Rabu, 01 Juni 2011

“RESTRUKTURISASI” AKSES

Tidak saja perubahan paradigma pembangunan, dari orientasi pertumbuhan ke orientasi pemerataan, seperti diungkapkan Kwik Kian Gie (Republika, Juli 2003), yang perlu kita lakukan menanggapi penurunan peringkat IPM kita. Lebih dari itu negara kita memerlukan sebuah perubahan struktural yang dimanifestasikan dari kebijakan dan program-program pemerintah yang lebih adil, manusiawi, demokratis, dan memihak rakyat kecil/penduduk miskin. Perubahan struktural memerlukan adanya mekanisme yang jelas untuk menjamin terjadinya redistribusi pendapatan antar anggota masyarakat, dari mereka yang "the have" ke mereka yang "the have not" atau "have little".. Kita tidak perlu memperdebatkan landasan kebijakan ini karena telah jelas digariskan dalam dasar hukum agama maupun konstitusi bangsa Indonesia.

Yang perlu dilakukan bukan sekedar model jaminan sosial ataupun proteksi sosial, yang lebih terkesan karikatif, namun sebuah mekanisme struktural berupa "restrukturisasi" akses bagi penduduk miskin, yang meliputi akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan kesempatan ekonomi (kesempatan usaha dan pekerjaan). Mekanisme ini relatif lebih mungkin dilakukan dengan mengunakan instrumen struktur anggaran negara (APBN) dan struktur program penanggulangan kemiskinan yang telah ada.

Melalui instrumen anggaran negara, pemerintah menjalankan "restrukturisasi" akses dengan mengalokasikan dana yang lebih besar di bidang kesehatan dan pendidikan tertuju pada penduduk miskin (sosial-ekonomi lemah). Bagaimanapun kedua bidang ini adalah investasi yang sangat strategis bagi masa depan negara kita. Apakah kita tidak belajar pada masa lalu, manakala investasi asing (terbesar di bidang ekonomi) dianggap sebagai dewa kemajuan pembangunan. pertumbuhan ekonomi, dan kesempatan kerja bagi masyarakat kita? Dan kita buktikan sendiri hasilnya, krisis moneter yang diikuti krisis di segala sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, disertai penurunan kualitas pembangunan manusia (HDI) kita.

Adalah sesuai pemikiran Prof Mubyarto bahwa selama kurun waktu 4 tahun setelah krisis (1999-2002), disaat investasi lesu dan banyak terjadi pelarian modal ke luar negeri, pertumbuhan ekonomi kita (kurang lebih sebesar 3,5%) ditopang oleh investasi sosial-ekonomi rakyat. Mereka adalah pelaku-pelaku ekonomi kecil, bahkan miskin, yang dapat menunjukkan kekuatan, kepercayaan diri, dan daya tahan menghadapi kondisi sulit dengan mengandalkan modal sosial (social capital) dan sedikit modal usaha yang mereka miliki. Dan kini pemerintah kembali berharap bahwa investasi asing adalah kunci pemulihan ekonomi nasional. Ya, pemulihan ekonomi menuju kondisi awal sebelum krisis berupa kondisi yang timpang, penuh ketidakadilan, dan pengabaian hak-hak dasar masyarakat.

Pemerintah dan DPR sendirilah yang perlu melakukan investasi, bukan hanya penonjolan pada investasi asing dan pengeluaran untuk belanja rutin saja. Investasi pemerintah yang paling strategis bagi pembangunan manusia Indonesia adalah di bidang pendidikan dan kesehatan, melalui alokasi dana APBN yang lebih besar di kedua bidang tersebut. Dana ini dapat dialokasikan ke dalam struktur dana program penanggulangan kemiskinan atau melalui mekanisme tersendiri yang diatur bersama-sama pemerintah dan DPR melalui landasan hukum yang jelas. Tidak cukup banyakkah anggaran yang sudah dialokasikan ke elit politik/ekonomi, melalui pembayaran bunga obligasi rekapitalisasi perbankan, tunjangan, dan biaya "studi banding" ke luar negeri?

"Restrukturisasi" akses juga perlu dilakukan melalui perubahan paradigma dan perubahan struktural program anti kemiskinan yang berskala nasional dan melibatkan dana yang cukup besar. Masih terkesan bahwa dana yang disalurkan ke penduduk miskin dimaknai sebagai "bantuan", baik oleh pengelola program ataupun masyarakat miskin itu sendiri. Sehingga penting untuk dibangun paradigma program anti kemiskinan yang berorientasi pada penguatan hak masyarakat miskin sebagai dasar bagi paradigma pembangunan manusia dalam program tersebut. Penduduk miskin hanya dapat membangun diri dan kemanusiaannya apabila ia sadar dan paham akan hak-hak dasar hidupnya di Indonesia, untuk mendapatkan pendidikan, kesehatan,, dan penghidupan yang layak (kesempatan berusaha).

Perubahan struktural program anti kemiskinan yang berorientasi pemerataan akses dan pembangunan manusia dapat dijalankan melalui dua cara, yaitu restrukturisasi keanggotaan dan restrukturisasi alokasi dana program. Restrukturisasi anggota program berarti meninjau kembali profil masyarakat yang mengakses dana program, apakah dia benar-benar miskin dan membutuhkan, ataukah dia sekedar ingin melakukan ekspansi usaha. Masyarakat yang tidak miskin relatif tidak mengalami kesulitan dalam mengembangkan diri dan mengakses fasilitas sosial-ekonomi yang mereka butuhkan. Sehingga dengan dana program yang terbatas, dapat dialokasikan untuk penduduk yang benar-benar miskin, terutama yang saat ini masih belum terjangkau program (the outer program). Mereka adalah kelompok masyarakat yang rentan, tidak berdaya, dan perlu dibantu mendapatkan hak akses sosial-ekonomi untuk membangun dirinya.

Restrukturisasi alokasi dana program dilakukan dengan memberikan porsi yang cukup untuk akses kebutuhan dasar penduduk miskin peserta program dan di luar program seperti akses kesehatan dan pendidikan. Dana program anti kemiskinan tidak hanya diperuntukkan sebagai modal usaha melainkan juga sebagai dana cadangan bagi anggotanya yang membutuhkan akses pendidikan dan kesehatan. Jika dimungkinkan dana ini disalurkan secara gratis, namun jika belum memungkinkan dana ini dapat disalurkan melalui kredit lunak yang murah dan berjangka panjang, sehingga dapat dijadikan dana bergulir di bidang pendidikan dan kesehatan. Cara lain adalah melalui kerja sama antara pengelola program dengan institusi kesehatan dan pendidikan terkait sehingga dihasilkan struktur pembiayaan yang murah dan memadai bagi penduduk miskin.

Yang perlu dicatat adalah ketepatan sasaran program bagi penduduk yang benar-benar miskin dan sedapat mungkin sumber pembiayaan berasal dari dana program, anggaran pemerintah, atau sumber lain yang tidak memberatkan penduduk miskin. Hal ini memang dipengaruhi seberapa besar komitmen pengelola program dan pemerintah untuk benar-benar memperhatikan nasib dan hak-hak penduduk miskin serta seberapa besar alokasi anggaran (APBN dan APBD) yang dapat disediakan, khususnya untuk bidang pendidikan dan kesehatan penduduk miskin. Namun kita perlu tetap optimis bahwa suara hati masih sangat dipegang teguh di negeri ini. Memang kita perlu lebih giat untuk menyuarakan :" "restrukturisasi" akses untuk penduduk miskin".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar