Dibalik Krisis Yang Berulang
"Siapa yang mengendalikan volume uang di sebuah negara adalah tuan sebenarnya dari industri dan perdagangan". Demikian kata Garfield –Presiden AS- yang ditembak mati setelah melawan kekuasaan bankir pengatur uang di AS. Jauh di tahun 48 SM pun Julius Caesar dibunuh setelah mengambil kembali hak membuat koin emas dari tangan pedagang uang.
Lincoln mati ditembak setelah menerbitkan mata uang "greenbacks" yang tanpa bunga dan utang dari bankir internasional. Jackson, yang berusaha melawan Second Bank of the United States coba dibunuh, namun gagal. Terakhir, Kennedy dibunuh juga setelah mengeluarkan EO No 11110 yang mengembalikan kekuasaan mencetak uang kepada pemerintah, tanpa melalui Federal Reserve.
Demikian, pengembalian kontrol negara atas uang di AS memang seringkali dibayar mahal karena bankir internasional tidak pernah tinggal diam. Mereka menghalangi setiap upaya membongkar sistem bunga utang, yang terpaksa dibayar dengan menaikkan pajak penghasilan rakyat AS.
Memang, elit pengatur uang ini telah berpengalaman dalam melipatgandakan kekayaan dan kekuasaannya. Mereka ahli dalam mengatur saat yang tepat membuat uang over-supply, memaksa likuiditas kering, dan memanen aset perusahaan yang gagal bayar (bangkrut) akibat bunga utang dan tiadanya likuiditas disaat diperlukan.
Upaya mereka melipatgandakan kekayaan –apalagi jika dilawan- biasanya beriringan dengan terjadinya krisis finansial, kelumpuhan sektor riil (depresi), keterjebakan negara pada utang, bahkan perang. Krisis semacam ini telah berulang sejak tahun 1553 dan 1815 di Inggris, dan berturut-turut pada tahun 1833, 1866, 1877, 1891, 1907, dan 1929 di AS.
Ujung-Pangkal Krisis Finansial 2008
Krisis finansial tahun 2008 oleh karenanya bukanlah barang baru. Apalagi menilik konstelasi kekuasaan, modus, dan implikasinya bagi perekonomian AS dan dunia. Konstelasi kekuasaan saat ini ditengarai Chomsky sebagai USA neo-imperialism, di mana AS berkuasa atas ekonomi, militer. media, dan pendidikan di dunia. Di balik itu. Petras melihatnya sebagai 'the power of Israel in USA".
Kontrol uang di AS hari ini masih dipegang Federal Reserve, yang disahkan 22 Desember 1913 saat sebagian anggota Senat liburan Natal. The Fed "dimiliki secara privat" oleh elit bankir swasta di London, New York, Berlin, Hamburg, Amsterdam, Paris, dan Italy, yang dikuasai Zionis Internasional.
Di samping itu, krisis berlangsung dengan "modus klasik". Bermula dari lembaga keuangan AS yang menggelontorkan begitu banyak uang (kredit) di sektor properti melalui berbagai instrumen derivatif. Meski beberapa pihak sudah mendesakkan perlunya regulasi, namun Bush dan The Fed tak bergeming. Akhirnya, seperti yang diperingatkan Buffett dan Krugman, pada saat jatuh tempo dan uang tidak di tangan maka 'gagal bayar" pun tak terelakkan.
Proses selanjutnya adalah munculnya krisis likuiditas yang berujung kolaps-nya lembaga keuangan Wall Street sepertihalnya Lehman Brothers, Bear Streans, Fannie Mac dan Freddie Mac, serta AIG yang memang saling "terintegrasi" satu sama lain.
Implikasi krisis pun seperti biasa. Pemerintah AS harus menalangi likuiditas (bail-out) 700 milyar US. Setelah itu, satu persatu aset perusahaan bangkrut terpaksa dijual, yang berarti beralihnya kepemilikan ke elit pengatur uang. Pun. Pemerintah AS terpaksa membuat surat utang baru, dus makin terjerat imperium finansial.
Konsolidasi dan pelipatgandaan kekuasaan dan kekayaan seperti biasa disertai paksaan penarikan likuiditas di emerging market. Krisis memukul pasar uang dan pasar modal negara lain, yang diikuti dengan beralihnya penguasaan aset "perusahaan korban". Perusahaan eksportir di ambang kebangkrutan. Ancaman PHK massal berlanjut "penyesuaian paksa" upah buruh, yang dalam konteks Indonesia diawali dengan keluarnya SKB 4 Menteri..
Imperium Belum Akan Tumbang?
Boleh saja menafsirkan krisis ini adalah akhir dari imperium AS, kapitalisme, dan neoliberalisme. Tetapi rasanya hal itu baru sebatas harapan normatif. Seperti pengalaman krisis-krisis sebelumnya, transformasi "isme" –kalaupun ada- tidak bertujuan membongkar struktur kekuasaan ekonomi politik yang ada. Pun setelah Obama menjadi Presiden AS, tidak akan ada perubahan radikal selama tidak ada reposisi negara-The Fed dan reforma tata ekonomi AS.
Krisis finansial bukan berarti goyahnya posisi bankir internasional, yang bahkan masih mencengkeram perekonomian AS dengan utang senilai 11,7 trilyun US. Tidak ada yang berubah dari para pemilik The Fed yang makin kaya raya setelah menguasai lebih banyak lagi aset perusahaan bangkrut secara "cuma-cuma". Sementara kontrol ekonomi, politik, militer, media, dan pendidikan di AS dan sekutunya pun tetap di tangan mereka.
Agen-agen mereka tetap mendominasi berbagai sektor vital negara berkembang –termasuk Indonesia. IMF dan Bank Dunia masih leluasa memperdaya pemerintah dengan utangnya. Media massa tidak banyak bersuara lantang tentang sepak terjang mereka. Pun, institusi pendidikan ekonomi tetap banyak yang berkiblat pada kurikulum, ajaran, dan program mereka.
Sementara itu tidak ada agenda neolib yang dibatalkan. Tidak ada pembatalan privatisasi BUMN dan UU/UU yang melegitimasi privatisasi SDA Tidak ada penghapusan utang lama dan pembatalan utang baru. Pun, tidak ada yang berubah dari rezim kurs, rezim devisa, dan rezim pasar modal, yang tetap di bawah kontrol ideologi pasar bebas (neolib) buatan mereka.
Pondasi moneter dan fiskal negara-negara di dunia pun tetap mengukuhkan kekuasaan mereka, yaitu bunga utang dan pajak. Kedua pilar ini tetap menjerat perusahaan (kecil), buruh, dan anggaran negara. Pendarahan APBN akibat cicilan pokok dan bunga utang dalam dan luar negeri tahun 2009 pun tetap akan dibayar dengan mengoptimalkan penerimaan pajak.
Melihat kenyataan tersebut jelas kiranya imperium finansial belum (akan) tumbang. Implikasinya berupa pemiskinan rakyat di negara kaya SDA, pengangguran massal, ketimpangan pendapatan, degradasi lingkungan, dan kerusakan moral yang menimpa negara berkembang pun kiranya belum akan berakhir dengan segera.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar