Rabu, 01 Juni 2011

MORALITAS BANK BERSUBSIDI

Bangsa ini memiliki pengalaman yang buruk perihal moral pelaku perbankan yang tidak bertanggungjawab. Jangankan memiliki "kesadaran disubsidi", mereka sama sekali tak tahu diuntung, bahkan berusaha mengambil untung di tengah defisit keuangan pemerintah. Dana BLBI yang disimpangkan (mark-up, manipulasi, dan kolusi) jumlahnya sangat menyakitkan rakyat, yaitu diindikasikan sebesar Rp 138 trilyun atau 96% dari total bantuan (Baswir, 2004). Setelah itu pemerintah justru membebaskan mereka (Release and Discharge) dengan pengembalian dana yang tidak signifikan. Mereka benar-benar homo economicus yang motivasinya meraup untung sebanyak-banyaknya dengan mengabaikan moral dan etika. Rasionalitas keserakahan inilah yang membentuk perilaku bankir-bankir jahat di Indonesia.

Subsidi yang diterima dari pemerintah (uang rakyat) bukannya digunakan sebesar-besar untuk penyaluran kredit ke ekonomi rakyat, melainkan justru diamankan dan diakumulasikan melalui instrumen Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Mereka menerapkan "aji mumpung" (moral hazard) untuk mendapatkan marjin setinggi-tingginya agar dapat menurunkan laba kumulatif yang negatif pasca krisis (Rochadi, 2004). Patut dicatat bahwa net interest margin (NIM) perbankan di Indonesia (sekitar 8,5%) merupakan salah satu yang tertinggi di dunia, bahkan NIM di Malaysia tidak lebih dari satu persen. Berdasar kajian Biro Riset InfoBank keuntungan perbankan nasional tahun 2004 merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara. Di lantai bursa, saham perbankan terus diburu karena mampu memberikan gain sebesar 60% per tahun (Kompas, 29-10-2004). Jelas bahwa subsidi ke perbankan telah dinikmati oleh investor (pemilik modal) di bank-bank tersebut tanpa perlu bekerja esktra keras. Bambang Sudibyo (2002) menyebut bahwa perekonomian berjalan karena riba, yaitu bunga obligasi senilai Rp 5 trilyun/bulan dan bunga SBI sekitar 12,6%/tahun.

Kesadaran disubsidi telah dikalahkan oleh image perbankan yang identik dengan "kemewahan". Berapa banyak uang yang dikeluarkan untuk menyelenggarakan acara-acara (pesta), bantuan-bantuan, undian berhadiah milyaran, dan yang jelas menggaji top manajemen dengan nilai yang sangat tinggi. Sementara itu, pimpinan-pimpinan bank bertingkah dan masih sombong seolah-olah telah mampu membukukan laba spektakuler atas jerih payah mereka sendiri (Kwik Kian Gie, 2003). Apakah memang tidak terpikirkan bahwa subsidi yang mereka terima diikuti dengan pengorbanan pada bidang-bidang lain (termasuk pertahanan nasional), sekaligus menghambat alokasi subsidi kepada penduduk miskin secara langsung dan memadai? Mereka ini harus sabar menunggu sekedar untuk memastikan diperolehnya alokasi dana 8,5 trilyun, yang itu pun belum tentu tepat sasaran kepada mereka. Sungguh tidak mencerminkan rasa keadilan. Perilaku bankir-bankir jahat tak ubahnya seperti "vampir" yang terus menerus menyedot darah dan tubuh perekonomian Indonesia (Faisal Basri, 2003).


Bank dan Pemerataan Pembangunan
Peran bank secara konvensional adalah sebagai perantara keuangan (financial intermediatory), lalu lintas pembayaran, dan sebagai alat (instrumen) kebijakan moneter. Dalam kontek bank pasca krisis (tersubsidi) di Indonesia mestinya peranan bank lebih dari sekedar peran konvensinal tersebut. Peranan perbankan tidak cukup sekedar sebagai agen pembangunan (agent of development), melainkan harus mampu menjadi agen pemerataan pembangunan (agent of development equity) atau agen redistribusi pendapatan/kekayaan/aset (agent of income/asset/wealth redistribution). Hal ini masuk akal mengingat peluang pembangunan di bidang, wilayah, dan kelompok sasaran tertentu (rakyat miskin/ekonomi rakyat) telah terpinggirkan karena alokasi sumber daya keuangan kepada sektor perbankan, yang turut melanggengkan ketimpangan struktural terutama antara si kaya dan si miskin, antarsektor ekonomi, bahkan antardaerah di Indonesia.

Sayangnya, fungsi bank sebagai perantara keuangan pun belum dijalankan secara maksimal. Meskipun tiap tahun nilai Loan to Deposit Ratio (LDR) perbankan selalu mengalami kenaikan (2000 : 33,2%, 2001 : 38,0%, 2002 : 43,2%, 2003 : 48,3%, dan 2004 : 55,3%), namun tetap saja nilanya jauh di bawah LDR bank di Singapura dan Malaysia yang masing-masing sebesar 80% dan 100%. Pulihnya kepercayaan terhadap perbankan justru terus mendorong kelebihan likuiditas (excess reserve) yang terdiri dari Sertifikat Bank Indonesia dan surat-surat berharga, dengan nilai mencapai Rp 460,9 trilyun atau sekitar 52% dari total dana pihak ketiga yang berjumlah sekitar Rp 800 trilyun (Rochadi, 2004).

Turunnya suku bunga deposito tidak serta merta diikuti penurunan suku bunga kredit, sehingga bank-bank menikmati spread (marjin keuntungan) yang sangat besar. Pihak bank beralasan bahwa pada tahun 2003 saja ada beberapa debitor yang belum menarik komitmen kredit yang sudah disetujui bank sebesar Rp 102,9 trilyun. Nilai kredit yang besar mengindikasikan bahwa debitor tersebut pastilah perusahaan kelas kakap yang masih dapat menunggu dan melihat situasi perekonomian. Berbeda dengan pelaku ekonomi rakyat yang jika mengajukan kredit pastilah dalam kondisi yang benar-benar membutuhkan. Data ini makin menunjukkan pentingnya perhatian bank terhadap pelaku ekonomi rakyat (usaha mikro) ketimbang kepada pengusaha besar yang terbukti lebih berisiko. Komitmen perbankan untuk mengembangkan microcredit hendaknya tidak berhenti di tataran jargon semata.

Kredit yang dialokasikan kepada usaha kecil (KUK) per Maret 2003 sebesar Rp 62,1 trilyun atau 16,5% dari total kredit sebesar Rp 376,1 trilyun, yang sebagian besar disalurkan oleh bank-bank BUMN (Anshoriy, 2004). Sistem intermediasi perbankan mengandung berbagai kontradiksi. Masyarakat harus percaya sepenuhnya terhadap perbankan, sedangkan bank menerapkan yang sebaliknya, sama sekali tidak mempercayai masyarakat, khususnya pelaku ekonomi rakyat (usaha mikro penduduk miskin). Watak bisnis adalah keberanian (kemauan) menanggung resiko, yang pasti ada dalam setiap kegiatan usaha, sedangkan bank berbisnis tanpa mau mengambil resiko, sungguh ironis. Padahal, fakta menunjukkan bahwa pihak yang seringkali tidak bertanggungjawab (tidak layak dipercaya) adalah internal bank itu sendiri. Ingatlah kembali insider lending bank pra-krisis, kejahatan BLBI, L/C fiktif, pembobolan BNI, BRI, Bank Asiatic, Bank Dagang Bali, Bank Global, dan terakhir Bank Persyarikatan Indonesia. Apakah itu melunturkan kepercayaan masyarakat?

Ketidakpercayaan bank terhadap kemampuan ekonomi rakyat dikukuhkan secara sistematis melalui pembuatan aturan-aturan yang meyulitkan akses mereka terhadap bank (agunan, prosedural, suku bunga tinggi). Ini merupakan cerminan ketidakpercayaan diri mereka sendiri, selain juga iktikad untuk terus membohongi diri. Bank-bank paham betul bahwa kredit macet bukan bersumber dari pelaku ekonomi rakyat, yang aksesnya saja sudah disumbat. Mereka terus saja tidak mengakui bahwa tidak ada data-data valid yang menunjukkan budaya ngemplang pelaku ekonomi rakyat. Kenyataan ini adalah bukti adanya kontradiksi dan diskriminasi perbankan yang memang menjadi ciri perbankan kapitalis-liberal, yang berdasar pada mekanisme pasar. Dalam hal ini termasuk penentuan suku bunga kredit mikro yang disamakan dengan suku bunga pasar. Seperti diuraikan di awal, pasar bekerja sesuai kepentingan kekuatan ekonomi, bukannya atas dasar pertimbangan teoritik yang dapat dipertanggungjawabkan. Kekuatan inilah yang menentukan kapan dan kapada siapa mekanisme pasar diberlakukan, demikian sebaliknya.

Sistem perbankan saat ini sulit diharapkan membuat bank-bank memerankan diri sebagai agen pemerataan pembangunan. Bahkan dapat berfungsi sebaliknya, bank hanyalah "sahabat bagi orang kaya" (Mubyarto, 2004), yaitu deposan-deposan dan debitur konglomerat yang memang menguasai pasar, sehingga makin mengukuhkan ketimpangan pembangunan di Indonesia. Sistem perbankan cenderung "menyedot" sumber daya keuangan daerah ke pusat-pusat ekonomi dan bisnis di Jakarta. Bank-bank di daerah pada umumnya difungsikan sebagai cabang dari bank pusat, sehingga tidak cukup tanggap terhadap kebutuhan-kebutuhan pembangunan di tingkat lokal. Pembangunan ekonomi dalam pola ini makin memperlebar jurang ketimpangan antardaerah, antar sektor ekonomi, dan antarpelaku ekonomi.

Aliran uang akan diikuti oleh aliran manusia. Demikian yang terjadi pada maraknya urbanisasi ke kota-kota besar (termasuk memilih bekerja ke luar negeri) yang menimbulkan komplikasi masalah sosial-politik. Uang yang dikelola bank lokal tidaklah memadai untuk membiayai pembangunan lokal (perdesaan) karena sebagian besar telah dikirim ke ibu kota propinsi atau ke Jakarta untuk membiayai investasi pengusaha besar dan disimpan dalam bentuk SBI. Sebuah paradok ketika terjadi antrean pengajuan modal ke bank-bank lokal atau ke lembaga-lembaga keuangan non bank, sementara dana Rp 460,9 trilyun menumpuk di SBI dan surat berharga lainnya. Fungsi bank sebagai agen pemerataan pembangunan hanya dapat dioptimalkan jika pola aliran uang ke pusat-pusat bisnis ini dihentikan melalui pengembangan bank-bank lokal (bank unit, bukan cabang). Bank lokal memiliki informasi dalam tataran lokal dan lebih dapat berperan sebagai subjek yang mengarahkan tujuan-tujuan pembangunan (Stigltz, 2004).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar