Jika benar-benar berpihak pada rakyat kecil, mestinya pemerintah memikirkan (dan memperjuangkan) cara alternatif selain meliberalisasi migas. Sayangnya, selama ini pemerintah terkesan menutup mata terhadap ide alternatif semisal kemungkinan penghapusan (pengurangan) utang (dalam dan luar negeri) yang setiap tahunnya menguras APBN sebanyak Rp 125 trilyun. Padahal, ttersedia argumentasi logis untuk itu, misalnya saja, bahwa angsuran yang kita bayar sebenarnya sudah melebihi nilai utang yang kita ambil, utang dikorup (odious debt), bencana alam, dan khusus untuk utang dalam negeri, sebenarnya bank-bank itu pun tidak pantas lagi disubsidi. Bukankah itu semua bisa dilakukan demi pendidikan, kesehatan, dan kepentingan rakyat banyak lainnya? Bukankah nilai tunai penhematan subsidi dari kenaikan BBM rata-rata 130% kemarin hanya Rp 12 trilyun atau sepersepuluh dari beban utang tersebut?
Bukankah pula data-data pemerintah dan Bank Indonesia menunjukkan bahwa kenaikan harga minyak mentah di pasar internasional lebih banyak menguntungkan daripada merugikan Indonesia. Surplus transaksi ekspor-impor migas indonesia tahun 2004 hanya 6,5 milyar dollar AS, kemudian meningkat menjadi 9,8 milyar dollar AS pada tahun 2005. Demikian halnya, surplus penerimaan minyak terhadap subsidi BBM mencapai Rp12,8 trilyun. Sedangkan tahun 2005d (APBN-P 1 2005), mencapal Rp9,0 trilyun. Lalu mengapa subsidi BBM yang selalu dituding memperberat beban anggaran? Kemana perginya windfall profit itu? Pemerintah terkesan enggan berbicara terbuka perihal agenda liberalisasi yang akan mengubah wajah perekonomian nasional ini. Tidak percayakah mereka dengan kemampuan rakyatnya?
Kegagalan pemerintah (government failure) dan Pertamina dalam melakukan efisiensi bisnis migas tentu tidak dapat dijadikan alasan pengalihan wewenang yang terlampau besar ke korporat swasta atau pasar. Bukankah di dalam pasar sendiri inherent adanya kegagalan pasar (market failure), misalnya dalam mengalokasikan barang secara adil, eksternalitas, bias pemodal besar, abai dengan ketimpangan, dan sebagainya? Alih-alih menggusur sentralisasi dengan liberalisasi, pemerintah seharusnya konsisten menegakkan amanah konstitusi untuk melakukan demokratisasi ekonomi. Demokrasi ekonomi-lah alternatif kongkret selain melakukan liberalisasi atau privatisasi terhadap cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup rakyat banyak. BUMN, termasuk Pertamina pun bisa saja di-demokratisasi.
Demokratisasi ekonomi menuntut partisipasi luas masyarakat dalam menguasai dan terlibat dalam proses produksi nasional. Masyarakat, melalui kekuatan kolektif seperti koperasi, serikat pekerja, lembaga konsumen, dan organisasi ekonomi rakyat (warga miskin) lainnya didorong dan difasilitasi untuk dapat memiliki saham BUMN. Dengan begitu, mereka akan berperan aktif dalam ikut mengawasi jalannya BUMN yang kemudian harus mengoptimalkan kinerjanya. Demikian pula, melalui organisasi kolektif tersebut, mereka difasilitasi untuk memiliki saham Pertamina, berandil dalam memiliki dan mengelola SPBU, sehingga ikut terlibat secara aktif dalam pengelolaan dan distribusi migas nasional. Tentu butuh perencanaan dan kerja keras semua pihak. Tapi bukan hal yang mustahil jika pemerintah serius berkomitmen dan berpihak pada rakyat kecil, serta istiqomah dalam mengemban amanah demokrasi ekonomi.
Kini tak mudah membendung arus liberalisasi yang demikian derasnya. Tapi pemerintah masih mempunyai waktu untuk mengkaji kembali kebijakannya, setidaknya dengan meninjau kembali kenaikan harga BBM, perijinan korporat migas, dan meninjau substansi UU No 22/2001 itu sendiri. Paradigma baru perlu dibangun di atas perspektif kedaulatan dan ketahanan ekonomi nasional jangka panjang. Sembari itu, konsolidasi gerakan pro-demokrasi ekonomi merupakan agenda mendesak yang perlu segera dilakukan. Masa depan dan nasib kita harus kita rancang sendiri, tak perlu digantungkan pada pihak lain, apalagi terjebak pada ilusi-ilusi liberalisasi. Bukankah Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, sebelum kaum tersebut mengubahnya sendiri?
Sejarah ekonomi bangsa kita lekat dengan eksploitasi dan sub-ordinasi oleh bangsa lain. Ekonomi rakyat kita pun kenyang "diperkuli" dan dijadikan sapi perahan ekonomi besar, baik dari kalangan bangsa sendiri, dan terutama dari bangsa asing. Keluar dari hisapan kongsi dagang monopolis VOC, ekonomi rakyat kita dijerat sistem tanam paksa (cultuurstelsel-1830) yang diterapkan pemerintah Hindia Belanda untuk memenuhi kebutuhan komoditi mereka (Eropa). 40 tahun kemudian (1870), giliran perusahaan swasta Belanda (asing) yang menguasai perkebunan kita melalui pemaksaan sistem kapitalis-liberal. Indonesia diperlakukan sebagai ondernaming besar dan penyedia buruh murah bagi pasar luar negeri. Ekonomi rakyat (pribumi) tetap sebagai kuli.
Bangsa Indoneisa adalah bangsa kuli dan kulinya bangsa-bangsa lain. Status-quonis inilah yang digugat Sukarno. Hatta pun bertekad keras bangsa ini harus menjadi tuan di negeri sendiri. Bagi mereka, merdeka berarti merdeka secara politik dan ekonomi. Untuk itu, pasca kemerdekaan perlu adanya reformasi sosial guna menghapus pola hubungan ekonomi yang timpang, eksploitatif dan sub-ordinatif terhadap ekonomi rakyat Indonesia. Namun, naluri untuk menghisap dan memperkuli bangsa lain (dan bangsa sendiri!) ternyata tetap (selalu?) ada. Atau karena juga kita yang begitu soft dan mudahnya dibodohi, dihisap dan diperkuli. Yang jelas, berurusan dengan sumber daya strategis Indonesia memanglah menggiurkan, sehingga tarik-menarik kepentingan merupakan hal yang masuk akal.
Naiknya rezim Orba pasca "krisis politik-ekonomi" yang menjatuhkan rezim Orla, pun tak lepas dari tarik-menarik ini. Paling tidak itulah yang digambarkan John Pilger dalam bukunya The New Rulers of The World (2002) perihal "kaplingisasi" kekayaan ekonomi Indonesia di era 67-an. Agenda ini dimuluskan melalui Konperensi Jenewa (1967) yang berakhir dengan kesepakatan di mana Freeport menguasai gunung tembaga di Papua, Konsorsium Eropa berhak atas nikel di Papua Barat, Alcoa mendapat tambang bouksit, dan Korporat Amerika, Perancis, dan Jepang kebagian hutan-hutan tropis di Sumatra, Papua, dan Kalimantan. Birokrat berkolaborasi dengan korporat (pemodal asing) menguasai faktor (dan mode) produksi. Kulinisasi pun berlangsung kembali. Ekonomi rakyat-lah yang lagi-lagi menanggung beban, diperkuli, dihisap dan dimiskinkan. Hingga datang krisis moneter dan bergulirlah reformasi..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar