Rabu, 01 Juni 2011

POIN-POIN POKOK NEO-LIBERAL

Poin-poin pokok neo-Liberal dapat disarikan sebagai berikut:

1. ATURAN PASAR.

Membebaskan perusahaan-perusaha an swasta dari setiap keterikatan yang dipaksakan pemerintah. Keterbukaan sebesar-besarnya atas perdagangan internasional dan investasi. Mengurangi upah buruh lewat pelemahan serikat buruh dan penghapusan hak-hak buruh. Tidak ada lagi kontrol harga. Sepenuhnya kebebasan total dari gerak modal, barang dan jasa.

2. MEMOTONG PENGELUARAN PUBLIK DALAM HAL PELAYANAN SOSIAL.

Ini seperti terhadap sektor pendidikan dan kesehatan, pengurangan anggaran untuk `jaring pengaman' untuk orang miskin, dan sering juga pengurangan anggaran untuk infrastruktur publik, seperti jalan, jembatan, air bersih – ini juga guna mengurangi peran pemerintah. Di lain pihak mereka tidak menentang adanya subsidi dan manfaat pajak (tax benefits) untuk kalangan bisnis.

3. DEREGULASI.

Mengurangi paraturan-peraturan dari pemerintah yang bias mengurangi keuntungan pengusaha.

4. PRIVATISASI.

Menjual BUMN-BUMN di bidang barang dan jasa kepada investor swasta. Termasuk bank-bank, industri strategis, jalan raya, jalan tol, listrik, sekolah, rumah sakit, bahkan juga air minum. Selalu dengan alasan demi efisiensi yang lebih besar, yang nyatanya berakibat pada pemusatan kekayaan ke dalam sedikit orang dan membuat publik membayar lebih banyak.

5. MENGHAPUS KONSEP BARANG-BARANG PUBLIK (PUBLIC GOODS) ATAU KOMUNITAS.

Menggantinya dengan "tanggungjawab individual", yaitu menekan rakyat miskin untuk mencari sendiri solusinya atas tidak tersedianya perawatan kesehatan, pendidikan, jaminan sosial dan lain-lain; dan menyalahkan mereka atas kemalasannya.

Dalam kaitannya dengan pelaksanaan program di Bank Dunia dan IMF ini, maka program neo-Liberal, mengambil bentuk sebagai berikut:

1. Paket kebijakan Structural Adjustment (Penyesuaian Struktural), terdiri dari komponen-komponen: (a) Liberalisasi impor dan pelaksanaan aliran uang yang bebas; (b) Devaluasi; (c) Kebijakan moneter dan fiskal dalam bentuk: pembatasankredit, peningkatan suku bunga kredit, penghapusan subsidi, peningkatan pajak, kenaikan harga public utilities, dan penekanan untuk tidak menaikkan upah dan gaji.


 

2. Paket kebijakan deregulasi, yaitu: (a) intervensi pemerintah harus dihilangkan atau diminimumkan karena dianggap telah mendistorsi pasar; (b) privatisasi yang seluas-luasnya dalam ekonomi sehingga mencakup bidang-bidang yang selama ini dikuasai negara; (c) liberalisasi seluruh kegiatan ekonomi termasuk penghapusan segala jenis proteksi; (d) memperbesar dan memperlancar arus masuk investasi asing dengan fasilitas-fasilitas yang lebih luas dan longgar.

3. Paket kebijakan yang direkomendasikan kepada beberapa negara Asia dalam menghadapi krisis ekonomi akibat anjloknya nilai tukar mata uang terhadap dollar AS, yang merupakan gabungan dua paket di atas ditambah tuntutan-tuntutan spesifik disana-sini.

Di Indonesia, paham neo-liberal mulai terasa pengaruhnya di tahun 1980-an, ketika pemerintah mulai menerapkan kebijakan liberalisasi keuangan dan ekonomi, yang berujud dalam berbagai paket deregulasi semenjak tahun 1983. Paralel dengan masa itu adalah terjadinya krisis hutang dunia Ketiga di tahun 1982, ketika Mexico default. Setelah itu Bank Dunia dan IMF masuk ke dalam perekonomian negara-negara yang terkena krisis hutang lewat perangkat SAP. Saat itu terutama di negara-negara Amerika Latin dan Afrika. Indonesia belumlah terkena krisis, dan karenanya jauh dari hiruk-pikuk SAP. Akan tetapi sejak itu jelas pola pembangunan Indonesia mulai mengadopsi kebijakan neo-liberal, khususnya karena keterikatan Indonesia kepada IGGI, Bank Dunia dan IMF.

Beberapa kebijakan pada saat itu, yang membuat Indonesia semakin terbuka kepada kapitalisme global, secara ringkasnya adalah sebagai berikut:

1. Di bidang moneter dan keuangan:

Pada bulan Maret 1983, dilakukan devaluasi terhadap rupiah sebesar 28%. Kemudian sejak Juni 1983, dimulai deregulasi perbankan dengan menghapus kontrol atas suku bunga dan pagu kredit. Di bulan Oktober 1986, pemerintah menghapus pagu swap pada BI. Tanggal 12 September 1986, dilakukan kembali devaluasi atas rupiah sebesar 31%. Setelahnya, tanggal 27 Oktober 1988 (terkenal dengan Pakto—paket Oktober) pemerintah memberi keleluasaan untuk pendirian bank baru, termasuk bank patungan, dengan menurunkan reserve requirement dari 15% menjadi 2%, dan memperlakukan peraturan lending limit. Pada Desember 1987, pemerintah memperbaiki fungsi pasar modal Jakarta dan dibentuknya pasar paralel. Selanjutnya di bulan Desember 1988, diadakan deregulasi pasar modal dan jasa finansial. Tanggal 25 Maret 1989, follow-up Pakto 1988.

2. Di bidang fiskal:

Di tahun 1984, dimulai reformasi perpajakan dengan pengenaan PPh (pajak penghasilan) . Tahun 1985, diperkenalkan pajak pertambahan nilai. Tahun 1986, digantinya IPEDA dengan pajak bumi dan bangunan (PBB)

3. Di bidang perdagangan

Pada bulan Maret 1985, diadakan pengurangan tarif dari 0-225% tinggal menjadi 0-60%. Selanjutnya dikeluarkan Inpres no. 4/1985 yang mengganti peran bea cukai oleh SGS dari Swiss. Bulan Mei 1986 (dikenal dengan Pakem) dilakukan perbaikan duty drawback dan upaya agar eksportir mendapatkan input dengan harga internasional. Pada bulan Oktober 1986, dilakukan perubahan dari lisensi impor menjadi impor umum, penghapusan non-trade barrier (NTB) dan penurunan tariff lebih lanjut. Bulan Januari 1987, kembali beberapa perubahan lisensi impor menjadi impor umum. Selanjutnya Juli 1987, dilakukan simplifikasi kuota tekstil. Pada bulan Desember 1987, diadakan deregulasi lebih lanjut tentang sistem impor dan ekspor serta investasi bagi asing. Di bulan November 1988, penghapusan monopoli impor (plastik dan baja) dan deregulasi angkutan laut antar pulau. Pada Januari 1989, diperkenalkan `Harmonized System of Trade Classification' . Kemudian pada Mei 1990, dilakukan penghapusan NTB lebih lanjut menjadi tarif, deregulasi farmasi dan peternakan.

4. Di bidang investasi:

Pada bulan Mei 1986, 95% pemilikan asing dimungkinkan untuk melakukan investasi berorientasi ekspor. Perusahaan yang berorientasi ekspor diizinkan mendistribusikan produknya di dalam negeri dan perusahaan patungan dapat memperoleh kredit ekspor dari pemerintah. Kemudian tanggal 23 Oktober 1993 dikeluarkan Pakto 1993, yaitu paket deregulasi sektor riil, diantaranya izin investasi lansung dapat diurus di tingkat kabupaten dan kotamadya dan penghapusan berbagai surat dan persetujuan. Setelahnya dikeluarkan PP 20/1994 tanggal 2 Juni 1994, yang sangat liberal, yaitu dibolehkannya pemilikan modal asing sampai dengan 95-100%, termasuk penguasaan atas sarana hajat hidup orang banyak, seperti pelabuhan, tenaga listrik, kereta api, pembangkit tenaga nuklir dan media massa.

Program neo-liberal di masa Orde Baru tersebut, meski demikian, merupakan juga alat bagi kroni-kroni Suharto dan keluarganya untuk menguasai perekonomian. Dengan demikian liberalisasi ekonomi tersebut pada dasarnya mengukuhkan struktur konglomerasi yang mampu menguasai berbagai sektor ekonomi dari hulu sampai hilir di tangan segelintir kelompok pengusaha. Bagi neo-Liberalisme, dalam hal ini Bank Dunia dan IMF, hal ini tidaklah mengganggu. Kapitalisme dapat bersesuaian dengan otoriterisme, dan malahan merupakan pilihan terbaik, sebagaimana resep kaum neo-Liberal. Karena itulah Indonesia selalu mendapat puja-puji dari para pejabat Bank Dunia dan IMF. Indonesia dianggap sebagai contoh keberhasilan, sebagai "good-boy", dinaikkan derajadnya menjadi kelompok negara berpenghasilan menengah-bawah, dan digolongkan sebagai NICs (New Industrialized Country) baru, sebagai `Macan Asia' bersama-sama Thailand, Malaysia dan Filipina. Bahkan laporan Bank Dunia di awal tahun 1997, masih memuja-muji ekonomi Indonesia dan menyatakannya sebagai contoh yang paling baik dengan fundamental ekonomi yang bagus pula.

Tidak dinyana terjadilah krisis moneter Juli 1997, yang dimulai dari Thailand. Kini mulailah Indonesia masuk ke dalam krisis berkepanjangan yang tidak

berkesudahan hingga kini. Sejak itu dimulailah babak baru ekonomi politik pembangunan Indonesia, yaitu Indonesia masuk ke dalam skema SAP dari Bank Dunia dan IMF. SAP bertujuan:

(1) menurunkan inflasi; (2) menurunkan defisit anggaran; (3) memacu ekspor; dan (4) membuat jadual pembayaran hutang luar negeri lancar.

Untuk itu, pemerintah harus melakukan hal-hal sebagai berikut: (a) devaluasi mata uang; (b) deregulasi sektor keuangan; (c) pemotongan subsidi; (d) menjual perusahaan publik, yaitu privatisasi BUMN; (e) memotong anggaran sosial dan tenaga kerja; (f) liberalisasi sektor perdagangan; dan (g) penurunan upah.

Dengan melihat lingkup bidang SAP, maka hampir seluruh sektor penting harus direstrukturisasi. Ini nampak sekali di dalam isi Letter of Intent dan Memorandum yang menyertainya, yang mengatur hampir seluruh sektor yang ada, mulai dari sektor perbankan, sektor pengairan, sektor utilities (listrik, air dan energi) dan banyak lainnya. Sebenarnya skema SAP di Indonesia sudah mirip dengan ESAF (Enhanced Structural Adjustment Facility – kemudian berubah menjadi PRGF – Poverty Reduction Growth Facility), sebuah skema SAP bagi negara-negara LDC (miskin). Mengingat Indonesia masih tidak bisa dikategorikan miskin, maka diadakan modifikasi. Sementara itu Bank Dunia mulai memasukkan komponen pinjamannya dengan SAP, yaitu lewat SSNAL (Social Safety-Net Adjustment Loan) dan PRSL (Policy Reform Structural Loan). Selain itu Bank Dunia juga memberikan pinjaman secara sektoral, yaitu lewat Sectoral Adjustment Loan (SECAL), yaitu program SAP untuk sektor-sektor tertentu. Ini merupakan program baru dari Bank Dunia yang diturunkan bila suatu negara dianggap tidak layak secara ekonomi dan politik. SECAL di Indonesia diberikan pada sektor pengairan (WATSAL-Water Sectoral Adjustment Loan) dan dalam waktu dekat untuk sektor pertanian, dan

kemudian menyusul pada sektor perdagangan, industri dan energi. Sementara ADB memberikan SECAL untuk sektor-sektor listrik, kesehatan dan gizi, komunitas, pemerintahan daerah, deregulasi usaha menengah, dan pemberantasan korupsi di BUMN.

Seluruh skema SAP yang disodorkan Bank Dunia-IMF kini telah merubah Indonesia menjadi hamba sahaya saja dari badan-badan tersebut. Terutama skema dari IMF, dipandang merupakan pendiktean luar biasa kepada pemerintah Indonesia. Kini nakhoda kapal Indonesia sudah disetir oleh IMF. Segala hal harus melalui ijin dan sepengetahuan IMF, dan IMF punya kewenangan untuk menolaknya. Contoh-contoh tersebut misalnya pada Undang-Undang bank Indonesia dan penggantian Gubernur Bank Indonesia, di mana pemerintah sampai mengiba-iba untuk mendapat ijin dari IMF. Begitupun IMF tetap ngotot dan keras agar Indonesia tetap pada rejim devisa bebas dan rejim nilai tukar mengambang-bebas. Segala hal yang mengarah pada dua hal tersebut akan selalu di-veto oleh IMF. Padahal masalah paling dasar dari krisis Indonesia adalah tidak terkendalinya nilai tukar Rupiah, hanya karena sensitivitas pasar pada kejadian sehari-hari. Kehidupan rakyat Indonesia telah dikurbankan untuk kepentingan mekanisme pasar dan spekulan-spekulan mata uang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar