TULISAN ini sekadar mengandaikan bahwa fatwa ulama benar-benar 'nimbrung' ke dalam urusan pemilu, pilkada, dan golput dari segala sisi dan kemungkinannya.
Bagi mereka yang serius mempertimbangkan halal-haram dalam menjalani kehidupan, jangankan soal golput, sesendok makanan sebelum masuk mulut dihitung dulu seluruh faktornya sampai sah disebut halal. Beli sebotol air, benda airnya itu sendiri mungkin tak ada masalah, tapi perusahaan apa produsernya, bagaimana asal usul keuangannya, posisinya dalam konstelasi keusahaan masyarakat luas 'menyakiti' pihak lain atau tidak.
Identifi kasi dan analisis menuju kepastian halal mungkin bisa lebih luas, detail, dan ruwet daripada itu. Maka Indonesia yang berpenduduk mayoritas muslim memerlukan 'label haram' bukan 'label halal'. Di negara-negara yang muslimnya minoritas memerlukan 'label halal' karena di belakangnya terdapat asumsi bahwa makanan dan minuman umumnya 'belum tentu halal'. Tapi di negara mayoritas muslim asumsinya adalah makanan minuman 'umumnya halal' sehingga yang dibutuhkan adalah 'label haram'.
Pekerjaan utama rakyat Indonesia sejak lima tahun terakhir ini adalah pergi ke kotak pemilihan, dari level lokal, regional, sampai nasional untuk menentukan sesuatu yang entah mereka pahami dan kuasai masalahnya atau tidak. Tahun 2009 adalah kulminasi dari 'profesi' massal itu. Maka benar-benar diperlukan kejelasan dari apa yang Ketua MPR Hidayat Nur Wahid tempo hari pernah menganjurkan. Yakni agar Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa haram bagi golput. Itu telah disahkan dalam Ijtimak Fatwa Ulama III MUI di Padang Panjang, Sumatra Barat, akhir pekan lalu. Rakyat Indonesia dan umat Islam pada umumnya kariernya tidak sukses dan penghidupannya miskin. Kalau bisa, jangan ditambahi dengan kepastian 'masuk neraka' hanya karena 2 menit masuk kotak pemilu atau tidur di rumah karena ogah ke arena pemilihan.
Rabu, 01 Juni 2011
PEMILU, GOLPUT, FATWA
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar