pemodal internasional diam-diam makin berkuasa bahkan hingga tanpa disadari telah mendominasi ranah publik yang menjadi domain negara (rakyat). "Perusahaan multinasional, yang didukung oleh kapitalisme global pasar bebas, sekarang ini sama besarnya dengan banyak negara. Bahkan, tiga ratus perusahaan multinasional menguasai 25% aset dunia".


John Pilger (2002) pun sudah lama mengungkap bagaimana ekonomi Indonesia telah "diambil-alih" secara diam-diam oleh korporasi global sejak Konperensi Jenewa tahun 1967. Konperensi 3 hari yang diikuti korporat raksasa Barat dan ekonom Indonesia (Mafia Berkeley) itu berbuah "kaplingisasi" Indonesia oleh Freeport, Konsorsium Eropa, Alcoa, dan kelompok perusahaan Amerika, Jepang, dan Perancis..


Konferensi itu melahirkan UU Penanaman Modal Asing (PMA), yang menelikung cita-cita historis Pasal 33 UUD 1945 untuk merombak struktur dan sistem ekonomi timpang warisan sejarah kolonial. Padahal perombakan baru terjadi jika perekonomian disusun sebagai usaha bersama (koperasi) dan penguasaan negara atas cabang produksi strategis. Kiranya jelas kemudian bahwa UU PM yang baru saja disahkan DPR hanya mengulangi sejarah pengingkaran cengkeraman modal asing yang memperpuruk nasib ekonomi rakyat Indonesia.
Mengabaikan Dominasi


Rasanya sulit menemukan nalar teoritis para komprador ekonomi yang begitu abai dengan dominasi asing, bahkan begitu memuja kehadirannya. Rasio tabungan dan investasi kita tahun 2005 masih surplus 22,6 trilyun. Belum lagi rasio kredit-tabungan (LDR) perbankan yang baru 60% dan dana mengendap di SBI Bank Indonesia yang sebesar Rp. 250-300 trilyun. Bukankah itu pertanda tersedianya modal domestik?


Ironisnya mereka tahu betul bahwa setiap 1% pertumbuhan ekonomi –karena kenaikan investasi (asing)- hanya mampu menyerap 200.000-300.000 tenaga kerja baru. Hasil-hasil studi empiris pun menunjukkan hubungan negatif antara arus bersih modal asing dan tabungan domestik. Studi Sritua Arief & Adi Sasono (1987) jauh-jauh hari sudah mengisyaratkan berlangsungnya penghisapan ekonomi melalui modal asing.


Arus bersih modal asing ke Indonesia sejak era liberalisasi (1970-1986) secara kumulatif menunjukkan posisi negatif (modal keluar > modal masuk). Negatif net transfer ini bukti bahwa Indonesia bukan lagi importir modal, melainkan eksportir modal. Besarnya nilai repatriasi keuntungan dan cicilan pokok + bunga utang ke luar negeri pun bukti bahwa Indonesia hanya menggunakan modal asing untuk membiayai pihak asing dalam meraih keuntungan dan penerimaan dari Indonesia.


Kini modal asing pun makin dominan dalam perekonomian Indonesia. Paska privatisasi BUMN dan aset-aset strategis nasional (mineral tambang-migas, air, dan hutan) penguasaan tampuk produksi beralih dari negara (rakyat) ke korporasi asing. Padahal kedua tampuk produksi tersebut terkait erat dengan hajat hidup orang banyak, prospektif (profitable), dan telah dikelola dengan banyak menyedot anggaran negara (subsidi).


Dominasi asing dalam penguasaan berbagai jenis tambang dan migas (± 80%), bank (± 50%), industri, jasa, dan 60% saham di pasar modal itu berakibat besarnya aliran uang ke luar (net tranfer). Aliran itu bersumber dari perampasan hak sosial ekonomi pekerja, eksploitasi SDA di daerah, dan keuntungan BUMN/perusahaan di Indonesia yang dinikmati pemegang saham (shareholder) asing. Belum lagi dengan cicilan bunga dan pokok utang luar negeri yang dibayar per tahun dengan seperempat APBN.


Di sisi lain, ekonomi rakyat (UMKM) yang berjumlah 40,1 juta atau 99,8% dari total pelaku ekonomi dan menyerap 96% angkatan kerja, hanya menikmati 39,8% dari produksi) nasional (PDB) dibanding korporasi besar yang sebesar 60,2%. Ekonomi rakyat hanya menikmati 20% pangsa pasar yang 80%-nya sudah dikuasai korporasi tersebut. Segelintir korporasi besar tersebut merupakan "mesin" pertumbuhan yang menguasai 83,6 persen laju perekonomian Indonesia.


Kini alih-alih mengoreksi struktur ekonomi timpang yang pro-modal asing tersebut, rezim Pemerintah-DPR justru diam-diam turut melegitimasinya. Ketelanjuran penguasaan korporasi (asing) terhadap cabang produksi dan aset-aset strategis bangsa yang jelas melawan konstitusi justru dilegalisasi. Kiranya jelas kemudian bagaimana UU PM telah dijadikan alat stempel dominasi modal asing (penjajahan baru) terhadap ekonomi Indonesia.
Dominasi korporasi (asing) kini telah membawa korban terpuruknya nasib rakyat kecil. Tingkat kemiskinan meningkat dari sebesar 16,7 % di tahun 2004 menjadi 17,75 pada tahun 2006. Tingkat pengangguran pun bertambah dari sebesar 9,86% pada tahun 2004 menjadi 10,84% pada tahun 2005.


Pada saat yang sama ketimpangan pendapatan pun melebar yang diindikasikan dengan rasio gini yang sebesar 0,28 pada tahun 2002 menjadi sebesar 0,34 pada tahun 2005. Visualisasinya berupa busung lapar, gizi buruk, kaum miskin tak bertempat tinggal, stress massal, sekolah rusak, dan seabreg masalah sosialekonomi lain di alam Indonesia yang sudah 61 tahun merdeka.


Melawan Konstitusi
Substansi (isi) UU PM yang tunduk pada "kebebasan kapital" nampak dengan berbagai dukungan kemudahan dan perlakuan istimewa pada kapital global. UU PM yang semestinya mengatur (regulasi) modal justru membebaskannya untuk setara dan bebas menelikung modal domestik (ekonomi rakyat), mengalihkan aset, dan merepatriasi keuntungan ke negara asal.
Alih-alih mengoreksi ketelanjuran dominasi modal asing, UU PM justru memberi segudang insentif bagi mereka untuk makin mengeruk kekayaan bangsa melalui insentif fiskal, hak guna/pakai bangunan/tanah yang lama, dan kemudahan imigrasi dan ijin impor. Korporasi asing juga dijamin tidak dinasionalisasi, bahkan diberi keleluasaan untuk ekspansi ke sektor-sektor ekonomi strategis (vital) karena dilunakkannya Daftar Negatif Investasi (DNI). Ungkapan kepentingan nasional dengan begitu tak lebih "pemanis" belaka. Negara yang perannya makin marginal (dikebiri) dan elit pemerintah-DPR yang masih silai dengan modal aing tidak memungkinkan hal itu dipertahankan.


UU PM yang mendorong korporatokrasi (asingisasi) memperjelas pengkhianata (perlawanannya) terhadap konstitusi, yaitu Pasal 33 UUD 1945, yang menegaskan arahan usaha bersama (kolektif) berasaskan kekeluargaan (kooperasi) sebagai basis perekonomian nasional. Pasal 33 UUD 1945 ayat (2) dan (3) pun jelas-jelas mengatur bahwa " cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat".


Undang-Undang perekonomian yang perlu disusun Pemerintah justru harus mengatur demokratisasi modal untuk memperluas distribusi modal (capital-sharing & collective ownership) kepada rakyat banyak, bukannya ke korporasi (asing). UU ini juga perlu mengatur mobilisasi modal domestik dan diputuskannya koperasi, ekonomi rakyat (UMKM), dan BUMN/BUMD Indonesia sebagai pilar kekuatan usaha (industri) ekonomi nasional. Dengan itu bangsa kita dapat melepaskan diri dari keterjajahan (dominasi) modal asing. Semoga.


 

Warisan Sistem Ekonomi Kolonial
1. Sejarah ekonomi bangsa Indonesia lekat dengan eksploitasi dan sub-ordinasi oleh bangsa lain. Keluar dari hisapan kongsi dagang monopolis VOC, ekonomi rakyat Indonesia dijerat sistem tanam paksa (cultuurstelsel-1830) yang diterapkan pemerintah Hindia Belanda untuk memenuhi kebutuhan komoditi mereka (Eropa). 40 tahun kemudian (1870), giliran perusahaan swasta Belanda (asing) yang menguasai perkebunan kita melalui pemaksaan sistem kapitalis-liberal. Indonesia diperlakukan sebagai ondernaming besar dan penyedia buruh murah bagi pasar luar negeri. Ekonomi rakyat (pribumi) tetap sebagai korban keserakahan kolonialis hingga merdeka tahun 1945.
2. Sistem ekonomi kolonial mewariskan struktur ekonomi yang sangat timpang. Struktur ekonomi terkait dengan kekuasaan dan kemampuan ekonomi-politik sehingga mereka yang masuk dalam kelompok atas meskipun jumlahnya sedikit namun menguasai dan menikmati banyak surplus perekonomian nasional. Hal yang berkebalikan menimpa kelompok ekonomi bawah yang jumlahnya mayoritas namun menguasai dan menikmati hasil produksi dalam taraf yang sangat minimal. Gambaran riil perihal struktur ekonomi dapat diilustrasikan melalui hasil observasi Hatta yang memetakan struktur ekonomi Indonesia pada masa kolonial Belanda ke dalam tiga golongan besar:
1) Golongan Atas, yang terdiri dari bangsa Eropa (khususnya Belanda) yang menguasai dan menikmati hasil penjualan komoditi pertanian dan perkebunan di negeri jajahan mereka.
2) Golongan menengah, yang 90% terdiri dari kaum perantara perdagangan, khususnya dari etnis Tionghoa (China), yang mendistrubsikan hasil-hasil produksi masyarakat jajahan ke perusahaan besar dan ekonomi luaran. Dalam kelompok ini terdapat 10% bangsa Indonesia yang mampu menguasai dan menikmati hasil perekonomian karena mempunyai kekuasaan (jabatan) tertentu (elit), itu pun berada di posisi paling bawah pada lapisan ini.
3) Golongan bawah, yang terdiri dari massa rakyat pribumi yang bergerak pada perekonomian rakyat, yang tidak mampu menguasai dan menikmati hasil-hasil produksi mereka karena berada dalam sistem ekonomi kolonialis.
3. Dalam pandangan para founding fathers, terutama Soekarno-Hatta, merdeka berarti merdeka secara politik dan ekonomi. Untuk itu, pasca kemerdekaan perlu adanya reformasi sosial, yaitu suatu agenda nasional untuk mengganti sistem ekonomi kolonial dengan sistem ekonomi nasional, guna menghapus pola hubungan ekonomi yang timpang, eksploitatif dan sub-ordinatif terhadap ekonomi rakyat Indonesia dan mengubah struktur sosial-ekonomi warisan kolonial yang jauh dari nilai-nilai keadilan sosial tersebut.
"Demokrasi politik saja tidak dapat melaksanakan persamaan dan persaudaraan. Di sebelah demokrasi politik harus pula berlaku demokrasi ekonomi. Kalau tidak, manusia belum merdeka, persamaan dan persaudaraan belum ada. Sebab itu cita-cita demokrasi Indonesa ialah demokrasi sosial, melingkupi seluruh lingkungan hidup yang menentukan nasib manusia" (Hatta, 1960).
4. Hal itu antara lain disebabkan oleh kesadaran Bung Hatta bahwa perbaikan kondisi ekonomi rakyat tidak mungkin hanya disandarkan pada proklamasi kemerdekaan. Perjuangan untuk memperbaiki kondisi ekonomi rakyat harus terus dilanjutkan dengan mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi struktur ekonomi nasional. Sebagaimana dikemukakan oleh Bung karno, yang dimaksud dengan struktur ekonomi nasional adalah sebuah struktur perekonomian yang ditandai oleh meningkatnya peran serta rakyat Indonesia dalam penguasaan modal atau faktor-faktor produksi di tanah air.
5. Reformasi sosial hanya dimungkinkan melalui demokratisasi ekonomi, di mana kolektivitas (kekeluargaan dan kebersamaan) menjadi dasar pola produksi dan distribusi (mode ekonomi). Sebagaimana ditulis Hatta, "Di atas sendi yang ketiga (cita-cita tolong-menolong—pen.) dapat didirikan tonggak demokrasi ekonomi. Tidak lagi orang seorang atau satu golongan kecil yang mesti menguasai penghidupan orang banyak seperti sekarang, melainkan keperluan dan kemauan rakyat yang banyak harus menjadi pedoman perusahaan dan penghasilan. Sebab itu, segala tangkai penghasilan besar yang mengenai penghidupan rakyat harus berdasar pada milik bersama dan terletak di bawah penjagaan rakyat dengan perantaraan Badan-badan perwakilannya" (Hatta, 1932).
1.2. Cita-Cita Konstitusional
1. Agenda reformasi sosial berupa demokratisasi ekonomi untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia telah dirumuskan sebagai cita-cita konstitusional yang termaktub dalam dalam filosofi Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 khususnya pasal 33. Muhammad Hatta merumuskannya dalam sebuah konsep tentang Sistem Ekonomi Indonesia, yaitu Sistem Ekonomi Kerakyatan. Dalam Sistem Ekonomi Kerakyatan, semua aktivitas ekonomi harus disatukan dalam organisasi koperasi sebagai bangun usaha yang sesuai dengan asas kekeluargaan. Hanya dalam asas kekeluargaan dapat diwujudkan prinsip demokrasi ekonomi, yaitu produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, sedangkan pengelolaannya dipimpin dan diawasi oleh anggota masyarakat sendiri. Konsep Sistem Ekonomi Kerakyatan inilah yang kemudian dituangkan dalam UUD 1945 sebagai dasar sistem perekonomian nasional.
2. Pilar Sistem Ekonomi Indonesia yang sejalan dengan agenda reformasi sosial dan kemudian dituangkan dalam UUD 1945 pasal 33 tersebut meliputi:
1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan.
2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
3) Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Berdasarkan pasal tersebut, tercantum dasar demokrasi ekonomi, di mana produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran perorang. Oleh sebab itu, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan. Bentuk usaha yang sesuai dengan prinsip tersebut adalah koperasi..
3. Berdasar cita-cita konstitusional tersebut maka dapat dipahami perlunya peran negara yang kuat untuk menyusun (mengatur) perekonomian (tatanan, bangun usaha, dan wadah ekonomi) nasional dan dihindarkannya perekonomian nasional yang (kembali) dikuasai bangsa dan korporasi asing (kekuatan pasar bebas). Negara perlu mengarahkan agar bangun usaha ekonomi yang tumbuh berkembang adalah bangun usaha yang bertumpu pasa usaha bersama (kolektivitas) dan berasas kekeluargaan (kebersamaan) seperti-halnya koperasi, dan bukannya (kembali) bertumpu pada asas perorangan (individual-korporasi) dan persaingan bebas (kapitalistik-liberal).
4. Berpijak pada dasar hukum itu pula maka negara berperan vital dalam menguasai dan mengelola cabang (faktor-faktor) produksi dan aset strategis nasional yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak yang pengelolaannya dilakukan melalui keberadaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Peranan swasta dimungkinkan sebatas pada aktivitas ekonomi yang faktor produksinya tidak berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Hal ini karena sesuai amanat konstitusi (penjelasan Pasal 33) bahwa jika tampuk produksi jatuh ke tangan orang perorang, maka rakyat yang banyak akan ditindasinya. Persis akan terjadi kembali seperti pada era sistem ekonomi kolonial di mana ekonomi rakyat ditindasi pemerintah dan korporasi asing (kolonial).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar