GLOBALISASI UTANG
Mekanisme globalisasi yang juga merupakan bentuk kolonialisme baru adalah utang. Utang pada dasarnya bukanlah sebuah kedermawanan atau bantuan negara maju kepada negara berkembang. Kebalikannya, utang merupakan bagian utama dari kolonialisme baru. Semenjak 1950-an, sudah disadari bahwa utang merupakan instrumen bagi pendiktean kepentingan negara-negara Barat kepada negara kiskin peminjamnya. Meskipun dalihnya adalah bunga lunak yang meringankan, kenyataannya nilai politisnya jauh lebih besar. Jadi nilai dominasi negara maju untuk mendikte apa yang boleh dan apa yang tidak, atau kebijakan apa yang baik dan apa yang buruk bagi mereka, merupakan dasar dari strategi pembangunanisme yang salah kaprah. Utang merupakan alat ampuh hegemoni negara Barat atas klien-kliennya, sehingga posisi negara-negara miskin tersebut ada di bawah (disubordinasi) . Utang telah memainkan peran yang luar biasa dalam menjaga suatu negara tunduk pada orbit kapitalisme Barat. Utang juga menguntungkan, karena tingkat pengembaliannya lebih pasti ketimbang utang komersial, karena dijamin negara. Negara pasti membayar. Utang adalah bisnis yang stabil. Dan makin lama jangka waktu peminjamannya, maka semakin menguntungkan, karena berarti pokok dan bunganya akan berlipat-lipat dalam jangka waktu lama. Dalih bahwa bunga utang dari Bank Dunia dan IMF sangat ringan, juga menyesatkan. Saat ini bunga utang komersial di tingkat domestic negara-negara Barat juga kecil, berkisar antara 2-5%; bahkan di Jepang pernah bunga utang bank komersial sampai minus. Jadi dengan memberikan utang kepada negara-negara berkembang, mereka sebenarnya diuntungkan. Mereka memang harus mencari pasar di luar, karena pasar domestik mereka stagnan. Apalagi dana pensiun dan dana-dana yang parkir dari orang-orang kaya negara berkembang tidak bisa diserap oleh mereka, sehingga mereka harus mencari peminjam di luar negeri mereka. Utang juga menghidupkan perekonomian mereka sendiri, karena berarti terbuka luas order untuk perusahaan-perusaha an di negara maju. Ini karena utang tidak berbentuk tunai dan juga tidak bebas digunakan. Utang adalah in-natura (barang) dan mengikat (tied-aid) dalam arti penggunaannya harus sesuai dengan kepentingan si pemberi pinjaman. Ini berarti supplier-nya harus dari Negara pemberi utang, barang-barangnya juga sama, harus dibeli dari negeri si pemberi utang. Begitu pula dengan konsultan-konsultan nya, harus dari mereka juga. Jadi utang pada dasarnya memberi penghidupan kepada mereka sendiri. Yang disebut sebagai bantuan atau grant jumlahnya sangat kecil, dan hanya dipakai sebagai "pancingan" atau gula-gula pemikat untuk proyek utang yang lebih besar. Grant juga dipakai untuk memastikan bahwa si penghutang betul-betul akan membayar utangnya. Utang juga tutup mata mengenai korupsi, yang penting "business must go on". Jadi pada dasarnya korupsi direstui, karena mereka terus saja mengucurkan utang, meskipun tahu bahwa setiap tahun uang pinjaman tersebut bocor. Utang
dengan demikian adalah sebuah bisnis kotor, dan juga kepanjangan bagi kolonialisme baru.
Contohnya adalah mengenai dana pinjaman yang diorganisir IMF sebesar US$ 43 milyar, disebutkan sebagian besar akan digunakan untuk membiayai deficit perkiraan berjalan dalam neraca pembayaran. Ini artinya, menurut Sritua Arief, sebagian besar akan digunakan untuk membiayai kepentingan asing dalam impor, repatriasi keuntungan investasi asing, bunga hutang luar negeri, dan jasa-jasa asing lainnya. Jadi utang ini kembali dinikmati oleh pihak asing dan bebannya ditanggung rakyat Indonesia. Ini sama dengan penggunaan pinjaman dari ADB untuk Indonesia sebesar US$ 1,5 milyar, di mana sebesar US$ 1,4 milyar harus digunakan untuk impor. Kata Sritua, "Sungguh ketololan luar biasa jikalau pemerintah Indonesia mengucapkan `matur nuwun' atau `hatur nuhun' kepada IMF". Demikian pula keadaan yang sama berlaku untuk pinjaman CGI. Adalah naif pernyataan yang menyatakan bahwa seluruh pinjaman akan masuk menjadi penerimaan dalam APBN dan akan dikonversikan ke Rupiah sehingga Rupiah membanjir. Sebagaimana diketahui ada tiga komponen pokok dalam pinjaman CGI, yaitu pinjaman program, technical assistance dan pinjaman untuk memperkuat cadangan devisa. Pinjaman program terdiri dari nilai barang-barang keperluan proyek yang diimpor dari Negara kreditor, di mana nilai sebenarnya kita tidak tahu. Technical assistance adalah nilai jasa-jasa asing, yaitu para konsultan asing yang bergentayangan di Indonesia dan pembayaran atas jasa-jasa para birokrat asing yang mengelola pinjaman. Sedangkan pinjaman untuk memperkuat cadangan devisa masuk menjadi cadangan pinjaman (borrowed reserve) di Bank Indonesia dan terbenam di sana. Arti ini semua, katanya, adalah Indonesia kembali di bawah kekuasaan asing! Contoh lain adalah program bail-out (penalangan) utang swasta yang diambil-alih oleh pemerintah, seperti dengan obligasi rekap hasil dari BLBI kepada para konglomerat Indonesia, yang akhirnya berbuah pada utang domestik Indonesia yang menggelembung hingga mencapai Rp 600 trilyun sekarang ini. Bayangkan dahsyatnya utang ini. Pada tahun 2038, menurut scenario yang telah diteliti BPPN, maka utang Indonesia akan membengkak menjadi Rp 13.000 trilyun! Ini angka fantastis luar biasa, yang bukan pendapatan, tetapi utang. Jadi Indonesia sudah pasti nanti suatu waktu akan bangkrut karena tidak mampu bayar utang dalam negerinya sendiri. Tetapi siapa yang bertanggungjawab? Tidak lain adalah IMF. Mengapa? Karena IMF-lah yang memaksakan diadakannya kebijakan bail-out tersebut. Kebijakan bail-out ini adalah resep generic yang dipaksakan IMF dimana-mana, mulai dari Mexico dan Argentina, sampai Korea dan Thailand. Untuk apa? Untuk membayar utang ke kreditor, yaitu para perbankan asing, lembaga-lembaga keuangan internasional dan negara-negara kreditor. Sedangkan ini berarti beban dialihkan ke rakyat, mereka tidak mau tahu. Pokoknya piutang mereka selamat. Bisnis mereka tidak terganggu. Inilah inti dari krisis ekonomi sekarang. Bukan problem insolvency (ketidakmampuan membayar), tetapi problem likuiditas (keuangan).
Utang membengkak karena anarkisme pasar, yaitu volatilitas pasar uang. Utang jangka pendek tiba-tiba membengkak sehingga tidak mampu dibayar, karena kurs uang mudah digoyang dan dijadikan ajang spekulasi mengeruk keuntungan. Hal ini didiamkan saja oleh otoritas keuangan dunia, yaitu IMF, bahkan dijaga ketat agar para pemodal tetap bisa mengeruk keuntungan sebesar-besarnya, dengan korban perekonomian kecil-kecil di negara berkembang. IMF memaksakan 0bligasi rekap, memaksakan BLBI, memaksakan adanya BPPN; yang kesemuanya untuk melayani dipastikannya membayar utang saja. Sungguh ironis! Privatisasi dilakukan agar mampu membayar utang, bukan untuk menciptakan kesejahteraan. Semua hal dilakukan untuk bayar utang luar negeri dan dalam negeri, tidak lagi untuk pembangunan. Dan pemerintah kita tetap seperti budak hamba sahaya, yang sudah babak belur, masih setia pada tuannya dan tetap menganggap harus terus dengan tuannya itu karena merasa hidupnya bisa selamat. Kezaliman luar biasa bila skenario utang Rp 13.000 trilyun itu didiamkan saja, dan masih saja mau ikut dengan skema IMF itu. Jangan heran, bila tidak lama lagi Indonesia akan default, akan bangkrut, karena tidak mampu membayar, persis sama seperti Mexico atau Argentina; dan setelah itu kita akan menggadaikan negeri ini pada ekonomi asing.
F. GLOBALISASI PRIVATISASI
Bentuk nyata Globalisasi adalah privatisasi. Privatisasi atau swastanisasi secara umum berarti pengalihan BUMN kepada perusahaan swasta. Akan tetapi kini arti privatisasi lebih luas dari sekedar penjualan asset publik lewat lelang publik atau penjualan langsung, yaitu termasuk juga berbagai cara lain, seperti pemberian sub-kontrak dan konsesi dari jasa pemerintah; perjanjian lisensi; kontrak manajemen; perjanjian penyewaan usaha, peralatan atau asset; penjanjian usaha patungan (joint-venture) ; serta skema BOT (Build-Operate- Transfer) . Privatisasi baru berkembang pesat dalam 15 tahun terakhir ini, khususnya setelah Bank Dunia menjalankan program penyesuaian sruktural (structural adjustment) dan setelah IMF menjalankan program poverty reduction and growth facility (PRGF) di tahun 1980-an. Kedua lembaga ini menekankan kepada liberalisasi perdagangan, pengurangan defisit anggaran, dan memperbaiki kemampuan pemerintah dalam membayar utang-utangnya. Dari sinilah privatisasi dijadikan sebagai pilihan strategi global; dan sejak itu dijalankan oleh berbagai negara berkembang, khususnya yang menderita ketidakseimbangan ekonomi makro dan terlilit hutang. IMF secara instrumental menerapkannya melalui Letter of Intent, sementara Bank Dunia menyediakan pinjaman khusus untuk proyek-proyek privatisasi lewat asistensi teknis dan finansial.
Privatisasi dalam kenyataannya bukan sekedar mengatasi masalah fiskal, tetapi adalah komponen utama dari sebuah paradigma governance baru, yang disebut neo-liberal: yaitu tuntutan akan efisiensi dan efektivitas pemerintahan yang
saat ini dianggap berada di bawah standard dan mengalami tekanan anggaran.
Privatisasi adalah paradigma korporatis, berorientasi ke pasar, mencari keuntungan, dan meminimalkan peran negara dalam perekonomian. Dalam prakteknya, privatisasi adalah penjualan asset-asset pemerintah secara murah kepada pihak swasta, bahkan asset yang termasuk hajat hidup publik, seperti air, listrik, jalan raya dan lain-lain. Dalam periode antara tahun1988-1995 penerimaan pemerintah negara berkembang dari penjualan perusahaan-perusaha an Negara berjumlah US$ 132 milyar, yang berasal dari pengalihan kontrol atas 3.800 perusahaan dari tangan pemerintah kepada swasta. Pada periode yang sama pula terjadi kenaikan jumlah negara yang menjalankan privatisasi, dari 14 negara menjadi 60 negara. Laporan Bank Dunia menyebutkan bahwa pada awal 1990-an saja sudah ada 80 negara yang disebut "launched ambitious efforts to privatise their state owned companies", dengan nilai penjualan mencapai US$ 185 milyar pada tahun 1990. Di Amerika Latin, privatisasi sektor infrastruktur didominasi oleh perusahaan penyedia jasa telekomunikasi, energi, transportasi dan pengairan.
Sedangkan di Asia Tengah dan Eropa Timur, pelepasan kontrol pemerintah banyak terjadi di sektor industri manufaktur, seperti baja dan kimia. Hal lainnya yang terkait, adalah privatisasi mendorong perusahaan-perusaha n tersebut untuk merampingkan strukturnya melalui pengurangan staf dan pekerja secara tajam.
Bagi Indonesia privatisasi sudah dijalankan sejak jaman Suharto, yaitu dengan alasan bagi pengikutsertaan pihak swasta di berbagai bidang usaha dalam pengembangan infrastruktur untuk kepentingan umum. Dalam kenyataannya privatisasi tersebut dimaksud untuk memfasilitasi penguasaan ekonomi kepada para
Konglomerat kroni-kroni Suharto dan kepada perusahaan-perusahaan milik Cendana (keluarga Suharto). Di tahun 1980-an dimulai penerbitan beberapa UU, PP dan Keppres, yaitu: UU No. 15 tahun 1985 tentang ketenagalistrikan; Keppres No. 15 tahun 1987 tentang Jalan Tol; UU No. 3 tahun 1989 tentang Telekomunikasi; UU No. 13 tahun 1992 tentang Perkeretaapian; UU No. 14 tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; UU No. 15 tahun 1992 tentang Penerbangan; dan UU No. 21 tahun 1992 tentang Pelayaran. Intinya peraturan-peraturan tersebut memungkinkan perusahaan-perusaha an swasta ikut serta dalam penyelenggaraan jasa di berbagai bidang usaha. Selanjutnya peran swasta asing didorong lebih lanjut lewat PP No. 20 tahun 1994 tentang Pemilikan Saham dalam Perusahaan yang Didirikan Dalam Rangka PMA. Dengan berbagai peraturan yang memudahkan privatisasi tersebut, maka sejak itu berbagai BUMN strategis mulai dikuasai perusahaan asing, seperti dalam kasus Paiton dengan PLN, Palyja dan Thames Jaya dengan PDAM, Cemex dengan Semen Gresik, dan Grosbeak dengan JICT. Ternyata privatisasi tersebut menyebabkan banyak kasus sengketa/ perselisihan antara pihak pemerintah atau Serikat Pekerja di BUMN dengan pihak asing. Demikian pula sejak adanya reformasi, terkuak banyaknya praktek KKN dalam privatisasi tersebut. Oleh karenanya di tahun 1998 dikeluarkan Keppres No. 72 tahun 1998 tentang Tim Evaluasi Privatisasi BUMN dengan mencabut Keppres No. 55 tahun 1996 tentang Tim Privatisasi BUMN. Akan tetapi hasil kerja Tim Evaluasi tersebut tidak pernah terdengar.
Akibat krisis ekonomi 1997 yang terus berlanjut, maka Indonesia sudah terjebak hutang dan mengalami krisis utang. Kini berdasarkan conditionalities yang diterapkan oleh Bank Dunia, ADB dan IMF, maka pemerintah diminta untuk menjual 144 BUMN-nya. Privatisasi BUMN masuk di dalam persyaratan pinjaman yang dituntut oleh IMF untuk memulihkan perekonomian Indonesia sebagaimana dituangkan dalam Letter of Intent. Privatisasi di sini diartikan sebagai proses swastanisasi BUMN, di mana pemilikan sahamnya sebagian besar dikuasai oleh swasta atau pengelolaan operasionalnya dilakukan dengan cara kerjasama antara pemerintah dengan investor swasta. Dalam LoI IMF tanggal 15 Januari 1998 butir no. 5 disebutkan bahwa "… the 49 percent limit on foreign holdings of listed shares was abolished". Menyangkut privatisasi perbankan, dalam butir no. 26 disebutkan:
"With technical assistance from the World Bank, the government has also taken steps to resolve the problems of the state banks and ensure their safety and soundness. The aim of this program is to improve their efficiency and subsequently privatise them…The state banks will not be recapitalised except in conjunction with privatisation. " Sementara poin no. 27 dituntut: "In support of the ultimate goal of full privatisation of all state banks, the government will introduce legislation by the end-June 1998 to amend the Banking law in order to remove the limit on private ownership". Dalam hal sektor listrik, LoI IMF tanggal 14 Mei 1999 butir 37 disebutkan: "the government is overseeing PLN's restructuring effort. A working group of senior government and PLN officials is defining the framework of principles within which PLN conducts the renegotiations of contracts with independent power producers (IPPs) and to ensure that fair, well-structured, and transparent procedures are followed.However, all negotiations with the IPPs are being conducted by PLN on a commercial basis, without direct government involvement" .
Tuntutan dari IMF, Bank Dunia dan ADB tersebut pada akhirnya melahirkan Keppres No. 96 tahun 2000. Dalam Keppres tersebut ditetapkan daftar bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan patungan antara modal asing dan modal dalam negeri, di mana dibagi ke dalam dua kelompok: (a) kepemilikan saham warga negara / Badan Hukum Asing maksimal sebesar 95%; dan (b) kepemilikan saham warga negara / Badan Hukum Asing maksimal sebesar 45%.
Dari daftar itu, hanya tinggal dua bidang usaha yang masih terlindungi dalam arti saham asing dibatasi maksimal 45%, yaitu bidang usaha telekomunikasi dan angkutan udara niaga berjadwal/tidak berjadwal. Bidang-bidang lain sudah terbuka untuk dikuasai badan asing, meskipun itu menyangkut bidang yang menguasai hajat hidup orang banyak sekalipun. Keppres no. 96 tahun 2000 ini adalah dasar dari dijalankannya privatisasi BUMN di Indonesia saat ini. Peraturan terakhir ini dengan sendirinya telah menabrak UUD 1945 pasal 33 yang dalam penjelasannya menyebutkan: "Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh ada di tangan orang-seorang" . Demikian pula dalam UU no. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) tetap jelas dinyatakan bidang-bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal asing secara penguasaan penuh, yaitu bidang-bidang yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Menurut pasal 6 UU PMA tersebut adalah sebagai berikut: (1) pelabuhan-pelabuhan ; (2) produksi, transmisi dan distribusi tenaga listrik untuk umum; (3) telekomunikasi; (4) pelayaran; (5) penerbangan; (6) air minum; (7) kereta api umum; (8) pembangkit tenaga atom; (9) media massa; (10) dan bidang-bidang yang meduduki peranan penting dalam pertahanan negara antara lain produksi senjata, mesiu, alat-alat peledak dan peralatan perang dilarang sama sekali bagi modal asing.
Dalam perkembangannya, pemerintahan Megawati kembali membentuk Kementerian Pendayagunaan BUMN, dengan target-target sebagaimana yang dikehendaki di dalam LoI IMF tanggal 27 Agustus 2001 pada butir 6, yaitu "Pemerintah berupaya melaksanakan program privatisasi yang telah disusun dengan persetujuan DPR. Program privatisasi tahun 2001 telah dipublikasikan 6 Agustus 2001 dan diharapkan menghasilkan Rp 6,5 trilyun. Pemerintah akan memusatkan privatisasi pada perusahaan di bidang telekomunikasi, industri, transportasi, dan pertanian". Nyatanya program privatisasi tahun 2001 kembali nihil. Ini tidak
lepas dari adanya tentangan di masyarakat, baik itu yang berasal dari kalangan status-quo yang merasa terancam posisinya, kalangan pekerja yang terancam dengan PHK, kalangan masyarakat daerah yang merasa asset BUMN-nya bisa hilang, kalangan ornop yang selalu menyuarakan penentangannya terhadap ide privatisasi dan berbagai kalangan lain di masyarakat. Ini merupakan kekuatan beragam di masyarakat yang tidak menghendaki adanya privatisasi.
G. GLOBALISASI PERDAGANGAN
Isu-isu perdagangan global akhir-akhir ini semakin menonjol, terutama setelah Konferensi WTO ke-III di Seattle tahun 1999. Kenyataannya, perdagangan yang diatur oleh GATT (General Agreement on Trade and Tariffs) dengan yang sekarang diatur oleh WTO (World Trade Organization) mengalami perubahan luar biasa. Perdagangan yang diatur oleh WTO sejak berdirinya, 1994, merambah ke bidang-bidang non-perdagangan. Ini dapat dilihat dari adanya TRIPs (Trade Related Aspect of Intellectual Property's Rights), TRIMS (Trade Related Investment Measures), AOA (Agreement on Agriculture) maupun New Issues yang sejak Konferensi WTO I di Singapura, terus menerus coba dipaksakan oleh Negara maju, yaitu Government Procurement (Belanja Pemerintah), Investasi, Competition Policy (Kebijakan Persaingan), Lingkungan Hidup dan Perburuhan. Dengan melebarnya lingkup kerja WTO, ditambah dengan kekuatan legal binding dari agreements yang dihasilkannya, membuat WTO menjadi lembaga dunia yang sangat berkuasa. Para anggota WTO kini harus tunduk sepenuhnya pada agreements tersebut yang intinya membuat mereka harus meliberalisasikan perekonomiannya secara terjadual, disiplin, mengikat, progresif dan total. Ini membuat ekonomi Negara berkembang harus menyerahkan sepenuhnya kegiatan ekonominya kepada mekanisme pasar bebas dan liberalisme ekonomi. Tidak ada lagi kebebasan dan kemandirian untuk merancang dan menyusun sendiri model perekonomiannya yang cocok dengan situasi dan kondisi negaranya masing-masing. Di lain pihak, berbagai implementasi agreements tersebut kenyataannya lebih banyak merugikan Negara berkembang dan sementara itu sangat sulit untuk diterapkan. Ini akan memposisikan mereka dalam keadaan kalah dan lemah dalam menghadapi perekonomian negara maju. Hal ini nampak dari ketidakpuasan para delegasi negara berkembang di dalam Konferensi WTO III di Seattle tahun 1999 dan Konferensi WTO IV di Doha, Qatar tahun 2001 yang lalu. Perundingan- perundingan yang terus berlangsung hingga kini, nampaknya tidak membawa banyak kemajuan. Apa yang terjadi di WTO telah membawa kepada dimensi internasional baru, yaitu kesadaran akan ketimpangan dan ketidakadilan di WTO. Kekritisan orang terhadap WTO kini mulai terbuka, berkat perlawanan terus menerus masyarakat sipil internasional terhadap WTO dan terhadap agen-agen globalisasi lainnya. WTO adalah bukan sekedar masalah perdagangan global, melainkan masalah power dan dominasi negara maju ke negara berkembang. Implementasi WTO menggambarkan adanya ketidak-adilan dan ketimpangan yang semakin lebar antara negara-negara maju dengan negara-negara berkembang dan miskin (LDC). Negara berkembang meminta adanya tinjauan atas implementasi yang ada, sehingga di dapat kesimpulan bagi pembenahan-pembenah an. Akan tetapi hal tersebut selalu ditolak oleh negara-negara maju. Implementasi yang terjadi bahkan menunjukkan kecurangan-kecurang an dari negara maju. Hal ini nampak dalam berbagai negosiasi, klausul dan aturan-aturan yang pada kenyataannya hanya menguntungkan negara maju dan memberi jalan bagi kepentingan bisnis dan korporasi-korporasi raksasa di negara maju. Berbagai manuver dan move terus menerus diupayakan negara maju yang semakin mengarah pada ketidak-seimbangan luar biasa dan gap disparitas yang semakin melebar. Disamping mendesakkan usulan New Round, negara maju dalam kenyataannya telah mengambil keuntungan lebih banyak dari implementasi yang ada. Ini dapat
ditunjukkan dari adanya Special and Differential Treatment (S&D) yang seolah-olah merupakan keuntungan utama yang diberikan oleh negara maju dan WTO kepada negara berkembang. Seperti terlihat dalam nominal pengurangan yang lebih kecil atau periode implementasi yang lebih panjang. Akan tetapi realitasnya adalah kebalikannya. Meskipun schedules dianggap sebagai S&D, namun kenyataannya hanya bernilai tidak seberapa bagi negara berkembang, terutama dalam dukungan domestik dan subsidi ekspor, karena pilihan pembiayaan pemerintah sangatlah terbatas. Karenanya S&D pada dasarnya bekerja untuk keuntungan negara maju. Contohnya bisa dilihat di dalam AOA, di mana negara maju memberikan subsidi ekspor sebesar lebih dari 90% dan subsidi domestik juga sebesar 90% (di Box yang manapun). Rata-rata applied tariff negara maju untuk produk pertanian pokok (cereal, daging, produk ternak) setidaknya dua kali dari tarif yang ditetapkan negara berkembang (sekitar 40% dibanding 20%). Sampai sekarang negara-negara maju tetap saja menikmati subsidi secara terbuka, berkat pengecualian dalam Blue Box dan Green Box. Dalam prakteknya, maka hamper tidak ada batasan sampai seberapa besar tingkat dukungan domestik diberikan, meskipun ada komitmen pengurangan AOA. Contohnya subsidi ke produsen pertanian di negara-negara OECD berkisar 40% dari pendapatan pertanian tahun 1999, ini sama dengan persentase di pertengahan tahun 1980an. Bahkan di Jepang, Korea Selatan, Norwegia dan Swiss, angkanya sekitar 2/3. Total dukungan OECD ke pertanian di tahun 1999 adalah US$ 360 milyar, di mana 90%nya terjadi di UE, AS dan Jepang. Bandingkan dengan seluruh ekspor pertanian dari negara berkembang yang sekitar US$ 170 milyar. Bandingkan pula dengan perkiraan FAO, bahwa untuk memenuhi sasaran World Food Summit tahun 1996 bagi separuh penduduk yang kelaparan di dunia sampai tahun 2015, maka diperlukan investasi pertanian tahunan total sebesar US$ 180 milyar! Di lain pihak posisi negara berkembang semakin tersudutkan dan berada di pihak yang dirugikan. Misalnya dalam hal implementasi perjanjian tekstil dan pakaian (ATC), sangat mengecewakan. Hanya sedikit sekali tekstil yang diekspor oleh negara berkembang dikeluarkan dari daftar kuota. Menurut Textiles and Clothing Bureau pada Juni 2000, hanya sejumlah kecil restriksi kuota yang dihapus, yaitu di AS 13 dari 750 item, di UE 14 dari 219 item, dan di Kanada 29 dari 295 item. Selain itu mandat yang seharusnya dilaksanakan dalam Agreement on Textiles and Clothing berjalan sangat lamban, dan negara maju terus menerus mencoba menunda pelaksanaannya. Sementara itu pelaksanaan TRIPs telah banyak membawa bencana dan ancaman terhadap kehidupan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat Negara berkembang. TRIPs nampaknya dibuat hanya untuk kepentingan monopoli teknologi dan HAKI perusahaan-perusaha an transnasional raksasa, dan sebenarnya mendistorsi perdagangan. Dengan berlakunya TRIPs sejak 1 Januari 2000, dan dengan itu harmonisasi regulasi yang dipaksakan, maka TRIPs menjadi ancaman nyata bagi perlindungan keanekaragaman hayati, akses obat bagi masyarakat, akses teknologi, akses bibit pertanian, dan lain-lainnya yang berjangkauan luas. Demikian pula pelaksanaan TRIMS dengan sendirinya telah membatasi pilihan-pilihan pembangunan dan industrialisasi yang mungkin bagi negara berkembang. TRIMS mematikan industri kecil dan menengah karena pembatasan local content, mematikan tumbuhnya infant industry, dan mematikan kesempatan akan fair trade dan keberpihakan kepada pengusaha kecil dan lemah. Dalam hal pertanian yang merupakan sektor strategis, negara-negara berkembang hanya punya sedikit atau tidak sama sekali memberikan dukungannya kepada petani. Bahkan seringkali sektor pertanian dikorbankan (atau ditarik pajak) ketimbang mendapat subsidi. Bahkan harga pangan ditekan rendah untuk mensubsidi sector industri dan penduduk kota. Data menunjukkan 61 dari 71 negara berkembang di tahun 1996 telah menotifikasi untuk tidak menyediakan dukungan domestik, sebagaimana tercantum di dalam Amber Box. Hanya 13 dari 71 negara berkembang yang menotifikasi adanya penyediaan dukungan investasi dan input sebagaimana pasal 6.2 AOA. Dan di 13 negara ini, tingkat dukungannya hanya antara 0-5 persen dari produksi pertanian mereka. Demikian pula negara berkembang, hanya terseret-seret saja di dalam upaya meliberalisasikan pertaniannya. Indonesia yang menjadi anggota Cairns Group nyatanya bukanlah negara eksportir pertanian. Hal ini bisa menjadi fatal akibatnya bagi Indonesia bila harus menjalankan liberalisasi pertanian, sebagaimana tuntutan Cairns Group. Dengan ada di dalam Cairns Group, maka Indonesia sebenarnya diperalat saja oleh negara-negara eksportir pertanian besar, terutama Australia sebagai pemimpin Cairns Group. Banyaknya protes petani ke Istana dan Depperindag, dikarenakan derasnya import komoditas pertanian dari luar, seperti pada kasus petani beras dan petani gula. Ini sebenarnya memperlihatkan kecenderungan dari terus menurunnya kemampuan pertanian Indonesia menghadapi globalisasi. Hal ini ditunjukkan juga oleh posisi neraca perdagangan sektor pertanian yang terus menerus negatif sejak bergabungnya Indonesia di WTO. Data sejak 1996 hingga sekarang menunjukkan bahwa untuk tanaman pangan seperti beras, jagung, gandum, kacang tanah, nilai impornya lebih besar daripada ekspor. Hal ini juga terjadi di sektor peternakan, di mana terjadi neraca negatif atas daging segar dan beku, ternak hidup, serta susu dan produk susu. Di lain pihak kebijakan pertanian Indonesia tidak pernah mengantisipasi dampak buruk yang akan terjadi. Pemerintah masih pro kepada kebijakan agribisnis (yang berarti tidak berpihak kepada petani kecil yang mayoritas) dan tetap menjalankan liberalisasi pertanian, yaitu menyerahkan pertanian kepada mekanisme pasar. Semua-muanya diserahkan kepada pasar bebas, termasuk pengerdilan BULOG sebagai badan pengendali harga dan munculnya dominasi pelaku-pelaku pasar bebas, seperti pedagang dan importir sebagai pengambil keuntungan utama. Dewan Ketahanan Pangan yang dibentuk, juga bersifat pro-pasar dan hanya memperlakukan ketahanan pangan sebagai proyek tambal sulam. Ini Nampak dari Kredit Ketahanan Pangan yang juga mengikuti ketentuan bunga komersial. Sementara itu petani Indonesia terus terpuruk dan akan bangkrut karena menghadapi impor pertanian dari luar yang serba murah dan lebih berkualitas. Globalisasi pertanian nyatanya hanya memberikan kehidupan kepada TNC pertanian yang menguasai perdagangan global, para importir, spekulan komoditas, dan pengusaha agribisnis. Kaum petani kecil/menengah dan buruh tani yang mayoritas akan kembali disingkirkan dan dipinggirkan, dan menjalani hidup serba nestapa-miskin.
Dengan melihat ketimpangan- ketimpangan di atas, maka semakin nyata bahwa system WTO dan hasil-hasilnya yang dibawakan oleh konferensi Doha, tidak mengarah kepada suatu sistem yang berkeadilan dan berkelanjutan. Negara-negara berkembang telah dipaksa untuk masuk ke pilihan yang pahit dan merugikan. Di lain pihak, berbagai keuntungan yang didapat negara maju juga tidak menciptakan keadilan dan keberlanjutan yang sebenarnya, karena hanya berorientasi kepada bagaimana modal dan keuntungan bisa tetap bertahan dan bahkan terus berekspansi. "Business as Usual". Hal ini tidaklah sesuai dengan pembangunan berkelanjutan yang diidamkan, karena semakin cepat dan semakin tinggi pertumbuhan, maka semakin mengarah kepada penghancuran alam dan lingkungan. Juga semakin mengarah kepada ketidakadilan dan pemiskinan sebagian besar manusia. Apalagi hasil Doha telah menyetujui diadakannya negosiasi baru di bidang lingkungan hidup, yang arahnya kepada pengabaian terhadap standar-standar lingkungan demi tidak mendistorsi atau menghambat arus perdagangan. Jadi hasil-hasil Doha dan berbagai implementasi WTO selama ini bertolak belakang dengan keinginan umat manusia ke arah keadilan dan keberlanjutan sistem kehidupan dan planet; malahan bergerak sebaliknya ke arah penghancuran bumi, alam dan lingkungan semakin cepat. Sistem WTO telah bertolak belakang dengan sistem PBB dalam banyak hal, karena mengancam
dijalankannya berbagai protokol dan konvensi yang telah dihasilkannya, seperti konvensi keanekaragaman hayati, konvensi Kyoto, dan lainnya. Apakah hasil Doha akan bertabrakan dengan berbagai MEAs (Multilateral Environtment Agreements). Nampaknya sulit untuk dihindari, selama WTO hanya telah menjadi alat kepentingan negara maju saja, dan khususnya kepentingan perusahaan-perusaha an multinasional. Dengan demikian sistem pembangunan berkeadilan dan berkelanjutan yang hendak dirancang akan berakhir gagal bila permasalahan ketidakadilan dan ketimpangan di WTO masih tetap ada dan dipertahankan.
Banyak sekali kasus-kasus globalisasi yang terjadi di Indonesia yang kemudiannya telah menghancurkan dan mengorbankan Indonesia, baik dari segi kedaulatan nasional, kedaulatan hukum, dan korban berjuta-juta rakyat Indonesia yang semakin miskin memasuki masa depan yang gelap. Krisis yang terus berlanjut hingga kini adalah gambaran bahwa Indonesia merupakan korban terparah globalisasi. Ini yang tidak mau diakui oleh IMF, Bank Dunia dan para ekonom neo-liberal, yang selalu menyalahkannya kepada pemerintah dan Negara bersangkutan, baik dari segi KKN, tidak transparan, bad-governance dan lainnya; karena hendak menutupi kepentingan mereka yang sebenarnya. Jadi jangan mengharap ada upaya menciptakan kesejahteraan masyarakat, pemerataan dan keadilan selama globalisasi neo-liberal berlangsung. Sebaliknya yang terjadi adalah proses pemiskinan dan marjinalisasi luar biasa disertai dengan semakin lebarnya kesenjangan kaum miskin dengan sekelompok kecil kaum kaya yang merupakan komprador Bank Dunia, IMF, WTO dan TNC.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar