Tidak negara di dunia yang memaksakan CSR dalam ketentuan perundang-undangan. "Perseroan sudah ada Undang-Undang Sektoral, Undang-Undang Amdal, Undang-Undang Lingkungan," kata dia. Sofjan meminta pelaksanaan CSR diserahkan kembali ke dunia usaha dan tidak lagi bersifat mandatori.
Dalam undang-undang ini terjadi distorsi hukum, tidak ada kepastian hukum, sehingga ada semangat pemerintah pusat dan daerah berlomba-lomba menjadikan pasal ini untuk mengumpulkan dana dari perseroan,"
Kewajiban ini, menjadi mekanisme adu domba antara masyarakat dengan perseroan. "Akibat kegagalan pemerintah mendistribusikan kesejahteraan masyarakat, malah perseroan yang disalahkan pemerintah,"
Hampir semua sektor mengalami tren pungutan akibat dilegalisasi aturan ini. Modusnya bermacam-macam, ada yang alasan lingkungan, bahkan ada instansi yang meminta uang perseroan untuk mengirimkan staf pemerintah daerah ke luar negeri. "Apa hubungannya,"
Pemberlakuan UU ini akan menjadi sumber pemerasan yang terlegalisir.
Hal tersebut memerlihatkan kenyataan bahwa ekonomi biaya tinggi atau high cost economy masih berlaku. Dan, itu menjadi penghambat peningkatan ekonomi dan investasi didaerah. "You bisa lihat, untuk berusaha di Indonesia masih saja sulit seperti ini,"
UU PDRD melarang Pemda untuk membuat pajak dan retribusi baru diluar yang telah ditetapkan (closed-list). Namun, hingga saat ini, masih ada sekitar 2 ribu perda terkait PDRD yang tidak sesuai dengan closed-list, masih diberlakukan. "Dan, itu merata di setiap sektor usaha," Pajak dan retribusi daerah yang tidak sesuai closed list tersebut sudah tidak berlaku per 31 Desember lalu. Ini sesuai dengan yang ditetapkan dalam UU No.28/2009 tentang PDRD. "Mekanisme pembatalan ini yang harus dipastikan berjalan. Karena di lapangan pengusaha tetap saja ditagih,". Pungutan illegal yang masih dikenakan itu antara lain pajak terkait pungutan komoditi dan sumbangan pihak ketiga. Kemudian, pajak terkait penggunaan tenaga listrik, "Ini wajar masih dilakukan Pemda, karena jenis pajak yang terakhir ini menyumbang 30 persen penerimaan daerah,". Sebanyak 2 ribu perda tersebut bisa dibatalkan dari jauh hari oleh Presiden dengan mengeluarkan Peraturan Presiden. Namun, hal itu belum terjadi, sehingga pajak dan retribusi ilegal tersebut tetap dikenakan kepada pelaku usaha.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi meragukan keseriusan pemerintah dalam menciptakan iklim usaha yang baik, terutama menyelesaikan berbagai persoalan yang masih menghambat dunia usaha seperti infrastruktur.Pasalnya terdapat kesalahan yang dilakukan oleh pemerintah dalam menggunakan dana anggaran. "Saya bingung, anggaran negara dalam lima tahun terakhir, naik dari Rp400 triliun di 2006 menjadi Rp1.200 triliun di 2011 atau naik 300 persen. Kemana infrastruktur kita. Sepertinya ada sesuatu yang salah dalam penggunaan budget kita. Saya benar-benar tidak tahu,"tegas Sofjan di Jakarta, Senin (31/1/2011). Maka dari itu, kata Sofjan, kepercayaan antara pengusaha dan pemerintah sangat perlu dibina. "Saya tidak mau pemerintah tidak percaya dengan pengusaha. Kepercayaan ini selalu kita bina. Sudah waktunya kami minta ke pemerintah, pakai kita untuk membangun indonesia. Kita jangan kembali ke 1997-1998. Kita jangan berkelahi lagi. Pemerintah dan pengusaha harus saling percaya satu sama lain dalam menghadapi tantangan globalisasi. Lawan kita adalah globalisasi,"jelas Sofjan. Sehingga, Sofjan berharap, pemerintah harus memberikan kepastian hukum. Pasalnya, tutur dia, hingga saat ini, masih ada undang-undang yang tumpang tindih (over lapping)."Yang sebenarnya kita inginkan adalah kepastian hukum karena dasar hukum di Indonesia tidak pernah kita perbaiki, banyak undang-undang kita yang over lapping seperti Peraturan daerah (Perda). Terkadang kita percaya dan tidak percaya dengan omongan pemerintah,"tutur Sofjan. Sementara itu, Sofjan mengatakan, seharusnya pemerintah bisa menjadi lokomotif dari pembangunan Indonesia. Seharusnya, ujar dia, pemerintah bisa fokus untuk mengembangkan industri manufaktur yang padat karya, jadi bukan hanya yang berbasis sumber daya alam.
"Masalah terberat adalah ketidakpastian. Ketika zaman pemerintahan Soeharto, ekonomi bertumbuh diatas delapan persen dan pemerintah menjadi lokomotif. Tapi setelah itu malah pengusaha yang menjadi lokomotif,"ungkap Sofjan.
Selain itu, Sofjan meminta kepada pemerintah untuk menata birokrasi, terutama dalam menerbitkan berbagai peraturan dan kebijakan. Sofjan mencontohkan, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 241/2010 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk (BM) Atas Barang Impor yang disusun pada 2005, lalu secara mendadak diterapkan pada tahun 2010 tanpa adanya sosialisasi kepada pengusaha.
"Saya minta ke Wakil Presiden agar birokrasi kita diperbaiki. Saya percaya Menko Perekonomian sudah berusaha keras dalam mengkoordinasikan menterinya tapi menterinya kadang tidak mengerti,"tandas Sofjan.
Pemerintah SBY Harus Dikritik tapi Jangan Dijatuhkan
Pemerintah harus banting setir untuk menyelamatkan ekonomi Indonesia. Salah satunya, dengan mengambil langkah untuk menekan harga bahan kebutuhan pokok masyarakat. Jika ini dilakukan, maka masyarakat tidak akan frustrasi. Selain itu, pemerintah juga harus berusaha mengembalikan kepercayaan investor, yang sekarang sedang dalam posisi wait and see, terutama setelah tokoh agama menyatakan pemerintah berbohong kepada masyarakat.
Pernyataan seperti ini merupakan seruan dari Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Sofjan Wanandi. Berikut petikan wawancara SP dengannya di kantornya, Rabu (2/2).
Bagaimana pandangan Anda mengenai situasi ekonomi politik saat ini?
Sebenarnya pendapat saya sama dengan pendapat yang lain. Kita lebih khawatir kalau melihat perkembangan dunia internasional, terutama yangterjadi di Mesir. Yang terjadi di Mesir adalah krisis ekonomi seperti yang terjadi Eropa. Ini kan tingkat ketidakpastiannya begitu besar. Sehingga dengan itu kita khawatir, kalau pemerintah masih terus berwa-cana, terus ribut dengan masalah dalam negeri, kita pastikan, akan menimbulkan ketakutan dan kekhawatiran dari para pengusaha.
Kemarin saya didatangi seorang pengusaha besar internasional ke sini. Ia mempunyai channel macam-macam perusahaan. Ia bertanya kepada saya, "Indonesia ini, masalahnya apa? Kita melihat di luar negeri, Indonesia ini baik. Dalam arti menghadapi krisis dengan baik, kita melihat Indonesia ini baik. Indonesia ada harapan, sehingga kita mulai berinvestasi di Indonesia. Jalan tol, listrik dan segala macam. Lalu kenapa sekarang?"
Ia menanyakan seperti ini terutama setelah para tokoh agama mengeluarkan pernyataan, Pemerintah Indonesia melakukan kebohongan kepada rakyat. Sete-lah tokoh agama mengatakan seperti itu, malah sekarang ia dan investor lainnya menjadi wait and see untuk berinvestasi di Indonesia. Ada kekhawatiran.
Sikap tokoh agama menjadi trigger bagi pengusaha? Bagaimana?
Begini. Mereka melihat di luar negeri, kalau yang bicara itu Megawati, karena politik itu kan biasa. Kalau oposisi-oposisi ngomong itu biasa. Tapi, kalau tokoh agama, mereka percaya, pemerintah benar-benar bohong. Baru mereka semua percaya. Seruan moral itu, betul-betul penting sekab. Kita tak sadarkan itu.
Terus bagaimana pengusaha memandang ini?
Kita coba menetralisir. Tapi, PR (public relations) pemerintah kita kan jelek. Pemerintah merasa hebat sekali. Padahal, hebatnya the past (masa lalu), bukan the present and future (sekarang dan masa depan).
Akibat yang terburuk apa ya?
Yang kita takutkan, terjadi lagi krisis ekonomi dan politik seperti 1997/1998. Kalau ini yang terjadi, kita setback lagi 5-7 tahun. Tapi, kita nggak mau begitu kan. Sudah capek. Makanya saya berusaha Indonesian incoporate, supaya kita bersama-sama bersatu untuk mencegah hal ini jangan sampai terjadi.
Yang bisa dilakukan di kalangan pengusaha sendiri?
Kita harus bekerja terus betul-betul. Jangan kita membuat pemerintah ini semakin takut. Sekarang menjadi lokomotif. Kita terus memainkan peranan itu. Ekonomiharus tumbuh. Jangka pendek, RUU pembebasan tanah harus bisa selesai. Maka jalan tol selesai, power plan jadi. Perluasan pelabuhan, bandara dan sebagainya. Namun kendala utama adalah tanah. Jadi kalau ini kita bisa bantu.
Pengusaha yang datang ke kantor saya dan bertanya kepada saya, saya melihat dia itu sebagai indication yang sebelumnya saya berbicara dengan yang lain. Namun, karena saya tahu dia berinvestasi besar di Indonesia dan juga komitmennya cukup besar, sehingga saya merasa ini serius sekab bahwa kita ini di mata orang asing itu menjadi wait and see lagi.
Yang membuat kita belum kompetitif di Indonesia ini adalah masalah infrastruktur yang begitu ketinggalan. Saya selalu mempersoalkan, kenapa 11111 a tahun kita punya anggaran (APBN) naik 300 persen, yakni dari Rp 450 triliun menjadi Rp 120 triliun tapi infrastruktur kita masih jelek. Kan mesti ada sesuatu yang salah di dalam alokasi budget kita. Dan, ter-nyata budget kita itu 80 persennya habis untuk bayar utang dan subsidi. Untuk pembangunan, sedikit sekali yakni cuma 20 persen.
Yang menjadi masalahnya, sebagian besar pertumbuhan investasi kita itu lebih banyak ke usaha perkebunan seperti kelapa sawit, tanaman industri, bukan ke manufacturing yang justru paling banyak menyerap tenaga kerja rakyat kita. Malah terjadi deindustrialisasi daripada kita punya manufacturing itu karena tidak bisa bersaing dengan lembaga-lembaga impor. Banyak pengusaha berpendapat, daripada berinvestasi di sini, ya impor saja kita. Nah. ini harus kita ubah segala rencana kita.
Sebab 10 tahun terakhir sejak kita krisis, masa kita belum banyak produksi dalam hal manufacturing. Kalau pun ada, itu pihak asing yang memperluas industrinya karena market industry luas, seperti Toyota.
Kenapa lebih banyak ke perkebunan daripada manufacturing?
Karena di sana banyak untungnya. Manufacturing rumit. Buruh banyak, untung tipis, dan persaingan luar negeri juga banyak. Manufacturing kita tak mungkin bisa bersaing dengan Tiongkok. Oleh karena itu, sekali lagi saya minta persoalan infrastruktur harus segera diselesaikan. Kalau infrastrukur beres, maka dengan mudah investasi-investasi kita arahkan ke manufacturing.
Yang lain, pemerintah harus memberi insentif untuk home industry (UKM) dan industri lainnya seperti pabrik-pabrik besi. Sebagian besar industri kita komponennya masih tergantung di luar negeri. Ini yang menurut saya, kita didik industri-industri ini. Kalau industri kita kuat, komponennya semua dari dalam negeri, maka ketergantungan pada impor kurang.
Kedua, ini soal kepastian hukum. Masalah kita di daerah-daerah ttu soal tata ruang. Tata ruang di mana-mana masih bermasalah. Jadi, kita mau berinvestasi terhalang. Tata ruang sebagian besar begitu nggak jelas. Karena banyaknya overlapping dan sebagainya. Batubaranya, kelapa sawitnya, tanaman industrinya. Tanah kita sebagian besar tidak ada sertifikasi. Sehingga pengusaha malas masuk.
Dan yang paling besar mengganggu kita adalah peraturan-peraturan daerah. Sekitar 3.000 perda bertentangan dengan UU Perimbangan Pusat dan Daerah. Ini haruskita tertibkan. Yang menghambat kita ini adalah birokrasi. Jadi kalau saja pemerintah bisa berkonsentrasi ke sini, pasti investasi masuk dan kita bisa berkompetisi.
Ini yang membuat kita tidak membangun industri pengolahan?
Ya, kita tersandera dengan masalah-masalah tadi. Kita tersandera dengan janji-janji, yang tak bisa kita laksanakan. Sebenarnya ini bukan sesuatu yang baru. Sudah lama kita minta sejak awal pemerintahan SBY. SBY kan sudah tujuh tahun.
Apa bisa dijamin, kalau infrastruktur sudah ada, semuanya beres?
Dengan membangun infrastruktur, paling sedikit rakyat kita bekerja terutama di jalan-jalan dan pelabuhan. Bisa jutaan. Kedua, dengan adanya infrastruktur dan listrik yang cukup, gas juga cukup, terminal-terminal gas, bagus, banyak industri bangkit dan maju. Ingat, sampai saat ini banyak industri kita tutup karena energi kurang, seperti industri sarung tangan karet di Medan.
Bagaimana riil terkini inflasinya, terutama dengan cuaca ekstrem?
Saya pikir, mesti ada salah dengan pemerintah kita. Dulu pada saat cuaca kurang mendukung juga sulit toh? Pada saat itu kita ada Pak Jusuf Kalla, pada saat kita impor beras. Waktu itu kita masih produksi lebih tinggi malah. Kenapa? Pada saat itu dilakukan di mana bikinnya itu dia tak usah tender. Mesti berlomba-lomba. Kalau sekarang kan ada tender sehingga terlambat semua. Jadi, ada kebijakan pemerintah yang menghalangi. Jadi harus diperbaiki, daripada bermasalah.
Idealnya, pertanian di Jawa pindah ke luar Pulau Jawa. Di Jawa sudah tak mungkin efisien lagi. Tanah kecil-kecil. Lebih baik buka besar-besar di Merauke. Yang ada sekarang cuma omong gede, karena infrastruktur nggak ada.
Ancaman naiknya inflasi ini, langkah pemerintah nggak jelas?
Saya melihat pemerintah memang nggak jelas. Saya melihat pemerintah tak punya persiapan yang betul-betul, mempersiapkan yang di hulu. Sembilan bahan pokok kita menghadapi masalah. Persiapannya tidak ada sama sekali, seperti sekarang. Kita mesti malu. Sekarang kita impor ikan dan garam, padahal kita punya lautan yang luas. Dulu kita swasembada beras. Eh sekarang malah impor beras, gula, jagung. Kita mau ke mana?
Pandangan Anda mengenai posisi Kementerian Perindustrian saat ini?
Semua menteri di Indonesia ini tak ada koordinasi. Mereka tidak bisa menyelesaikan persoalan antara mereka sendiri. Ini yang mempersulit kita semua. Mereka terlalu banyak kepentingan-kepentingan politik.
Bagaimana dengan SBY, apa harus diganti?
Kita tak mau SBY harus diganti, karena akibatnya lebih buruk. Kita mesti sabar sampai 2014. Kita lakukan itu. Melihat situasi seperti ini, suka tak kita harus sabar sampai 2014. [Pewawancara Siprianus Edi Hardum, Heri Soba dan Aditya L Djono]
Kalangan pengusaha mendesak pemerintah menjamin kepastian hukum guna menghindari terjadinya konflik antara pengusaha dan masyarakat sekitar
Konflik sering terjadi karena tidak adanya kepastian hukum. Ini yang harus diselesaikan pemerintah. Selama ini kan peraturan tata ruang dan agraria itu belum maksimal dijalankan terutama di daerah-daerah,
Sofyan juga mendesak oknum kepala desa yang menggunakan cara-cara preman untuk menguasai. Artinya, kalau oknum kades saja sudah lakukan (pelanggaran hukum), apalagi rakyat biasa?"
Salah satu kebijakan yang mesti diubah antara lain keharusan untuk ekspor finished good, tidak lagi berupa bahan mentah. Soalnya, ekspor bahan mentah mengakibatkan Indonesia justru rugi dan tidak berkembang. "Jangan kayak sekarang, LNG ekspor, tapi LPG kita impor. Industri-industri kita kurang bahan baku, bahan bakar, karena bahan mentahnya diekspor,
Keseriusan Presiden dalam menyelesaikan masalah perda bermasalah yang mengganggu dunia usaha kembali dipertanyakan menyusul belum diterbitkannya Peraturan Presiden tentang pembatalan 2000 perda bermasalah yang diusulkan oleh Kementerian Keuangan. Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Agung Pambudi mengatakan berdasarkan UU No. 28/2008 tentang PDRD diatur bahwa pembatalan perda bermasalah yang tidak sesuai dengan close list harus dibatalkan oleh Presiden melalui Keputusan Presiden. Sebelumnya, pembatalan perda bermasalah cukup dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri melalui Keputusan Mendagri.
"Ada 2000-an perda yang diusulkan Kementerian Keuangan untuk dibatalkan di 2009 maupun 2010 tertunda belum bisa dibatalkan karena belum ada Perpres-nya. Akibatnya, itu tetap dipungutkan ke pelaku usaha oleh pemda meski perda itu tidak ada dalam close list,
1.366 Perda Tidak Dilaporkan; DPR Mengusulkan Daerah yang Nakal Diberi Sanksi Lebih Keras
Sedikitnya 1.366 peraturan daerah tentang pajak dan retribusi diduga disembunyikan pemerintah daerah dan tidak dilaporkan ke Departemen Keuangan karena menghindari sanksi pembatalan terhadap perda tersebut. Kondisi itu memperlambat perbaikan iklim investasi karena menyebabkan ekonomi biaya tinggi.Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Departemen Keuangan Mardiasmo di Jakarta, Senin (21/5) menyebutkan, hingga 21 Mei 2007, perda tentang pajak dan retribusi yang telah dilaporkan kepada pemerintah pusat baru mencapai 9.634 peraturan. Padahal, potensi perda yang dapat diterbitkan adalah 11.000 peraturan.
Dengan demikian, perda yang belum dilaporkan mencapai 10 persen (sekitar 1.366 perda) dari total potensi penerbitannya. Hal ini terjadi karena ketidaktahuan daerah bahwa ada kewajiban menyerahkan perda. Tidak ada penerbitan perda baru, atau ada penerbitan baru namun sengaja tidak melaporkannya kepada kami, katanya.
Daerah, ujar Mardiasmo, cenderung bersikap malas-malasan dalam menyerahkan perda pajak dan retribusi. Hal itu disebabkan tidak ada sanksi bagi daerah yang tidak menyerahkan perda.
Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) menyebutkan, daerah bebas menerbitkan perda dan tidak mengatur sanksi apa pun.
Atas dasar itu, kami mengusulkan agar sanksi bagi daerah yang tidak melaporkan perda dimasukan dalam Rancangan Undang-undang PDRD, yang masih dibahas di DPR, ujar Mardiasmo.
Departemen Keuangan telah menerbitkan surat permintaan penyerahan perda pajak dan retribusi paling lambat 15 hari setelah pengesahannya. Surat itu disampaikan kepada seluruh pemda pada 28 November 2006. Namun, hingga saat ini, masih ada 71 daerah yang belum menyerahkan perdanya.
Penangguhan DAU
Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Budi Sitepu mengatakan, sanksi bagi daerah yang tidak menyerahkan perda diusulkan berupa penangguhan Dana Alokasi Umum (DAU). Adapun, beberapa fraksi di DPR mengusulkan sanksi yang lebih keras, berupa kewajiban pengembalian seluruh dana masyarakat yang dipungut. Hal itu dilakukan jika dasar pungutannya adalah perda yang membebani dunia usaha secara tidak wajar sehingga dibatalkan pemerintah.
Itu diusulkan agar memberi efek jera kepada daerah agar tidak dengan mudah membuat perda pajak dan retribusi, katanya.
Sebelumnya, Depkeu menetapkan penangguhan pembayaran DAU bagi lima kabupaten yang tidak mampu menyelesaikan APBD hingga tenggat waktu 11 Mei 2007. Satu provinsi dan tiga kabupaten lainnya masih diberi kesempatan hingga akhir Mei, sebelum dikenakan sanksi yang sama.
Adapun total perda pajak dan retribusi yang dibatalkan pemerintah pusat hingga saat ini mencapai 963 peraturan atau 9,99 persen dari total perda yang telah dilaporkan. Pembatalan itu dilakukan karena terbukti menyebabkan iklim investasi di daerah tidak kondusif.
Jumlah itu belum memperhitungkan pungutan lain yang diterbitkan melalui Surat Keputusan Kepala Daerah (SKKDH). SKKDH diterbitkan secara sepihak oleh pemerintah daerah (pemda), tanpa pembahasan dengan DPRD-nya.
Mereka ini daerah yang nakal. Kami sulit memantaunya karena pemerintah pusat tidak memiliki kewenangan untuk mengatur SKKDH, kata Mardiasmo.
Tak mampu bersaing
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Sofjan Wanandi menegaskan, perda pajak dan retribusi mengakibatkan dunia usaha tidak mampu bersaing di dalam dan di luar negeri.
Untuk apa menambah perda, jika hasil pungutannya tidak banyak yang digunakan untuk pembangunan daerah, malah masuk ke Sertifikat Bank Indonesia, ujarnya.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah, Agung Pambudhi mengatakan, besarnya jumlah perda tentang pungutan itu disebabkan kecilnya basis pajak yang dimiliki pemda. Disamping itu, komitmen untuk membangun ekonomi dalam jangka panjang masih sangat lemah.
Sangat ideal jika pemda daerah menerbitkan aturan tentang insentif, katanya.
Penasihat Asosiasi Pemerintah Kabupaten dan Kota, Alfitra Salamm menegaskan, Pendapatan Asli Daerah yang ideal untuk menyokong kebutuhan biaya pembangunan daerah adalah 40 persen dari total APBD. Hal itu menyebabkan daerah berupaya dengan segala cara mencari peluang menambah pungutan.
Perlu kejujuran Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) agar penerimaan yang masuk itu riil. Selain itu perlu inovasi agar cara memungutnya tidak meresahkan pengusaha, katanya.
Sementara itu, Bank Indonesia melaporkan dana pemerintah daerah yang disimpan di perbankan hingga akhir April 2007 mencapai Rp 90 triliun. Dana itu disimpan dalam bentuk tabungan, giro dan deposito. Ini suatu jumlah yang sangat besar, kata Gubernur BI Burhanuddin Abdullah.
Menurut Burhanddin, jika dana tersebut bisa dimanfaatkan untuk pembangunan, maka roda perekonomian di daerah akan bergerak cepat. Pemanfaatan dana juga akan membuat perbankan mengurangi penempatan di Sertifikat Bank Indonesia, yang saat ini jumlahnya cukup besar.
Kalau mereka menaikkan pajak dan retribusi daerah hingga batas maksimum, ia mengungkapkan pemda akan merasakan akibatnya. Kocek pemda bukan makin tebal, justru sebaliknya malah berkurang. Sebab kalau menaikkan pajak dan retribusi daerah terlalu tinggi tentu pemda sendiri yang merasakan dampaknya.
Pengusaha tentu mengurangi produksi untuk menekan biaya. Nah dengan berkurangnya produksi, maka pajak dan retribusi daerah yang dibayar pengusaha menurun.
Bahkan, Sofyan menandaskan bukan tidak mungkin pengusaha merelokasi produksi barang ke daerah lain yang mengenakan pajak dan retribusi lebih kecil.
Masyarakat juga akan menghindari kenaikan pajak dan retribusi yang begitu tinggi. Pengenaan pajak progresif kendaraan misalnya. Menyikapi tidak terkena pajak progresif, mereka yang memiliki lebih dari satu tentu akan memindahkan ke tempat lain yang pajaknya lebih rendah. "Ini kan jadi masalah," jelasnya.
Sebab, ia melihat UU Pajak dan Retribusi Daerah yang baru ini memberi keleluasaan ke daerah tentunya memicu pemda berlomba-lomba menggenjot pendapatannya. Sehingga terjadi kompetisi antar pemda.
"Karena bersaing ketat, setiap pemda tidak akan gegabah menaikkan pajak dan retribusi daerah seenaknya, karena pertimbangan tersebut," ucapnya.
Isi Perut RUU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Jenis Pajak untuk provinsi terdiri :
- Pajak kendaraan bermotor 1-2%
- Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor 10%
- Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor 5%
- Pajak air permukaan 10%
Jenis Pajak untuk kabupaten dan kota terdiri :
- Pajak Hotel (10%)
- Pajak Restoran (10%)
- Pajak Hiburan 35%
- Pajak Reklame 25%
- Pajak Penerangan Jalan dengan energi listrik (10%), dan dengan energi lain (3%)
- Pajak Bahan Galian Golongan C (25%)
- Pajak Parkir (20%)
- Pajak air bawah tanah (20%)
- Pajak sarang burung walet (10%)
- Pajak lingkungan (0,5%)
Kendaraan bermotor yang tidak terkena pajak :
- Kereta api
- kendaraan untuk pertahanan dan keamanan negara
- kendaraan milik negara asing dengan asing dengan asas timbal balik.
- Kendaraan di air dengan isi lebih dari 20 M3 milik perusahaan negara.
- Tarif pajak untuk kendaraan pribadi dapat dikenakan secara progresif.
- Tarif pajak lingkungan berlaku untuk perusahaan beromzet Rp 300 juta per tahun.
- Bagi hasil pajak provinsi dan daerah;
Pajak kendaraan bermotor 70% untuk provinsi, 30% untuk kabupaten kota, pajak air permukaan untuk kabupaten 50%
Sumber : Draft RUU PDRD
peraturan daerah (perda) yang telah menimbulkan ekonomi biaya tinggi dibatalkan oleh pemerintah pusat. Pembatalan perda itu berkaitan dengan ketentuan yang ditetapkan dalam UU 34/2000 tentang Perubahan atas UU 18/1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Sebab sebagian besar perda yang mengatur retribusi dan pungutan itu dinilai mengada-ada dan terjadi duplikasi.
penetapan jenis pungutan baru hanya dapat dilakukan sepanjang memenuhi kriteria yang ditetapkan dalam UU 34/2000. Aturan itu menetapkan bahwa daerah provinsi hanya dapat memungut maksimal empat jenis pajak.
Dikatakan, pemberian diskresi (kebebasan) dalam penetapan jenis pungutan baru tersebut pada awalnya didasarkan pada keadaan daerah yang mempunyai potensi sumber-sumber pendapatan yang sangat beraneka ragam.
Namun pada kenyataannya, pemberian wewenang tersebut malah mendorong daerah kembali menetapkan jenis pungutan yang sebelumnya telah dianulir dengan UU 18/1997. Di samping itu, Depkeu menemukan banyak pungutan daerah yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi. Sehingga berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi baik lokal maupun nasional.
Anggito menambahkan, kebijakan pengawasan perda tentang pajak daerah dan retribusi daerah yang diatur dalam UU 34/2000 memiliki sejumlah kelemahan. Antara lain, tidak ada sanksi bagi daerah yang tidak menyampaikan perda kepada pemerintah pusat, sehingga banyak perda yang diterapkan tanpa pengawasan.
Dari tahun 2000 sampai April 2005, perda yang dikirim ke pemerintah pusat baru mencapai 4.574 atau 33,8 persen. Sementara perda yang belum dikirim ke pemerintah pusat mencapai 8.946 atau 66,2 persen. Padahal saat ini total jumlah perda yang ada mencapai 13.520. Dari perda sebanyak 448, sebanyak 44 perda dinyatakan masih dapat direvisi.
''Saya juga mendengar di beberapa daerah, meskipun sudah dibatalkan masih jalan juga. Ini pengusaha setempat yang tahu karena mereka yang menghadapi semuanya. Memang, pemda punya hak untuk maju ke Mahkamah Agung (MA), tapi mereka harus menghentikan perda itu sampai diputuskan MA,'' kata Anggito.
Hal itu juga diakui oleh Sofyan Wanandi yang mewakili pengusaha. Menurutnya, pengusaha tidak punya kemampuan untuk menolak tekanan pemda yang tetap memungut retribusi meskipun perdanya sudah dibatalkan. Saat ini, pengusaha tidak dapat berbuat apa-apa. Apalagi aparat pemda mengancam dengan hukuman pidana dan penutupan tempat usaha.
''Kami akan merekomendasikan supaya ada sanksi bagi daerah yang tetap menjalankan perda yang sudah dibatalkan. Sanksinya mungkin bisa pemotongan anggaran belanja. Harusnya ini juga dipertegas dalam revisi UU 34/2000 itu,'' ujarnya.
Sofyan mengatakan, pemerintah pusat dan pemda belum siap menjalankan aturan yang mereka buat sendiri. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan Menteri Keuangan (Menkeu) telah mengeluarkan peraturan bersama (PB) sebagai panduan bagi pemda untuk mempersiapkan diri. Kenyataannya, sosialisasi UU tidak menjangkau semua daerah sehingga masih banyak pemda tidak familiar dengan urusan pertanahan yang selama ini dikelola secara sentralistik.
sekitar 85% pemerintah kabupaten/kota gagal menerapkan sistem otonomi daerah dalam kurun 10 tahun terakhir.
Ketua Umum Apindo Sofjan Wanandi mengatakan kegagalan otonomi daerah ini tecermin dari pengelolaan anggaran daerah yang lebih banyak terserap untuk membiayai belanja pegawai.
Dia menjelaskan dari total belanja negara senilai Rp1.200 triliun setiap tahun di antaranya terdistribusi untuk pembayaran gaji pegawai, pembayaran utang, dan subsidi.
Pembentukan kawasan pengembangan ekonomi terpadu dan kawasan ekonomi khusus (KEK) yang dijalankan pemerintah sejak 1993 belum optimal karena masih terkendala infrastruktur. Insentif yang diberikan seperti insentif fiskal, perizinan, sektoral, dan infrastruktur, belum membuat investor tergerak untuk meningkatkan investasi di sektor perdagangan yang ditargetkan pemerintah.
Dari data yang diperoleh dari 450 daerah hanya 50 daerah yang membuat peraturan tersebut.
Pemerintah daerah diminta untuk lebih arif dalam memungut pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD) yang sudah disahkan. Di mana dalam UU tersebut dijelaskan pemda memiliki kewenangan dan keleluasaan menentukan tarif pajak daerah.
"Dalam UU ini pemda harus lebih arif dalam menentukan tarif pajak daerah. Jangan sampai aktifitas ekonomi dibunuh hanya untuk mengambil keuntungan sesaat dari pungutan pajak,
Dia juga berharap dengan diberikannya keleluasaan pemda dalam menentukan tarif pajak, tidak lagi menerbitkan peraturan daerah yang menghambat iklim investasi.
Selain itu, dia mengibaratkan kondisi tersebut seperti jangan menyembelih sapi hanya untuk mengambil hati, tapi peliharalah hingga berkembang.
Seperti diketahui, Perda No 14 Tahun 2004 tentang Izin Bongkar-Muat Barang telah dicabut berdasarkan Surat Keputusan Mendagri No 114 Tahun 2005 tentang Pembatalan Perda No 14 Tahun 2005. Selain itu juga ada Instruksi Bupati Tangerang No 2 Tahun 2005 tertanggal 22 Agustus 2005, yang isinya perintah agar menghentikan pelaksanaan Perda No 14 Tahun 2004 tentang Izin Bongkar-Muat Barang tersebut. Dengan demikian, praktis sejak 22 Agustus 2005 Dinas Perhubungan Kabupaten Tangerang tidak diperbolehkan lagi menerbitkan izin bongkar-muat barang dan menarik retribusinya.
Namun, kenyataan di lapangan, Kepala Dinas Perhubungan Kabupaten Tangerang Mahfud Rasyad masih menandatangani izin bongkar-muat selama dua bulan. Selanjutnya tanda tangan diganti dengan tanda tangan Kepala Bidang Angkutan Kukun Kunrat. Sementara pelaksanaannya diserahkan ke Kepala Seksi Angkutan Barang Darmawan. Bahkan, untuk mengelabui adanya penyalahgunaan ketentuan tersebut, pihak Dishub juga sempat mengganti judul pungutan tersebut dengan "izin angkutan barang" selama kurun waktu tujuh bulan.
Menurut laporan STB dalam surat yang ditujukan kepada Kajati itu, dalam waktu sehari saja konsumen yang berurusan dengan izin bongkar-buat barang tersebut mencapai 30 kendaraan, dengan pungutan retribusi sebesar Rp 30 ribu. Dengan demikian, jika satu bulan rata-rata 25 hari kerja, maka akan terkumpul dana retribusi yang sudah dilarang itu lebih dari Rp 164 juta.