Kita bisa mencatat banyak kejadian kasus globalisasi yang kemudiannya telah menghancurkan dan mengorbankan Indonesia, baik dari segi kedaulatan nasional,
kedaulatan hukum, dan korban berjuta-juta rakyat Indonesia memasuki masa depan yang gelap. Krisis yang terus berlanjut hingga kini adalah gambaran bahwa Indonesia merupakan korban terparah globalisasi. Ini yang tidak mau diakui oleh IMF, Bank Dunia dan para ekonom neo-liberal, yang selalu menyalahkannya kepada pemerintah dan negara bersangkutan, baik dari segi KKN, korupsi, bad-governance dan lainnya; karena hendak menutupi kepentingan mereka yang sebenarnya.
Seharusnya selain kita harus mendukung adanya sebuah pemerintahan yang bersih, akan tetapi kita juga harus menyalahkan sebuah sistem liberalisme ekonomi dan kapitalisme global. Baru itu seimbang namanya. Contoh kasus-kasus dampak globalisasi yang bisa kita catat adalah sebagai berikut:
1. Perampokan besar-besaran Bank Sentral
Ini sesungguhnya adalah skandal keuangan Bank Sentral terbesar di dunia. Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, adalah skema program bail-out (penalangan) utang perbankan (swasta dan pemerintah) untuk dialihkan menjadi beban pemerintah lewat penerbitan obligasi. Ini adalah bagian dari program pemulihan krisis ekonomi Indonesia yang dipaksakan oleh IMF lewat LoI, bersama-sama dengan Bank Dunia dan ADB sejak bulan Oktober 1997. Semula BLBI bernama KLBI yang bersifat "Kredit"; kini diganti menjadi bersifat "Bantuan", sehingga tidak jelas lagi aspek pertanggungjawabann ya. BLBI secara jelasnya adalah bantuan dana yang diberikan oleh BI kepada bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas, jadi merupakan utang bank-bank penerima kepada BI. Akan tetapi melalui program penjaminan pemerintah, hak tagih BI dialihkan kepada pemerintah. Untuk membayar hak tagih tersebut, pemerintah menerbitkan Surat Utang (Obligasi) senilai Rp 164,53 trilyun dan juga menerbitkan Surat Utang untuk penyediaan dana dalam rangka program penjaminan senlai Rp 53,77 trilyun.
Meskipun hakekatnya adalah pinjaman dengan persyaratan suku bunga, jangka waktu dan jaminan tertentu, pada akhirnya menjadi pengurasan uang negara yang diduga dilakukan baik oleh bank penerima maupun oleh pejabat-pejabat BI sendiri. Pengurasan tersebut diperkirakan telah mencapai Rp 144,53 trilyun (per-29 Januari 2000). Laporan audit investigasi BPK tanggal 31 Juli 2000 mengungkapkan dugaan penyimpangan tersebut. Potensi kerugian negara yang ditimbulkannya adalah Rp 138,44 trilyun (95,78%) dari dana penyaluran BLBI. Sementara penyimpangan dari bank penerima dana BLBI berupa berbagai pelanggaran yang mencapai nilai Rp 84,84 trilyun (59,7%) dari dana BLBI, dilakukan oleh 48 bank penerima. Sementara itu kerugian dan dampaknya terhadap APBN juga luar biasa. Pemerintah dengan ini mempunyai kewajiban untuk membayar angsuran dan bunga obligasi tersebut, yang dibayar dari dana APBN. Di tahun 2001 diperkirakan angsuran dan bunga obligasi tersebut mencapai Rp 55,7 trilyun, artinya sekitar 18,9% dari APBN hanya akan dipakai untuk membayar beban utang BLBI. Sementara bila kita tengok pengeluaran APBN untuk keperluan subsidi masyarakat hanya mencapai 16,4% (Rp 48,2 trilyun) dan untuk keperluan pembangunan hanya 11,3% (Rp 33,3 trilyun). Dengan skandal keuangan BLBI ini, yang disarankan oleh IMF, maka telah mengorbankan berbagai subsidi yang seharusnya diterima oleh rakyat lewat APBN.
2. Tambal sulam kemiskinan lewat utang
Program pinjaman dari Bank Dunia dan ADB dengan nama SSNAL (Social Safety Net Adjustment Loan) atau pinjaman untuk Jaring Pengaman Sosial (JPS) yang dilaksanakan sejak terjadinya krisis. Besarnya US$ 600 juta yang tahap pertamanya telah dikucurkan sebesar US$ 300 juta pada Januari 2000. Merupakan politik etis dari Bank Dunia agar krisis yang terjadi tidak menyebabkan kerusakan yang tidak diinginkan yang bisa merugikan kepentingan Bank Dunia sendiri. Sejak awal telah ditentang oleh para aktivis, karena hanya menambah
beban utang dan bersifat tambal sulam. Skema program JPS ini dibagi ke dalam 12 program, diantaranya OPK (Operasi Pasar Khusus), PDM-DKE (Pemberdayaan Daerah dalam Mengatasi Dampak Ekonomi), DBO (Dana Bantuan Operasional) , dan PKP (Padat Karya Perkotaan). Sampai tahun anggaran 1999/2000 program JPS telah menghabiskan dana Rp 15 trilyun.
Dalam kenyataannya, terbukti terjadi banyak penyimpangan. Salah satu bukti yang jelas adalah sebesar Rp 8 trilyun dari Rp 17,9 trilyun dana JPS di tahun anggaran 1998/1999 malah digunakan untuk kampanye otonomi luas Timor Timur dan Kampanye Pemilu 1998. Demikian pula, dugaan penyelewengan dana JPS tahun 1999/2000 hampir sebanyak Rp 4,5 milyar dana OPK dan Rp 500 juta dana PDM-DKE untuk 15 propinsi di Indonesia, di mana sebagian besar penyelewengan (49%) terjadi di tingkat kecamatan. Demikian pula dari hasil audit BPK, ditemukan bahwa dana JPS bidang pendidikan tahun 1998/1999 dan 1999/2000 terdapat pengeluaran sebesar Rp 5,4 milyar yang diragukan kebenarannya, dan terdapat dana untuk Beasiswa dan Dana Bantuan Operasional (DPO) sebesar Rp 12,3 milyar yang tidak disalurkan ke siswa dan sekolah. Juga ditemukan 21 kasus yang merugikan negara sebesar Rp 1,5 milyar, kekurangan penerimaan negara sebesar Rp 75,6 juta, dan uang yang tidak bisa dipertanggungjawabk an (6 temuan) sebesar Rp 227,9 juta. Meskipun jelas ada banyak penyimpangan, Bank Dunia dan pemerintah terus melanjutkan program ini. Baru kemudian setelah terlihat bahwa program ini dapat menghancurkan kredibilitas Bank Dunia sendiri, akhirnya pada Juli 2001 oleh Bank Dunia program ini dibatalkan sama sekali.
3. Penghancuran ketahanan pangan
Lewat LoI Oktober 1997 dan MEFP 11 September 1998, IMF menuntut diberlakukannya tariff impor beras sebesar 0%. Ini juga berlaku bagi jagung, kedele, tepung terigu dan gula. Selain itu LoI juga mengatur agar BULOG tidak lagi mengurus kestabilan harga pangan dan agar melepaskannya ke mekanisme pasar. BULOG dibatasi menjadi sebatas perdagangan beras, itupun harus bersaing dengan pedagang swasta. Demikian pula BULOG harus mengambil pinjaman dari bank komersial, tidak lagi dari dana BLBI yang sangat ringan. Liberalisasi juga telah diberlakukan dalam hal harga pupuk dan sarana produksi padi lainnya yang tidak lagi disubsidi pemerintah, melainkan diserahkan pada mekanisme pasar. Sementara itu subsidi petani lewat KUT (kredit usaha tani) hanya sebesar Rp 1,8 trilyun (bandingkan dengan dana BLBI). Dengan demikian kini petani menghadapi harga produksi yang mahal, sementara harga jual padi hancur. Liberalisasi pertanian sebenarnya juga bagian dari ratifikasi Indonesia atas Agreement on Agriculture (AOA) dari WTO, yang mengatur penghapusan dan pengurangan tarif serta pengurangan subsidi.
Sejak itu masuklah secara besar-besaran impor beras dari luar dengan harga lebih murah dari beras hasil petani lokal. BULOG dan pihak swasta kini berlomba untuk mendatangkan beras dari mancanegara. HKTI mencatat bahwa hingga akhir Maret 2000, beras impor yang masuk ke Indonesia mencapai 9,8 juta ton, 6 juta ton diantaranya sudah masuk pasar. Padahal produksi beras dalam negeri sekitar 30 juta ton, sementara kebutuhan nasional diperkirakan mencapai 32 juta ton; sehingga sebenarnya Indonesia hanya membutuhkan impor 2 juta ton. Karena jeritan para petani dan kritik yang berdatangan, akhirnya bea masuk impor dinaikkan menjadi 30%, itupun semula IMF berkeberatan. Akan tetapi ternyata hal ini tetap bukan penghalang bagi importir untuk mengimpor beras dari Thailand, Vietnam dan Australia dengan tetap meraih untung. Harga beras impor dari Thailand misalnya, setelah keluar dari Tanjung Priok dijual Rp 1.600/kg, dan beras dari Australia dijual Rp 1.400/kg; dan tetap masih meraih laba sekitar Rp 600. Meskipun kemudian pemerintah menghentikan impor beras pada Maret 2000, ternyata belum dapat mengangkat harga gabah di tingkat petani. Beras impor terus saja masuk dengan deras. Akibatnya yang parah, adalah harga padi lokal terus merosot tajam, sehingga kini hanya mencapai sekitar Rp 600/kg. Padahal harga pupuk sudah sekitar Rp 700/kg. Inilah awal dimulainya tragedi kehancuran ketahanan pangan Indonesia, bila tidak ada langkah-langkah protektif dengan segera. Petani pedesaan mengalami kebangkrutan dan akan menyebabkan kerawanan ekonomi masyarakat pedesaan yang tak terkira. Dengan liberalisasi pertanian ini, maka akan habislah petani Indonesia dilibas oleh TNC dan importir besar.
4. Penciptaan pasar tanah
Pemerintah (dan BPN) bersama dengan Bank Dunia dan AusAid sedang menjalankan suatu mega-proyek yang disebut sebagai Land Administration Project (LAP). Ini adalah suatu proyek ambisius mengenai deregulasi pertanahan dengan istilah "Land Resource and Management Planning" yang akan berlangsung selama 25 tahun (1995-2020) yang hendak merancang suatu desain perubahan manajemen dan administrasi pertanahan yang tujuan akhirnya adalah terciptanya pasar tanah (land market). Pelaksanaannya dilakukan secara bertahap setiap lima tahun. LAP I (1995-2000) menelan biaya sebesar US$ 140,1 juta, didanai dari anggaran nasional sebesar US$44,9 juta (32%), pinjaman dari Bank Dunia US$ 80 juta (57%) dan sisanya US$ 15,2 juta (11%) adalah grant dari AusAid. Meskipun program ini telah ditentang oleh aktivis, akan tetapi mereka tetap jalan terus. Terakhir LAP II akan kembali dilaksanakan, dan akan mulai memasukkan obyek tanah masyarakat adat, karena sudah adanya pilot proyek sebelumnya yang dijalankan di Sumatera Barat. Rencananya LAP II akan bernilai sebesar US$ 110 juta, yaitu US$ 20 juta dari pemerintah Indonesia dan US$ 90 juta dari pinjaman Bank Dunia. Pelaksanaan LAP I, sebagaimana sudah diduga, telah menimbulkan banyak masalah. Registrasi tanah LAP I yang katanya menggunakan prinsip transparansi, partisipasi dan kontrol masyarakat, ternyata tidak terjadi. Penemuan di lapangan oleh KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria) memperlihatkan adanya peluang bagi petugas untuk korupsi dan menipu warga. Warga juga tidak mengetahui keberadaan LAP sampai petugas BPN datang mengukur tanah mereka. Juga tidak ada standard biaya registrasi. Sebuah kasus di Depok, warga dikenakan biaya Rp 50.000, sementara kwitansi dari BPN hanya tertera Rp 11.500. Bahkan hasil analisis dari Bank Dunia sendiri berjudul "The Social Assessment of the Land Certification Program: The Indonesia Land Administration Project", LAP I mempunyai banyak masalah, diantaranya adalah: proyek tersebut tidak sustainable, karena 62% dari Tim Ajudikasi Tanah telah bubar sesudah proyek selesai. Selain itu di Jawa ada jutaan hektar tanah yang merupakan "residual claims", yaitu tanah yang diambil secara paksa dari rakyat pada zaman Orde Baru. Masalah "residual claims" ini seharusnya diselesaikan terlebih dahulu, sebelum ada proses sertifikasi. LAP I juga mempunyai dampak negatif terhadap kaum perempuan, karena nama-nama perempuan tidak dimasukkan di dalam sertifikat tanah. Sementara itu BPN berkilah mengenai beban hutang. Menurutnya pembayaran utang akibat program LAP ini akan diambil dari pemasukan UU PHTB (Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan), di mana ditentukan setiap transaksi tanah atau bangunan senilai di atas Rp 30 juta sejak Januari 1998 akan dikenai pajak 5%. Dengan demikian, rakyat kembali yang akan dibebankan pembayaran utang. Secara keseluruhan, LAP akan meliberalisasi pertanahan di Indonesia, karena tanah kini dijadikan obyek komoditas (barang dagangan). Dampaknya, tanah akan dijadikan obyek penguasaan pemodal besar dan TNC, dengan legalitas yang dijamin.
5. Penguasaan air minum
Air minum telah dijadikan incaran banyak TNC dunia. Sektor Air disebut juga sebagai "emas biru" (blue gold), merupakan sektor yang strategis sekaligus bisnis besar. Liberalisasi air didorong pula oleh Bank Dunia. Dalam laporannya tentang kerangka kebijakan untuk sektor air di perkotaan (Urban Water Supply Sector Policy Framework), Bank Dunia merekomendasikan agar Perusahaan Air Minum (PAM) Jaya – milik Pemda DKI – diswastakan. Tujuannya untuk meringankan beban utang pemerintah. Dengan itu, Bank Dunia lalu memberikan pinjaman sebesar Rp 2,4 trilyun untuk pengembangan Jakarta, termasuk di dalamnya untuk pembiayaan pengelolaan air minum. Hasilnya tanggal 12 Juni 1994, dikeluarkan instruksi presiden (Suharto) untuk mengalihkan pengelolaan usaha air minum di Jakarta dan sekitarnya kepada swasta (privatisasi) . Proses privatisasi ini melalui proses KKN, di mana akhirnya dikuasai oleh PT Kekarpola Airindo milik Sigit Harjojudanto dan Bambang Trihatmojo yang menggandeng perusahaan air Inggeris, Thames Water International (TWI); dan oleh PT Garuda Dipta Semesta milik Anthony Salim yang menggandeng perusahaan air dari Perancis, Lyonnaise des Eaux (LDE).
Padahal privatisasi ini jelas-jelas melanggar Konstitusi UUD 45 pasal 33 dan UU No. 1 tahun 1961 yang melarang swastanisasi bisnis air minum. Setelah Suharto turun tahta, akhirnya diambil alih oleh Pemda Jakarta lewat instruksi Gubernur Sutiyoso No. 131 tanggal 22 Mei 1998, tetapi dua perusahaan asing tersebut semakin dikukuhkan sebagai pengelola. Dua perusahaan asing tersebut kemudian berganti nama menjadi PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan PT Thames PAM Jaya (TPJ). Pemda DKI mengambil alih dengan saham 10 persen, sementara Thames dan Lyonnaise sebagai pemilik saham mayoritas yaitu 90%. Mereka juga mendapatkan hak eksklusif untuk mengelola seluruh asset PAM Jaya selama 25 tahun, tanpa perlu membangun jaringan infrastruktur dan pelanggan, sehingga bisa langsung menangguk keuntungan. Bayangkan saja captive market (pasar yang sudah pasti) dari PAM Jaya, yaitu 2,3 juta pelanggan. Akan tetapi dalam penetapan harga air untuk semester I tahun 1999, PT TPJ menetapkan harga Rp 2.400 per-meter kubik, dan Palyja Rp 2.900 pe-meter kubik. Padahal harga jual air PAM Jaya ke konsumen jauh di bawah itu, yakni Rp 2.130 per-meter kubik. Hasilnya, kekurangan tersebut harus ditutupi oleh perusahaan daerah ini. Sampai Oktober 2000, defisit yang harus ditanggung pemerintah adalah sebesar Rp 86,4 milyar dengan beban utang Rp 394,6 milyar. Jadi alhasil sebenarnya pemerintah mensubsidi rakyat atau mensubsidi TNC? Dan siapa yang membayar semua itu? Sampai kini pun layanan dan harga air tetap tidak memuaskan. Akan tetapi PAM kini tidak bisa berbuat apa-apa, karena sudah terikat kontrak selama 25 tahun. Serikat Pekerja PAM yang juga telah berjuang untuk menentang proses ini, justru 20 aktivisnya ditahan dan terus-menerus ditekan. Meskipun sudah berjuang lebih dari dua tahun, nampaknya TNC dan pemerintah jalan terus. Nampaknya proses privatisasi ini akan menjadi contoh bagi privatisasi air minum berikutnya di daerah-daerah lain.
6. Mafia Utang lewat Kredit Ekspor
Fasilitas kredit ekspor disediakan oleh ECA (Export Credit Agencies and Investment Insurance Agencies), yang merupakan badan milik pemerintah di negara-negara maju. Perannya adalah merealisasikan berbagai proyek investasi dan infrastruktur berskala besar di negara-negara berkembang. Badan ini memberikan asuransi risiko politik apabila ada "jaminan balik" (counter guarantee) dari pemerintah Indonesia. Pemerintah diwajibkan untuk menjamin keamanan politik dan membayar kembali investasi yang sudah dikeluarkan apabila proyek gagal akibat situasi politik. Meskipun merupakan proyek antar swasta, tetapi karena dijamin oleh pemerintah, maka risiko hutang swasta bisa menjadi hutang pemerintah. Cara kerja ECA ini mirip mafia, karena di negara asalnya tidak dapat dikontrol parlemen, tidak transparan, dan tidak membuka informasi kepada publik mengenai proyek-proyeknya. Sementara di Indonesia, mega proyek yang didanainya, adalah proyek-proyek berbiaya tinggi yang penuh dengan KKN. Di Indonesia proyek-proyek yang dibiayainya sebanyak 33 buah, yang biasanya merupakan mega-proyek milik konglomerat, kroni dan anak-anak Suharto. Diantaranya adalah berbagai pabrik pulp and paper, yaitu PT Tanjung Enim Lestari, PT Indah Kiat Pulp and Paper di Sumatera Selatan, dan PT Riau Andalan Permai di Riau; tambang tembaga dan emas PT Newmont Nusa Tenggara di Sumbawa; proyek PLTGU Paiton I di Jawa Timur; serta berbagai proyek semen, teknologi satelit, serta teknologi dan transport militer. Dalam kenyataannya, semua mega-proyek ini bermasalah karena mark-up proyek dan korupsi besar-besaran; serta membawa bencana, karena merusak lingkungan, menggusur rakyat dan menambah beban hutang. Pada masa Suharto, dari tahun 1992-1996, hutang dari ECA sebanyak US$ 28,2 milyar, atau 24% dari stok hutang Indonesia.Tiga besar ECA yang aktif di Indonesia adalah Bank Exim Jepang (JEXIM, sekarang merger dengan OECF menjadi JBIC), Bank Exim AS, dan Hermes dari Jerman. JBIC (Japan Bank for International Cooperation) kini adalah ECA terbesar di dunia, yang juga mengelola proyek-proyek pinjaman bilateral pemerintah Jepang. JBIC mendanai 10 proyek besar di Indonesia, yaitu PLTGU Paiton, Tambang Batu Hijau, LNG Pertamina, Semen Indo-Kodeco, penyulingan minyak Pertamina, Indocement, proyek listrik Jawa dan Jawa Barat, listrik Tambak Lorok, Tanjung Enim Lestari pulp and paper, dan tambang INCO. ECA kini cenderung semakin menggantikan mekanisme ODA (Overseas Development Assistance), karena besarnya kepentingan TNC-TNC di negara maju untuk mengerjakan berbagai mega-proyek infrastruktur lewat pembiayaan bilateral maupun multilateral. ECA juga aman bagi TNC, karena akan digaransi oleh pemerintah. Artinya rakyat juga yang harus membayar hutangnya.
7. Penjarahan kekayaan intelektual masyarakat/komunitas
Perjanjian TRIPs (Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights), salah satu perjanjian di dalam WTO, telah diratifikasi oleh pemerintah. Ini adalah perjanjian HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual) terkait perdagangan, yang memberikan hak istimewa bagi individu atau perusahaan atas karya ciptanya, dalam bentuk Paten, Merk, dan Hak Cipta; juga untuk Sirkuit Terpadu, Rahasia Dagang, dan Indikasi Geografis. Indonesia telah membuat 5 UU HAKI sebagaimana di atas, karena harus bersesuaian dengan TRIPs. Dengan UU Paten, maka berbagai barang temuan dapat dikuasai siapa saja yang mendaftarkannya terlebih dahulu. Syaratnya adalah merupakan temuan baru, mengandung langkah inovatif, dan dapat diterapkan dalam industri (produksi massal). Paten atas makhluk hidup, yaitu mikro-organisme dan jasad renik juga dapat dipatenkan. Ini adalah kepentingan TNC bioteknologi yang telah memantenkan berbagai benih dan tanaman hasil rekayasa genetik. Dengan TRIPs ini maka akan terjadi bahaya besar lewat pematenan atas kekayaan intelektual milik publik /komunitas. HAKI komunitas dapat saja dirampok oleh perusahaan-perusaha an asing maupun para peneliti/individu, dengan sekedar merubah proses dan produknya. Ini disebut sebagai bio-piracy (pembajakan hayati). Hal ini telah terjadi dengan rempah-rempah Indonesia. Perusahaan kosmetik besar Jepang, Shiseido, telah mematenkan kosmetiknya yang berasal dari berbagai bahan rempah di Indonesia, seperti kayu rapet, kemukus, lempuyang, pelantas, pulowaras, diluwih, cabe jawa, brotowali, kayu legi, dan bunga cangkok. Sementara itu Tempe, makanan tradisional Jawa, juga telah dipatenkan. Tercatat ada 19 paten tentang tempe, di mana 13 buah paten adalah milik AS, yaitu: 8 paten dimiliki oleh Z-L Limited Partnership; 2 paten oleh Gyorgy mengenai minyak tempe; 2 paten oleh Pfaff mengenai alat inkubator dan cara membuat bahan makanan; dan 1 paten oleh Yueh mengenai pembuatan makanan ringan dengan campuran tempe. Sedangkan 6 buah milik Jepang adalah 4 paten mengenai pembuatan tempe; 1 paten mengenai antioksidan; dan 1 paten mengenai kosmetik menggunakan bahan tempe yang diisolasi. Paten lain untuk Jepang, disebut Tempeh, temuan Nishi dan Inoue (Riken Vitamin Co. Ltd) diberikan pada 10 Juli 1986. Tempe tersebut terbuat dari limbah susu kedelai dicampur tepung kedele, tepung terigu, tepung beras, tepung jagung, dekstrin, Na-kaseinat dan putih telur. Demikian pula kasus pematenan disain kerajinan perak hasil kerja Suwarti di Bali, oleh pengusaha asal AS. Justru kemudian Suwarti yang dituntut oleh pengusaha tersebut, ketika dia masuk ke pasar Amerika. Suwarti tidak bisa berbuat apa-apa, karena biaya peradilan HAKI sangat mahal untuk pengrajin seperti dirinya. Ini adalah kasus nyata pembajakan HAKI komunitas Indonesia oleh pemodal besar. Kecenderungan ini akan semakin meningkat. Padahal bagi orang Indonesia, berbagai kekayaan budaya itu tidak mungkin dipatenkan, karena merupakan milik publik. Dalam kasus lain, paten atas benih dan tanaman transgenik oleh TNC, akan mengancam keberlangsungan benih tradisional dan kelestarian tanaman. Petani akan semakin tergantung kepada benih-benih milik TNC. Di lain pihak, TNC tersebut akan masuk langsung untuk menanamnya di negara bersangkutan, sebagaimana yang terjadi dengan kasus Monsanto yang menanam kapas Bt di Sulawesi Selatan. Pertanian lama-kelamaan akan menjadi lahan bisnis dan monopoli (paten) teknologi oleh TNC-TNC.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar