Nyenyak sekali tidur si calon Presiden kita itu. Markesot tersenyum-senyum sambil duduk menjagainya.
"Teruskan saja omong-omong kalian tadi", katanya.
Tetapi ndak bisa. Sudah terlanjur terpotong. Dan lagi mereka takut kalau si tamu nanti jadi terbangun oleh suara mereka. Sehingga akhirnya Markesot sendiri yang meneruskan omong. "Saya kebetulan tahu siapa dia", katanya.
"Orang gila dari mana?", tanya Markenyut.
"Bukan orang gila. Dia orang baik. Hatinya lembut. Selalu memikirkan keadaan masyarakat. Hatinya suka menangis menyaksikan orang yang menderita. Oleh karena itu tiap saat ia merasa dituntut untuk mengubah keadaan. Dan akhirnya dia mengambil kesimpulan bahwa cara yang paling praktis untuk mengubah keadaan adalah kalau dia menjadi Presiden..."
"Lho kok enak?", celonong Markembloh.
"Lho, jadi presiden kok enak gimana! ", jawab Markesot.
"Ya enak dong!"
"Enak dengkulmu! Jadi presiden itu susah. Ndak bisa hidup mbambung seperti kita. Mau tidur mlungker di trotoar depan toko seperti kita, ya mana mungkin. Dan lagi tanggungjawabnya terlalu besar, kalau salah sedikit saja dosanya bisa tak tertanggungkan. Lha wong mempertanggungjawabkan kepemimpinan atas diri sendiri saja susahnya kayak gini... Kalian merasakan sendiri betapa susahnya memimpin kepala, memimpin tangan, kaki, perut, syahwat...lha wong rambut saja sudah dipangkas-pangkas terus masih tidak kapok-kapok untuk tumbuh dan tumbuh lagl..."
"Tapi terus gimana cerita tentang Calpres Sunardi ini! ", desak Markedet.
"Ya pokoknya dia berkeinginan serius jadi presiden. Tujuannya untuk memperbaiki keadaan, menolong orang melarat, membela penduduk yang disalahi, pokoknya untuk mengerjakan segala sesuatu yang baik. Niat orang ini sangat murni. Tapi sayang sekali tidak diimbangi oleh pemahaman yang mencukupi tentang keadaan. Dia kan tahunya Presiden itu tertinggi pangkatnya, jadi dia yang paling pegang segala komando. Pokoknya kalau presiden bilang merah ya merah, biru ya biru. Dia tidak cukup waktu barangkali untuk mempelajari bahwa kehidupan ini tidak sederhana. Bahwa ada peta nilai yang ruwet. Ada konstelasi warna dan aliran. Ada pergulatan kekuasaan antara kelompok-kelompok yang tampak maupun yang siluman. Sebuah masyarakat, sebuah negara dan pergulatan-pergulatannya tidak sama dengan angon bebek di mana seorang penggembala cukup membutuhkan satu tongkat. Kesimpulannya, tamu kita ini terlalu simplifikatif dan pragmatis dalam melihat persoalan. Saya termasuk orang yang
tidak setuju kalau dia ini jadi Presiden..."
"Lho, kenapa?", tanya Markenyut.
"Karena caranya mengatasi keadaan, aneh..." "Aneh gimana?"
"Misalnya kalau lalulintas di Jakarta sangat macet di semakin banyak area, maka dia tinggal pasang papan pengumuman di setiap perempatan jalan yang bunyinya: 'Dilarang Macet!' Tertanda : Su...Presiden RI..."
"Apa ya setolol itu?"
"Mungkin tidak, tapi memang dia ini membayangkan bahwa segala sesuatu dalam kehidupan bangsa dan negara ini berlangsung hanya dalam mekanisme instruksional. Maka dia …..
(Emha Ainun Nadjib/"Markesot Bertutur"/PadhangmBulanNetDok)
Rabu, 01 Juni 2011
DILARANG MACET!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar