Reformasi bergulir dalam koridor liberalisasi yang dipaksakan IMF dan Bank Dunia. Wajah politik kita memang berubah. Tapi arus besar yang kita ikuti masih sama : globalisme-pasar bebas. Mulailah era penggusuran terhadap daulat rakyat berganti menjadi era daulat pasar. Satu demi satu aset-aset strategis dijual ke pihak asing melalui skema privatisasi (rampokisasi?). Konstitusi-pun direka-ulang demi maksud ini. Pasal 33 (penjelasan) UUD '45 dihapus total, dus demokratisasi ekonomi dikerdilkan, koperasi pun direduksi hakekatnya. Muaranya adalah beralihnya tampuk produksi dari negara ke korporat, sama sekali bukan ke rakyat banyak (masyarakat). Pola produksi dan konsumsi nasional pun makin dibentuk oleh kebebasan (kekuatan) pasar internasional, sehingga tidak lagi menerima prioritas (pengutamaan) kepentingan nasional.
Pasar bebas inheren dengan kepentingan korporat dan negara maju untuk menegakkan korporatokrasi yang menelikung peran ideal pemerintah dan masyarakat. Bangsa kita digiring untuk sekedar menjadi bangsa konsumen (menikmati produk murah-sesaat) atau paling banter menjadi "bangsa makelar" (menjual produk asing-impor), yang melupakan upaya membangun industri nasional dan kewirausahaan berbasis ekonomi rakyat dan sumber daya lokal. Parahnya lagi ketika bangsa kita kembali hanya akan menjadi bangsa kuli yang tunduk dan melayani kepentingan pihak (bangsa) asing. Kita terus saja mengejar nilai tambah ekonomi, dan melupakan pentingnya nilai tambah sosial-kultural berupa kokohnya ideologi, budaya, martabat (harga diri) dan rasa percaya diri bangsa.
Pemerintahan dan teknokrat ekonomi SBY-Kalla pun masih tersandera oleh paradigma dan kebijakan ekonomi rezim-rezim sebelumnya. Mereka tetap saja bicara dan mengejar pertumbuhan ekonomi tinggi dan investasi skala besar (asing). Persis yang dipikir dan dikejar rezim Orba yang maunya direformasi. Pemerintah lebih sigap menyediakan infrastruktur-infrastruktur yang diperlukan korporat besar, termasuk giat mengembangkan basis-basis produksi berskala besar, ketimbang secara konsisten menerapkan agenda-agenda demokratisasi ekonomi (pemberdayaan ekonomi rakyat). Pasar rakyat berhadapan dengan maraknya pembangunan super-mall, sementara investasi oleh ekonomi rakyat dipandang sebelah mata karena silaunya pada investasi pemodal besar (asing).
Hal ini tidak terlepas dari posisi Indonesia yang terperangkap dalam jebakan utang (debt-trap) sehingga dipaksa memenuhi agenda-agenda negara (lembaga) kreditor. Dan kita pun baru saja tahu lewat pengakuan John Perkins dalam bukunya Confessions of an Economic Hit Man (2004) bahwa semua itu terjadi melalui disain sistematis pemerintah (korporat) asing (AS) untuk ikut menguasai dan mengatur perekonomian Indonesia di era 70-an. Ceritanya tetap sama, Indonesia adalah negara kaya sumber daya strategis dan buruh murah yang menarik untuk dihisap dan diperkuli. Maka, utang pun disodor-sodorkan untuk membiayai proyek-proyek yang mereka kerjakan demi mengejar impian indah masa itu : pertumbuhan ekonomi melalui investasi skala besar (asing), sampai kemudian utang lama terpaksa dibayar dengan membuat utang-utang baru.
Kulinisasi kini makin dikukuhkan oleh pendidikan yang terlalu pro-pasar, yang semata-mata memposisikan peserta didik sebagai alat produksi pemasok pasar tenaga kerja. Pun, pendidikan ekonomi kita berkembang dalam kultur hegemoni oleh ajaran-ajaran ekonomi Barat yang sarat kepentingan kaum fundamentalis pasar (neo-liberalisme), sehingga bias uaha besar-modern dan abai dengan masalah dan real-life economy rakyatnya sendiri.
Hasilnya tentu bukan manusia didik yang peka dan paham potensi dan masalah ekonomi rakyat-nya, berjiwa enterprenuer, dan sadar martabat dan harga diri bangsa, melainkan lulusan-lulusan yang tidak percaya diri, opportunis, serta mudah dihisap dan diperkuli. Kita berebutan masuk pasar tenaga kerja yang korporatnya sudah banyak dikuasai oleh korporat (bangsa) asing. Kita tetap sekedar menjadi kuli di negeri sendiri (juga di negeri orang lain). Kebutuhan pasar tenaga kerja demikian terbatas, dan kita terus saja percaya bahwa pendidikan harus berorientasi (kebutuhan) pasar (market-oriented).
Kulinisasi oleh bangsa asing yang berlangsung lama itu pun telah menumbuhkan persistensinya inferiority complex bangsa kits, suatu budaya hidup yang tidak cerdas, penuh rasa minder, ketertundukan dan kekaguman kepada yang serba Barat dan asing. Dengan makin lunturnya nasionalisme, maka hubungan subordinasi ini hidup kembali dan sekaligus makin memperpuruk bangsa Indonesia (Swasono, 2004).
Rabu, 01 Juni 2011
NEO-KULINISASI ‘ALA KORPORATOKRASI
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar